NovelToon NovelToon
Mu Yao: Hidup Kembali Di Dunia Yang Berbeda

Mu Yao: Hidup Kembali Di Dunia Yang Berbeda

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi
Popularitas:7.8k
Nilai: 5
Nama Author: Seira A.S

Mu Yao, seorang prajurit pasukan khusus, mengalami kecelakaan pesawat saat menjalankan misi. Secara tak terduga, ia menjelajah ruang dan waktu. Dari seorang yatim piatu tanpa ayah dan ibu, ia berubah menjadi anak yang disayangi oleh kedua orang tuanya. Ia bahkan memiliki seorang adik laki-laki yang sangat menyayanginya dan selalu mengikutinya ke mana pun pergi.

Mu Yao kecil secara tidak sengaja menyelamatkan seorang anak laki-laki yang terluka parah selama perjalanan berburu. Sejak saat itu, kehidupan barunya yang mendebarkan dan penuh kebahagiaan pun dimulai!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seira A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13 : Daging Bisa Dimakan Kayak Gini Juga?

Baru aja Liu Shi selesai memanggang minyak, Mù Yao udah balik sambil memanggul seikat ranting kayu. Kalau nggak lagi berburu, biasanya dia memang naik ke pinggiran gunung buat cari kayu bakar. Walau daerah itu nggak banyak bahan makanan, tapi pohonnya banyak dan semak-semaknya juga lebat. Jadi, warga desa biasanya ambil kayu dari sana juga.

Di belakang rumah keluarga Mu udah ada dua tumpukan besar ranting, dan di gudang kayu masih ada beberapa ikatan ranting kecil. Meski stok makanan di desa nggak melimpah, untungnya mereka tinggal dekat gunung, jadi soal kayu bakar nggak pernah kekurangan. Bahkan ada yang jualan kayu buat cari uang.

Warga desa juga mikirin generasi berikutnya, jadi mereka cuma nebang ranting, nggak sampe nebang pohon kecuali buat bangun rumah. Kalau hutan di satu tempat udah mulai gundul, ya mereka pindah ke hutan lain. Soalnya gunungnya luas banget, belum selesai ditebang, pohon yang dulu ditebang udah tumbuh lagi. Kalau aja jalannya nggak sejauh itu, Mù Yao pasti udah sampai rumah dari tadi.

Begitu sampai rumah, Mù Yao nurunin ranting-ranting itu, lalu milih beberapa yang lurus dan ukurannya mirip sumpit, terus dibawa ke dapur.

Di dalam rumah, Mù Xiao baru aja makan sepotong kecil minyak goreng kering (semacam lemak goreng), terus dengar suara kakaknya datang. Dia langsung keluar bawa mangkuk kecil. Dia sampai lupa mau kasih ayahnya cobain dulu.

“Jie! Nih makan minyak gorengnya! Baru aja Ibu memanggang, enak banget lho!” katanya sambil nyodorin sepotong lemak goreng ke mulut kakaknya. “Tangan Xiao-Xiao udah dicuci kok, bersih!”

Dulu pernah kejadian, Mù Xiao makan tanpa cuci tangan dan ketahuan Mù Yao. Kakaknya langsung ceramah, katanya tangan kotor bisa bikin sakit perut, makanan kotor juga bisa ada ulatnya yang masuk ke perut. Waktu itu Mù Xiao sampai ketakutan dan nangis kejer. Dia takut banget sakit perut dan minum obat pahit. Lebih takut lagi kalau ada ulat masuk perutnya dan bikin bolong!

Untung Liu Shi waktu itu gendong dan nenangin dia sambil bilang, “Xiao-Xiao anak baik, dengerin kata Kakak ya. Kalau nurut, nggak bakal sakit perut, dan ulat juga nggak bakal berani datang. Kalau ulat nekat, Ibu dan Kakak bakal usir bareng-bareng.” Baru deh dia berhenti nangis. Sejak itu, tiap mau makan pasti dia cuci tangan dulu. Nanti kalau udah gede, mungkin dia bakal ketawa sendiri inget masa kecilnya itu.

Mù Yao lihat adiknya ngasih lemak goreng, langsung buka mulut makan sambil muji, “Xiao-Xiao emang paling rajin cuci tangan, tangan putih bersih! Terus selalu inget Kakak juga, ada makanan enak langsung dikasih Kakak. Lemak goreng yang Xiao ambil ini enak banget. Makasih ya~ Nanti Kakak buatin daging panggang buat Xiao!”

Xiao-Xiao langsung balik lagi ke dalam rumah sambil senyum lebar. Padahal sebenarnya, Mù Yao nggak terlalu suka makan lemak goreng kayak gitu. Dia lebih suka yang dimasak bareng sayur, jadi lembut dan wangi.

Liu Shi sempat ngedumel, “Lemak itu kan Ibu yang panggang. Kok Kakak nggak muji Ibu sekalian sih?”

Ayah mereka, Mu Cheng, juga nggak mau kalah, “Nak, sebenarnya Ayah juga pengen kasih lemak goreng ke kamu, tapi si bocah itu keburu duluan. Ayah juga sayang kamu, lho!”

Gara-gara satu kalimat pujian, sepasang orang tua ini malah rebutan kasih sayang si anak perempuan. Untung Mù Yao nggak dengar, kalau iya, bisa ngakak dia.

Setelah makan, Mù Yao mulai ngerjain ranting kayu dengan pisau kecil. Pertama-tama dia buang cabang-cabang kecilnya, lalu potong ranting jadi batang sepanjang kira-kira satu jengkal. Karena mereka belum punya alat panggang, dan cuma ada wadah arang yang baru dibeli, maka ranting-ranting itu harus pendek biar cukup masuk ke wadahnya.

Dia juga ngelupasin kulit kayunya sampai halus, biar nggak nusuk tangan. Salah satu ujung ranting diasah tajam buat tusuk-tusuk. Jadi deh tusukan kayu sederhana. Ranting pohon willow ini lentur dan nggak gampang patah, juga nggak punya bau aneh, cocok banget buat tusuk sate.

Liu Shi penasaran, langsung nanya, “Yao-yao, kamu lagi bikin apa lagi itu?”

“Ini tusuk sate, Bu. Nanti kita tusuk-tusukin potongan daging, terus panggang. Enak banget, deh!”

Mù Yao langsung ngiler inget rasa sate dari kehidupan sebelumnya. Dari kecil dia udah suka banget sama daging panggang, makanan lain mah biasa aja.

Liu Shi bantuin beresin serpihan kayu, lalu tanya lagi, bisa bantu apa. Mù Yao ambil potongan daging yang udah diasinkan sama ibunya, coba cicipin kuahnya, pas rasanya. Lalu ditaruh di meja kecil, mereka mulai kerja bareng.

“Bu, nih aku ajarin caranya. Pertama, tusukin satu potong daging ke tusuk sate, dorong pelan-pelan ke bawah, sisain ujung bawah biar bisa dipegang. Terus tusuk lagi potongan lainnya. Tapi hati-hati ya, pastiin dagingnya nempel di bagian tengah tusukannya, biar nggak jatuh. Dan jangan sisain ujung terlalu panjang, nanti kena api.”

Mereka pun mulai nyate bareng. Ternyata Liu Shi lumayan cepat belajar, hasil tusukannya juga rapi.

Akhirnya mereka punya tiga jenis sate: sate daging babi, sate daging kelinci, dan campuran babi-kelinci. Setelah semua ditusuk, Mù Yao remas-remas daun rempah yang udah dikeringin sampai jadi serbuk. Lalu siapkan wadah arang dengan setengah baskom arang kayu.

Semua udah siap, tinggal bakar deh.

“Bu, tolong bantu nyalain arangnya ya. Aku mau ambil nasi dulu. Satenya enaknya dimakan pas masih panas!” seru Mù Yao. “Ayah! Xiao! Cuci tangan dulu ya, kita mau makan!”

Mu Cheng dan Xiao langsung cuci tangan, nggak sabar mau makan.

Liu Shi pake minyak pinus buat nyalain arang, jadi cepet nyalanya. Begitu apinya cukup stabil, Mù Yao mulai panggang satenya di atas arang. Proses ini butuh kesabaran. Kalau terlalu cepat, dagingnya belum matang. Kalau kelamaan, malah gosong, nggak enak dan bisa bikin sakit perut.

Dia bolak-balik tusukannya sampai kedua sisi kecokelatan dan keluar minyak. Terus dia taburin bubuk merica dan cabai. Zaman itu belum ada jinten. Dia coba cicip satu tusuk, wah, enak banget! Dagingnya gurih, sedikit pedas, bahkan lebih enak dari sate di kehidupan sebelumnya. Ini daging alami tanpa bahan tambahan.

Mù Xiao ngiler banget, air liurnya sampe netes ke baju. Ayah dan ibu juga sama, baru cium baunya aja udah nelan ludah.

Mù Yao kasih tusukan-tusukan pertama ke mereka, terus lanjut memanggang. Karena wadah arangnya bulat dan kecil, jadi nggak bisa panggang banyak sekaligus. Akhirnya makan malam itu habis waktu satu jam lebih!

Liu Shi sempat mau bantu bakar satenya, tapi hasilnya malah gosong dan dibuang. Akhirnya dia menyerah.

Tapi semua makan dengan lahap. Satu baskom daging hampir ludes. Xiao sambil elus perutnya yang bulat bilang, “Jie! Daging panggangmu enak banget! Nanti kita makan lagi ya? Xiao juga mau bantu tusuk-tusukin daging!”

“Ayah, nanti kalau kita bikin sate lagi, aku yang bikin tusukannya ya!” sahut Mu Cheng semangat.

Liu Shi juga langsung ikutan, “Yao-yao, nanti Ibu potongin daging lagi, dan belajar bakar juga. Ibu pasti bisa nanti!”

Dan bener aja, akhirnya Liu Shi beneran jago memanggang, bahkan lebih enak dari Mù Yao!

Lihat keluarga seneng banget makan sate, Mù Yao janji bakal sering-sering buatin. Tapi dia juga mikir, pake arang kayak gini terlalu lambat. Harus bikin panggangan khusus, kalau bisa pakai tusukan besi biar bisa dipake berulang dan gampang dibersihin. Soalnya bikin dari ranting itu lama banget.

Mu Cheng nyeletuk, “Nak, kalau tusukannya udah kamu upgrade, Ayah bisa bantu apa dong?”

Mù Yao jawab santai, “Ayah bikin arak buah, dong! Masa makan enak nggak ada minumannya?”

Dia tahu dari ingatan tubuh aslinya bahwa dulu ayahnya pernah bantu orang bikin arak buah. Sayangnya kondisi rumah dulu nggak memungkinkan buat bikin sendiri.

Mu Cheng langsung semangat, “Kalau gitu, mulai sekarang arak buah di rumah tanggung jawab Ayah!”

Siapa sangka, beberapa tahun kemudian, tren bakar-bakaran menyebar ke seluruh wilayah Zhongzhou, bahkan masuk ke istana. Alat panggang jadi umum, dan saking populernya, tambang besi sempat kekurangan stok!

Sementara itu, arak buah buatan Mu Cheng makin terkenal, sampai dia buka banyak pabrik dan dikenal sebagai pelopor arak buah!

Liu Shi pun jadi juru barbeque legendaris, diincar banyak restoran!

Sedangkan alat panggang rancangan Mù Yao tersebar luas, dan demi mengenangnya, alat panggang itu pun diberi nama "Yao Jia", alias "Rangkaian Yao"!

1
Aisyah Suyuti
baguss
Seira A.S: makasih kak
total 1 replies
The first child
semangat terus nulisnya thor..
Seira A.S: makasih kak
total 1 replies
Andira Rahmawati
lanjut thorr...semangat....
Seira A.S: insyaallah kak
total 1 replies
Andira Rahmawati
coba punya ruang dimensi atai sistem..
Seira A.S: gak punya kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!