Jam tiga pagi, seorang lelaki dilempar ke kursi taman atas dosa yang bukan salahnya, seorang gadis telah jatuh hati dan sang pengagum iri.
Tinju melayang dan darah mengalir, sang lelaki hampir mati...
Namun!
Muncul iblis. Hitam emas. Sekali pukul dan sang pengagum terjatuh.
Siapakah sosok ini?
*mengandung kekerasan
*update setiap Senin & Kamis (20.00 WIB)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sayakulo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fatamorgana Seorang Putra Kerajaan
Gadis itu semestinya tak di sini, sebagaimana yang sudah-sudah, sebagaimana dahulu kala.
...----------------...
Jangan ada yang bersuara.
Jangan ada yang bertindak.
Namun tidak dirinya, ia memilih untuk meluruskan keadaan, di tengah-tengah malapetaka.
Semacam pahlawan, kalau dipandang dari sisinya, tapi pahlawan apa yang memukuli seorang musuh yang tak berdaya?
Pertanyaan demikian mengalir ke dalam pikiran sang gadis—sang saksi dari kisah di balik senyuman penuh dusta dan luka ‘jatuh dari tangga’.
“Eeh, ada Dhien,” sang pahlawan itu langsung berdiri dan menyambut sang gadis, “kita cuma bercanda aja ini, namanya ketua kelas kan harus deket sama temen-temennya kan ya,” ia tertawa kecil.
“Godai—” Dhien berkata.
“Gapapa mah si Godai, dia cuma capek aja,” kebohongan itu terlempar dari mulut sang pahlawan.
“Capek??” jawab alis mata Dhien yang mengkerut, “kalau capek kenapa malah diajak bercanda?” kemudian ia menghiraukan pahlawan itu yang berbicara, gadis itu melewatinya tanpa lirikan dan mendekat kepada Godai.
Dirinya melihat seorang lelaki yang sedang ditarik, dibantu berdiri, atau ditarik biar berdiri, entah yang mana, tak terlihat jelas niatannya. Ditarik oleh dua orang yang tak dikenalnya.
Tatapan gadis itu sejauh khatulistiwa—kosong.
Kejutan.
Ibarat dirinya ditampar di pipi kanan, tapi entah kenapa bekasnya berada di pipi kiri.
Dari pandangannya pastinya pipi kiri, karena pandangannya itu cerminan terbalik dari dirinya.
Cerminan itu memiliki bekas merah di pipi kiri.
Cerminan itu memiliki rambut putih.
Cerminan itu bukan seorang gadis.
Melainkan adalah seorang lelaki, tak lain Godai Hasairin. Pemuda yang baru saja dibantu berdiri (atau dipaksa berdiri) oleh dua orang yang dipanggil oleh Kasa, ketua kelas, anak artis, Indra dan Raider.
“Godai, kamu aku anter ke UKS, mukamu merah.”
Semuanya melirik kepada gadis ini.
Godai pun juga.
“Dhien, sini biar aku bantu anter juga,” Kasa memaksa, “udah jadi tugas ketua kelas kan ya.”
Dhien tak berkata apapun, ia mengambil Godai dari genggaman dan pergi bersamanya dari tempat itu, tapi Kasa tak membiarkan hal itu terjadi.
Ia mengikuti mereka berdua, berpura-pura kalau dirinya juga ikut membantu.
Entah tangan Godai yang pura-pura dipapah, atau merangkul bahunya, ia tak bisa melakukan hal itu karena Dhien membatasi Kasa dan Godai dengan lengan kanannya yang melingkari leher Godai—tak satupun kesempatan diberikan oleh Dhien kepada Kasa yang ingin menyentuh lelaki terluka ini.
Begitupun juga jarak diantara mereka.
Langkah Dhien semakin cepat.
Begitupun juga Godai, karena ia harus mengikuti langkah dari si gadis.
“Pelan-pelan kali, Dhien, nanti Godai malah tambah sakit,” Kasa berstrategi agar semuanya berjalan sesuai dengan keinginannya, “iya kan, Godai?”
Mendengar pertanyaan itu, Dhien semakin mempercepat langkahnya.
Godai, mau tak mau, harus mengikuti.
Ia lirik gadis itu yang merangkulnya, mencoba untuk mencari jawaban—juga alasan—dari tindakannya yang tiba-tiba berubah.
Muka gadis itu begitu datar.
Begitu tajam.
Fokus.
Ibarat seorang ahli bela diri yang sudah memasuki gelanggang pertarungan.
Ibarat seorang pelukis yang sudah tenggelam ke dalam garis-garis kuas.
Tak seperti pandangannya tempo lalu yang penuh dengan amarah.
Pandangan itu penuh dengan keseriusan, dan sudah pastinya tak memburamkan pandangan.
Apapun itu yang dilihatnya, dan yang dipandangnya, sudah pasti keduanya sama.
Namun apakah penglihatan itu menunjukkan koridor panjang dengan logo palang merah di ujungnya, gambaran yang dilihat oleh Godai, atau hal lain, barangkali pandangannya itu hal yang berada di sebelahnya, seorang lelaki tampan yang mencoba untuk meraih objek yang digenggamnya begitu erat.
Mungkin saja gadis ini memiliki mata di setiap arah, tapi hal demikian tak dipikirkan oleh Godai, lagipula, tak mungkin untuk seorang manusia mampu melihat segala arah, secara kodrat, arah yang mampu dilihatnya hanyalah ke depan. Sama sekali tak mungkin.
Sama seperti Godai yang tak mengetahui isi pikiran Dhien.
Lagipula, bukankah itu kodratnya manusia untuk tidak mengetahui hati satu sama lain kecuali diberi tahu?
Begitupun juga diriku yang hanya mampu berasumsi dari bahasa muka dan gaya tubuh.
Bisa jadi apa yang dituliskan ini tak sesuai dengan apa yang terjadi sebenarnya, mungkin semuanya adalah taktik, pengelabuan.
Apapun itu yang Dhien lakukan, sudah pasti Kasa, juga teman-temannya, ketar-ketir karena adanya variabel di luar dugaan ini, si gadis pindahan.
Bagaimanapun caranya, apapun yang dilihat Dhien, atau apa yang dimengertinya, tak boleh keluar, sama sekali.
Karena kalau yang lain tahu, kalau sekolah tahu, atau lebih parah lagi, melalui media sosial, semua orang yang memakainya tahu.
Jelas, akhir dunia.
Bagi mereka setidaknya.
Bagaimanapun caranya, Dhien harus dibungkam.
Yah, barangkali dirinya tak mau melukai seorang perempuan, kalau memang Kasa ini adalah seorang lelaki sejati.
Tapi, demi masa depannya.
Bukankah kerajaan itu dibangun dari darah para pejuang?
Sebuah kerajaan besar membutuhkan pasukan yang banyak, loyalis yang cinta. Cinta sampai mati. Kerajaan seperti itu dibayar mahal dengan keringat dan tak sering darah, sebab semua orang ingin kerajaan demikian. Kerajaan besar yang menjunjung paling tinggi, paling unggul. Bukankah ia kini memiliki kerajaan demikian?
Ibundanya ialah orang yang terkenal, seorang ratu yang dikenal senegara, mukanya tersebar di poster cetak dengan judul film beserta perannya, atau di banner elektronik di hp orang-orang yang cuma tahu atau setia menunggu film selanjutnya. Ya, demikianlah ratu tersebut.
Kini, ialah anaknya, putra mahkota, pewaris dari kerajaan begitu besar yang tak hanya sebatas industri film, tetapi juga merk baju-baju mahal, restoran-restoran, bahkan—dikarenakan dirinya seorang ratu—produk-produk kecantikan yang meyakinkan bahwa, bilamana seorang individu mampu memakai ketiga (dan lebih) produk-produk itu, ia mampu menjadi sepertinya.
Dengan merk busana yang begitu mahal, ia akan tampil semenarik sang ratu.
Dengan restoran berbasis makanan sehat yang juga tak kalah mahal, ia akan terjaga tubuhnya sebagaimana sang ratu.
Dengan segala macam serum, bedak, lipstik, dan lainnya, ia akan menjadi secantik sang ratu.
Tapi apakah memang begitu?
Atau hanya harapan palsu?
Atau mungkin bukan ‘secantik sang ratu’?
Melainkan ia sederajat dengannya?
Bukankah dengan konsumsi seorang individu yang bernilai fantastis itu ia secara baik langsung ataupun tidak langsung, derajatnya akan naik?
Mungkin saja memang seperti itu kenyataannya.
Agar seorang individu memiliki kerajaan, kerajaan fana.
Kerajaan tiru-tiru.
Tapi, kerajaan tetaplah kerajaan.
Namun, tak mungkin sebesar kerajaan sang ratu.
Dan kerajaan itulah yang akan diturunkan kepada sang pangeran.
Kasa, anak artis, ketua kelas, dan mungkin artis papan atas.
Demi bisa di papan atas, para pejuang harus dikorbankan.
Para pendukung menjadi tumbal.
Ya, memang seperti itu, dan darah yang akan tumpah bukanlah seorang pejuang.
Musuh.
Kerajaan yang dikalahkan oleh oposisi pasti akan dijadikan budak.
Mana mau dirinya menjadi budak, tak akan.
Bagaimanapun caranya.
Sebuah rencana.
Tetapi ia terlalu lama berpikir.
Sebab Dhien dan Godai sudah menghilang dari pandangannya.