NovelToon NovelToon
SENORITA PERDIDA

SENORITA PERDIDA

Status: tamat
Genre:Misteri / Cintapertama / Mafia / Percintaan Konglomerat / Tamat
Popularitas:36k
Nilai: 5
Nama Author: Vebi Gusriyeni

Series #2

Keputusan Rayden dan Maula untuk kawin lari tidak semulus yang mereka bayangkan. Rayden justru semakin jauh dengan istrinya karena Leo, selaku ayah Maula tidak merestui hal tersebut. Leo bahkan memilih untuk pindah ke Madrid hingga anaknya itu lulus kuliah. Dengan kehadiran Leo di sana, semakin membuat Rayden kesulitan untuk sekedar menemui sang istri.

Bahkan Maula semakin berubah dan mulai menjauh, Rayden merasa kehilangan sosok Maula yang dulu.

Akankah Rayden menyerah atau tetap mempertahankan rumah tangganya? Bisakah Rayden meluluhkan hati sang ayah mertua untuk merestui hubungan mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27 : Operasi

...•••Selamat Membaca•••...

Waktu menunjukkan pukul 05.45 pagi. Langit Moskow masih kelam, hanya lampu jalanan dan selimut salju tipis yang menyala pucat. Di dalam ruang perawatan intensif, suasana begitu sunyi. Detak monitor jantung menjadi irama yang menyayat.

Maula terjaga.

Tubuhnya sudah lemah, tapi matanya menyapu pelan ruangan. Rayden duduk di kursi sebelah ranjangnya, tertunduk memeluk lutut, belum tidur sejak semalam.

“Ray...” suara Maula serak dan lirih.

Rayden langsung mengangkat wajahnya. Matanya merah, wajahnya lelah, tapi tetap tampan di mata Maula. Ia segera berdiri dan meraih tangan istrinya yang terasa dingin.

“Aku di sini... ada yang sakit? Atau kamu mau sesuatu,” jawab Rayden cepat, mencoba tersenyum walau getaran di suaranya sulit disembunyikan.

Maula menatap suaminya lama, lalu berkata, “Nggak ada, aku kangen kamu aja—”

“Jangan bicara seperti itu,” potong Rayden, tapi Maula hanya tersenyum samar.

“Aku serius, Ray... Kadang... rasa rindu itu bisa hadir begitu saja kan?” Ucapnya dengan senyum sendu.

Rayden menunduk, air mata jatuh satu-satu ke jari-jari Maula. Ia genggam tangan itu erat-erat.

“Kamu akan pulih. Kita akan pulang bareng ke rumah. Kamu lulus dan jadi dokter terbaik, kita akan punya banyak anak... yang mirip kamu semua.”

Maula tersenyum kecil tapi dari sorot matanya, ia sadar bahwa ini mungkin perpisahan.

Tak lama, suara langkah kaki berat dan roda troli menggema di lorong.

Pintu terbuka.

Dua perawat dan seorang ahli anestesi masuk bersama dokter utama. Mereka mengenakan APD steril lengkap berwarna biru muda. Wajah mereka serius dan prosedur dimulai.

“Mrs. Maula, kami akan membawa Anda ke ruang operasi sekarang,” kata salah satu perawat dengan sopan dalam aksen Rusia-Inggris.

Maula menoleh pada Rayden. “Peluk aku dulu,” pintanya manja. Rayden langsung membungkuk, memeluk istrinya erat-erat.

Tubuh Maula kurus. Napasnya hangat. Tangannya lemah tapi tidak kehilangan cinta.

“Aku cinta kamu, Ray... aku benar-benar cinta kamu.”

Rayden tidak mampu menjawab. Hanya menutup matanya dan mengecup kening Maula lama.

“Aku menunggu kamu sembuh untuk dibawa kembali ke Madrid, mengerti.” Maula tersenyum dan mencium lembut pipi suaminya.

...***...

Maula dibaringkan di atas bed transfer. Perawat mengunci posisi tubuhnya dengan sabuk pengaman lembut di dada dan kaki, sambil memeriksa ulang infus dan jalur oksigen. Mereka memasang kanula baru di tangan kanan untuk induksi anestesi.

“Kita siap jalan,” kata ahli anestesi.

Rayden diizinkan berjalan sampai batas lorong sebelum pintu ruang operasi utama. Ia terus menatap Maula, tak sanggup melepaskan istrinya. Marlo dan Eliza mengikuti dari belakang, mereka tidak meninggalkan Rayden sendirian dalam kondisi ini.

“Ray...” suara Maula sekali lagi terdengar, meski sudah jauh. “Kalau kamu bisa dengar aku nanti... tolong bisikkan namaku, ya. Biar aku tahu kamu masih di sana.”

Rayden menahan tangis. Ia mengangguk dan menyentuh dadanya.

“Selalu... di sini...”

Pintu operasi tertutup.

Sejak detik itu, waktu seakan berhenti bagi Rayden, Marlo, dan Eliza.

“Dia kuat, Ray. Percaya padanya.” Marlo menepuk pundak Rayden.

“Tadi Papa mengabarkan kalau mereka akan datang hari ini. Kamu tidak sendiri Ray, kami bersama denganmu.” Rayden mengangguk lalu tersenyum samar pada Marlo.

...***...

Pukul 06.30 pagi.

Di lantai empat gedung bedah saraf Pusat Medis Moskow, ruang operasi 3B menyala dalam cahaya putih steril. Suhu dijaga pada 19°C, bau khas antiseptik memenuhi udara. Para tenaga medis telah bersiap—tim anestesi, perawat sirkuler, ahli bedah saraf, dan dua asisten senior. Semua memakai pakaian operasi biru langit, masker, pelindung mata, dan penutup kepala.

Di tengah ruangan, terbaring tubuh mungil Maula Maximillian, dipindahkan dari bed transfer ke meja operasi baja tahan karat. Kepala Maula diposisikan di dalam penyangga khusus—Mayfield head clamp—untuk menghindari gerakan sedikit pun selama prosedur.

Pukul 06.34

Ahli anestesi, Dr. Lukanov, memasang monitor multiparameter: EKG, oksimeter, sensor tekanan darah arteri non-invasif, serta ETCO₂. Jarum IV besar (18G) telah terpasang di lengan kanan atas Maula, tersambung ke pompa infus berisi cairan Ringer Laktat dan Manitol 20% yang sedang berjalan lambat.

“Induksi dimulai,” ucap Dr. Lukanov.

Ia menyuntikkan midazolam sebagai premedikasi, lalu menyusul propofol 2 mg/kg dan fentanyl 2 mcg/kg. Setelah Maula tak sadar, rocuronium diberikan untuk relaksasi otot, dan selang endotrakeal dimasukkan ke dalam trakea dengan bantuan laringoskop. Ventilator mekanik dinyalakan.

Pupil Maula diperiksa ulang—kanan 3 mm, kiri 6 mm. Tanda anisokoria tetap ada.

“Anestesi stabil. Ventilasi terkontrol. Saturasi 98%,” lapor tim anestesi.

Pukul 06.45

Kulit kepala dibersihkan dengan povidone-iodine, lalu dibungkus kain steril biru. Hanya area sayatan yang dibiarkan terbuka.

Dr. Katya Sokolov, ahli bedah saraf utama, menatap layar CT dan MRI Maula sekali lagi. Dengan laser pointer, ia menjelaskan secara pelan kepada tim.

“Hematoma subdural kronis, regio parietooksipital sinistra, tebal 12 mm. Tampak edema serebri difus. Kita lakukan kraniotomi dekompresi. Fokus: evakuasi hematoma, kontrol perdarahan, dan reduksi tekanan intrakranial.”

Pukul 06.50

Sayatan kulit dibuat sepanjang 10 cm di sisi kiri belakang kepala. Kulit kepala dipotong secara lapis demi lapis: kulit, jaringan subkutan, kemudian galea aponeurotica. Perdarahan kecil di kulit dikontrol dengan kauter bipolar.

Setelah jaringan lunak dibuka, bor kraniotomi dipasang.

Suara bor bergetar dalam ritme lambat. Bau tulang terbakar menyebar halus. Debu tulang tersedot ke dalam alat vacuum steril.

Dr. Katya membuka flap tulang berdiameter 5x5 cm. Setelah tengkorak diangkat dan disimpan dalam cairan saline steril, tampak jelas: dura mater—lapisan pelindung otak—menegang dan pucat kebiruan.

“Tekanan intrakranial tinggi sekali,” gumam asisten bedah.

Dura diinsisi perlahan. Begitu terbuka, semprotan darah gelap dan cairan keluar deras—hematoma lama campur edema. Isinya seperti jelly bercampur anggur hitam.

Suction bekerja cepat. Cairan dikuras pelan-pelan agar tak terjadi herniasi mendadak. Otot jantung Maula dimonitor ketat, sedikit lonjakan tekanan darah atau bradikardia bisa jadi tanda otaknya menekan batang otak.

Dengan spatula bedah mikro, otak ditampakkan: tampak gliosis keputihan, daerah kontusio berwarna biru keunguan, dan pembuluh-pembuluh kecil yang mengalami mikropendarahan.

Pukul 07.12

Pembuluh darah vena yang robek dijepit dengan klip titanium mikro. Beberapa diperbaiki dengan benang jahit 10-0. Evakuasi hematoma tuntas. Diberikan irrigasi NaCl 0.9% hangat untuk membersihkan sisa bekuan.

“Edema masih ada. Kita pasang duraplasty dan tutup sebagian flap tulang. Sisanya kita lepas, dekompresi maksimal,” ujar Dr. Katya.

Duraplasty—selaput sintetis yang menggantikan dura mater—dijahit mengelilingi area terbuka. Tulang kraniotomi tidak dikembalikan ke tempat asal, disimpan dalam bank jaringan (bone bank) untuk ditanam kembali setelah tekanan otak normal kembali.

Kulit kepala dijahit kembali dalam tiga lapisan. Satu drain silikon eksternal dipasang untuk mengalirkan sisa cairan otak ke reservoir steril.

Pukul 07.40

Ventilasi dikurangi. Obat bius dihentikan perlahan. Maula tetap belum sadar—hal yang diharapkan karena efek edema belum hilang. Kepala dibalut, posisi dijaga elevasi 30°, dan infus manitol serta kortikosteroid dilanjutkan di ICU.

Rayden yang menunggu di luar, berdiri begitu pintu ruang operasi terbuka.

Dr. Katya keluar dengan wajah serius, masker masih menutup setengah wajahnya. Ia berdiri di depan Rayden, Marlo, dan Eliza.

“Operasi berjalan lancar. Tapi ini baru awal. Hari-hari berikutnya akan menjadi pertarungan hidup dan mati. Kita tunggu reaksi otaknya terhadap dekompresi. Dia perempuan yang sangat kuat.”

Rayden mengangguk, matanya basah. Tangan gemetar di sisi tubuhnya.

Maula masih hidup tapi belum kembali dan semua hanya bisa menunggu.

Eliza dipeluk oleh Marlo.

“Bagaimana kondisi kehamilan istri saya dokter?”

Dr. Katya diam sejenak, seolah memilih kata-kata yang paling tepat di antara keheningan yang menusuk. Ia menarik napas pelan, lalu menatap Rayden secara dalam dan jujur, tanpa lapisan kepalsuan.

“Janin... masih sangat muda,” ujarnya akhirnya, lembut namun mantap. “Usia kehamilannya kira-kira baru satu minggu. Masih berupa blastokista yang baru mulai berimplantasi di dinding rahim. Pada fase ini, tubuh bahkan belum sepenuhnya menyadari bahwa dirinya hamil.”

Rayden mengatup rahangnya. Tangannya mengepal, matanya langsung menatap wajah Katya, menahan nafas.

“Kami tidak melakukan intervensi langsung terhadap kehamilannya,” lanjut Katya. “Namun, kami harus bersikap jujur. Kondisi fisiologis Maula saat ini sangat tidak stabil—dari tekanan intrakranial tinggi, manipulasi bedah besar, dan obat-obatan yang harus kami berikan seperti manitol, furosemid, kortikosteroid, juga anestesi—semua itu membawa risiko yang signifikan terhadap kelangsungan embrio.”

“Jadi... anak saya...?” suara Rayden nyaris tidak terdengar.

Katya menunduk sejenak. “Kita tidak bisa memastikan sekarang. Terlalu dini untuk menyatakan apakah implantasi berhasil atau tidak. Sistem reproduksi Maula sedang mengalami tekanan besar, tapi tubuh wanita bisa sangat kuat... kadang melampaui ekspektasi kita sebagai dokter.”

Marlo menatap ke arah Rayden, seolah siap menopang jika pria itu runtuh kapan saja.

“Ny. Eliza, sebagai nenek, Anda pasti mengerti bahwa pada usia ini janin belum memiliki plasenta aktif. Artinya, belum ada pertukaran darah penuh antara ibu dan janin. Itu memberi kita sedikit harapan. Tapi...” Katya memandang Rayden lagi. “Saya tidak akan memberi janji palsu.”

Rayden mengangguk pelan. Napasnya berat. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Lalu ia mengucap lirih, hampir berdoa, “Kalau satu-satunya cara agar dia hidup adalah kehilangan itu... saya akan menerimanya, Dokter. Tapi kalau ada kemungkinan keduanya bisa selamat, sekecil apa pun... tolong jaga dia. Jaga mereka.”

Tatapan Katya sedikit melembut. Ia meletakkan tangannya di lengan Rayden.

“Kami akan melakukan semua yang bisa kami lakukan. Dan sisanya... mungkin akan bergantung pada Maula sendiri.”

Rayden menunduk, menggenggam tangannya. Di dadanya, ada rasa hancur dan harapan yang bertarung hebat dan keduanya terasa sama menyakitkannya.

Maula masih hidup. Tapi taruhannya kini lebih dari sekadar satu nyawa. Itu adalah dua dan keduanya sangat berharga bagi Rayden.

...•••Bersambung•••...

1
Putri vanesa
Semoga Maula kuat dan msih aman sma yg lainnya, Ray knpa gk minta tolong papamu dan om axelee
Putri vanesa
Sukaa banget setelah sekian lamaaaa Mauuulaa ❤️❤️
Vohitari
Next, seriesnya seru thor
Pexixar
Lanjut lagi
Miami Zena
Series yg paling ditunggu, mentalku aman kok thor
Sader Krena
Lanjutan ini selalu kutunggu, cepat rilis thor
Flo Teris
Selalu nungguin series nya, btw mentalku aman banget
Cloe Cute
Segerakan series 3 kak, udah gak sabaar aku tuh
Bariluna Emerla
Aku menunggu series 3 kak
Zayana Qyu Calista
Sedih kan kamu Ray, mana istri lagi hamil lagi kamunya berulah. Sekarang Maula hilang malah kelimbungan, cepat rilis yang ketiga kak, udah gak sabar mau baca
Rika Tantri
Puas banget sama pembalasan Maula tapi kesel banget sma Rayden. Udah tau si barabara itu otaknya gesrek, masih aja diikutin
Zayana Qyu Calista
Ditunggu banget nih series 3, yg paling dinanti ini mah. Cepetan kak ya
Arfi
Cepat di rilis kak, gk sabar aku
Arfi
Puas banget sama Maula ih, salah cari lawan kan lo Bar
Hanna
Kamu tuh ceroboh banget tau dak sih Ray, gak bisa baca apa kalo dia pura2
Hanna
Wajar aja Maula ngamuk dan ninggalin kamu Ray, dia ngeliat pergulatan panas kamu sama barbara.
Hanna
Puas banget aku weehh
Hanna
Dia nyoba ngeracau pikiran Maula ini mah
Ranti Zalin
Puas banget ngeliat dia diginiin, mampos
Ranti Zalin
Bikin masalah nih org njirr
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!