Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Ubud Aku Datang
📝 Diary Mentari – Bab 22
“Kadang, hidup tidak memberi kita pilihan. Tapi selalu ada harapan di dalam koper kecil yang kita bawa dengan ragu-ragu.”
...****************...
Malamnya, rumah terasa sunyi. Angin dari celah anyaman bambu di dinding membuat tubuhku dingin sedingin hatiku malam ini. Aku hanya duduk, memandangi koper kecil di sudut kamar.
Tak ada pesta kelulusan. Tak ada makan-makan. Hanya suara jangkrik dan embusan angin dingin.
Sampai tiba-tiba Bapak berkata dengan suara pelan namun tegas, “Tan, besok kita ke Ubud. Kemasi baju kamu. Bapak sudah mencarikan pekerjaan.”
Aku mendongak, agak terkejut. “Ke Ubud, Pak?”
“Iya. Pak Kartika, iparnya Bibi kamu, sudah terima kamu. Dia punya art shop di Ubud. Kamu kerja di salah satu tokonya. Tinggalnya nanti di rumah ibunya Pak Kartika.”
Aku menelan ludah. Antara syok dan bingung. Aku tahu siapa Pak Kartika. Aku pernah bertemu dia waktu kecil. Tapi aku tak pernah membayangkan bahwa hidupku akan tiba-tiba berubah secepat ini.
“Besok pagi-pagi kita berangkat. Bapak sudah bilang ke Ibu,” lanjutnya.
Tanpa tanya, tanpa pilihan. Seperti biasanya.
Aku tak berkata apa-apa lagi. Hanya mengangguk pelan. Malam itu, aku mengemasi dua stel baju terbaikku—kemeja putih dengan rok biru tua yang masih cukup rapi. Sebungkus kecil sabun wangi, foto Bapak dan Ibu, dan buku diaryku yang sudah hampir penuh. Tak lupa satu helai kain bali—hadiah dari Nenek, hanya itu yang bisa kubawa.
⸻
Keesokan paginya, dengan mata bengkak karena tak bisa tidur semalaman, aku pergi meninggalkan Kampung Karet. Vespa buntut bapak mengantarkanku. Jalan kampung yang bergelombang terasa makin jauh dari kehidupanku. Kampung Karet perlahan menghilang dari pandangan. Suara ayam, udara pagi yang dingin, aroma kayu bakar dari dapur—semuanya tertinggal di belakang.
Perjalanan ke Ubud terasa seperti masuk ke dunia lain. Jalanan beraspal mulus, pertokoan, hotel-hotel kecil, dan mobil-mobil turis berjejer di tepi jalan. Aku seperti gadis dari masa lalu yang tersesat ke masa depan. Hampir 90% berkulit putih berambut pirang. Kota Wisata ini benar benar dipenuhi turis
Dan ketika kami tiba di rumah tempat aku akan tinggal, aku benar-benar tercengang.
Rumah Pak Kartika seperti istana. tembok putih bersih, dengan taman kecil di halaman depannya. Ada air mancur mungil, jendela kaca besar, dan garasi tempat mobil hitam terparkir rapi. Ruangan dalam rumahnya terang dan wangi. Lantainya keramik mengilap. Di dinding tergantung lukisan-lukisan besar, ada televisi layar datar, dan rak buku berisi katalog seni.
Aku berdiri mematung, kikuk dengan baju sederhana dan sandal jepitku. Tanganku menggenggam erat ransel yang biasa aku bawa ketika kemah pramuka.
“Mentari, ya?” Seorang nenek menyambutku di depan pintu. Wajahnya ramah, senyumnya hangat. “Saya ibu dari Pak Kartika. Kamu nanti tidur di kamar tamu ya. Kalau lapar, bilang saja. Di sini seperti rumah sendiri.”
Aku mengangguk pelan. Dalam hati, aku tahu ini bukan rumahku. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa seperti ada harapan yang datang diam-diam bersama takdir yang tak kuminta.
Setelah menaruh ranselku di kamar kecil rumah itu—yang terasa seperti istana jika dibandingkan dengan rumah kami di Kampung Karet—Pak Kartika langsung mengajakku keluar. “Kita ke toko, ya, Tan. Biar kamu lihat tempat kerja kamu,” katanya sambil mengambil kunci mobil. Aku hanya mengangguk dan mengikutinya dari belakang.
Sepanjang jalan menuju pusat Ubud, perasaanku campur aduk. Aku kagum melihat jalanan yang ramai, toko-toko berjejer rapi, bule-bule berjalan santai dengan pakaian tipis, dan seniman-seniman di pinggir jalan melukis wajah atau memainkan alat musik tradisional. Tapi di balik itu semua, ada rasa asing yang menyelimuti dadaku. Ini bukan kampungku. Ini bukan rumahku.
Kami berhenti di depan sebuah toko besar bertuliskan “Bali Tropic Wear”. Dari luar saja toko ini tampak mewah—penuh kaca dan patung kayu berukir di tiap sisi pintu. Begitu pintu dibuka, hawa dingin menyergap kulitku. AC di dalam toko langsung menusuk sampai ke tulang. Aku menggigil kecil, tapi mencoba tetap tenang.
Pak Kartika berjalan lebih dulu. “Pagi, Ketut!” panggilnya pada seorang wanita muda dengan rambut lurus sebahu, kulit putih, dan makeup sempurna. “Ini keponakan saya dari kampung. Namanya Mentari. Mulai hari ini bantu-bantu di sini, ya.”
Aku tersenyum kikuk. “Selamat pagi, Kak…” suaraku hampir tak terdengar.
Ketut menatapku dari ujung kaki sampai kepala. Tatapan itu membuatku ingin menghilang. Di belakangnya, beberapa karyawan toko lain juga menoleh. Perempuan-perempuan cantik dengan pakaian rapi, sepatu bersih, dan aroma parfum mahal. Mereka melihatku seperti aku ini makhluk asing—anak kampung yang salah masuk dunia mereka.
Salah satu dari mereka berbisik pada temannya, lalu tertawa kecil sambil melirik ke arahku. Aku pura-pura tak peduli, tapi telingaku panas. Aku tahu mereka menganggapku aneh. Penampilanku jauh dari mereka—bajuku sederhana, rambutku kaku dan keriting, kulitku gelap karena terbakar matahari, dan tubuhku kurus karena terlalu sering lupa makan.
Pak Kartika memeluk bahuku singkat. “Kerja yang rajin, Tan. Dengar apa kata Ketut, ya. Jangan sungkan nanya kalau nggak ngerti.”
Aku mengangguk pelan. Saat itu, ingin sekali aku berkata: Jangan tinggalkan aku, Pak… Tapi tentu saja aku tidak mengatakan apa-apa.
Lalu Pak Kartika pergi. Dan aku berdiri sendiri di tengah toko besar itu. Seperti sehelai daun kering yang tersesat di antara bunga-bunga plastik yang cantik tapi tak berjiwa.
Ketut menunjukkan padaku bagian gudang belakang tempatku menyimpan barang, juga meja kasir yang suatu saat nanti harus aku pelajari. Ia tidak ramah, tapi cukup jelas memberi instruksi. Aku mencoba menyimak semua meski pikiranku berkecamuk. Rasanya seperti dilempar ke dunia yang sama sekali tidak aku kenal.
Hari pertama tidak langsung bekerja penuh, tapi cukup untuk membuatku lelah. Tidak hanya secara fisik, tapi juga perasaan. Aku merasa kecil. Sangat kecil. Dunia ini begitu besar, begitu rapi dan indah… dan aku hanya serpihan debu dari kampung yang terbang entah bagaimana bisa sampai ke sini.
Tapi malam itu, di kamar tamu yang dingin dan sunyi, aku membuka diary dan menulis:
“Hari ini aku resmi memulai hidup baru. Tak ada kebun, tak ada suara ayam, tak ada sungai untuk mencuci. Hanya AC dingin, lampu putih terang, dan wajah-wajah yang tidak mengenalku. Aku harus bertahan, meski mereka tidak menyambutku. Aku bukan siapa-siapa. Tapi aku datang untuk menjadi seseorang.
“Aku tidak tahu apakah ini awal yang baik atau hanya pelarian dari kenyataan. Tapi hari ini, hidup membawaku ke tempat yang bahkan tak pernah aku bayangkan.”
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.