NovelToon NovelToon
ASMARALARAS

ASMARALARAS

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Kidung Darma

Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 30

Satu bulan telah berlalu sejak sore yang basah di tanggul Kali Brantas. Gerimis telah lama reda, tapi rasa sesak itu masih tinggal di dada yang enggan bicara.

Tepat tanggal sepuluh Juni, kabar itu menjadi nyata: Wiji menikah dengan Andini, putri semata wayang Kaji Umar dan Hajah Raminten. Suasana rumah Kaji Mispan pun berubah ramai sejak pagi. Pintu terbuka lebar, tetangga lalu lalang, dan aroma masakan berjejal dari dapur hingga serambi.

Yu Kastun sibuk mengatur tampah berisi jajanan pasar, sementara Bu Hartini membantu meronce bunga melati dan menata seserahan. Tejo dan Untung, dua pemuda kampung, ikut membantu mendirikan tenda, menggantung umbul-umbul, dan menyusun kursi tamu.

Semua terlihat biasa. Meriah. Seperti hajatan pada umumnya. Tapi di antara hiruk pikuk dan tawa yang dibuat-buat, ada satu hati yang diam-diam remuk—dan tak terlihat oleh siapa-siapa.

Tidak semua pesta membawa suka cita. Kadang, justru menjadi penanda… bahwa seseorang akhirnya benar-benar pergi, bukan hanya dari pandangan, tapi dari kemungkinan.

Di dapur belakang rumah Kaji Mispan, aroma rawon masih mengepul dari tungku tanah liat. Uapnya naik perlahan, menempel di dinding bambu dan membuat seisi ruangan terasa lembap, tapi hangat. Suara gamelan mulai terdengar dari depan rumah, berpadu dengan sorak-sorai anak-anak dan suara ibu-ibu yang sibuk menata hidangan.

Sambil memetik daun jeruk dan menyiapkan pelengkap rawon, Bu Hartini bersandar sejenak, meluruskan punggungnya yang pegal. Ia tersenyum kecil dan berkata,

“Enak ya, Yu… kalau musim hajatan begini. Banyak hiburan, banyak makanan enak. Campursari semalaman, tamu datang bawa cerita, dapur nggak pernah sepi.”

Yu Kastun mendelik sekilas, sendok kayu di tangannya masih mengaduk kuah rawon yang mulai mengental.

“Waduh, Bu Hartini ini gimana to,” sahutnya dengan nada setengah bercanda tapi sarat makna. “Musim hajatan kok dibilang enak. Campursari menggema, tapi dompet warga merana. Tiap minggu amplop jalan terus.”

Bu Hartini tertawa kecil, menutup mulutnya dengan tangan bertepung.

“Iya juga, Yu. Tapi kan ya begini ini bagian dari hidup di kampung. Sekali bantu, nanti dibantu. Sekali keluar uang, semoga gantinya rejeki.”

Yu Kastun mengangguk pelan. “Benar, Bu. Tapi kadang yang diganti bukan rejeki, malah rasa capek dan ngelus dada. Apalagi kalau yang hajatan tentangga, sanak saudara. Udah buwuh masih juga bantu-bantu…”

Di luar, suara orkes mulai mengalun lagi. Lagu lama, tapi masih saja disukai banyak orang. Penyanyinya melengking penuh semangat, seolah tak ada luka di dunia ini.

Yu Kastun dan Bu Hartini saling pandang sekilas, lalu kembali ke kesibukan masing-masing. Tak perlu berkata-kata. Mereka tahu, di balik semarak hajatan, selalu ada kisah yang tak terucap.

Dapur terus panas, rawon terus diaduk, dan tamu-tamu terus berdatangan. Tapi di antara kepulan uap dan hiruk-pikuk pesta, ada rasa lelah yang tak ikut di rayakan.

Sementara di dapur dua perempuan itu terus bercakap di antara aroma rawon dan suara orkes, Wiji berdiri diam di lorong rumah, tak jauh dari ambang pintu. Ia tak sengaja mendengar percakapan mereka—tentang hajatan, tentang lelah, tentang rasa yang kadang tak pernah kembali meski sudah diberi.

Ia tidak menyela. Tidak menampakkan diri. Hanya berdiri, mematung, sambil menunduk dalam diam.

Setiap kata yang terucap tadi seperti menamparnya perlahan: tentang pesta yang tak selalu membawa bahagia, tentang bantuan yang datang bukan dari senang, tapi dari kewajiban. Tentang hidup yang tak selalu memilihkan yang terbaik bagi perasaan.

Dan entah mengapa, Wiji merasa dirinya sedang jadi bagian dari semua itu.

Bajunya rapi. Beskapnya wangi. Tapi di balik itu, dadanya terasa berat. Ia mendengar suara orkes dari halaman, dentuman musik, tamu yang berseloroh, dan suara ayahnya yang tertawa keras menyambut para undangan.

Tapi di dalam dirinya, tak ada yang meriah. Ia kembali teringat tanggul Kali Brantas. Gerimis. Tatapan Asmarawati. Suara tangis yang ditahan. Dan kalimatnya sendiri yang kini seperti ejekan:

“Janji ojo lungo, ya.”

Di sudut lain terlihat para biodo sinoman sibuk mondar-mandir. Di antara mereka, Tejo dan Untung, dua pemuda kampung langganan hajatan, masih sibuk mengatur galon dan kabel pengeras suara yang menjuntai ke mana-mana.

Tejo menurunkan galon dari motornya sambil mengelap peluh dengan ujung kaos. Sementara Untung jongkok di dekat tiang tenda, menggulung kabel yang ujungnya basah terkena es teh tumpah.

“Katanya ini hajatan Wiji,” gumam Untung pelan, matanya melirik ke arah rumah. “Tapi dari tadi kulihat wajahnya kayak orang kehilangan kambing, bukan calon pengantin.”

Tejo nyengir tipis. “Ya, bajunya doang yang rapi. Orangnya… kosong. Kayak nggak di sana.”

“Aku tadi sempat salaman pas dia keluar sebentar,” kata Untung lagi. “Tapi matanya kosong. Bicaranya setengah hati.”

Mereka terdiam sejenak. Angin malam membawa bau kuah rawon, kuah bakso, dan aneka masakan lainnya. Dan lagu dari orkes yang sedang memainkan tembang campursari. Tapi bagi mereka berdua, ada yang terasa ganjil dari pesta ini.

“Padahal dulu aku sering lihat dia sama Asmarawati,” ujar Untung pelan. “Setiap kali Asmara pentas pasti Wiji ada disana, jadi suporternya. Mereka kelihatan cocok banget.”

Tejo mengangguk pelan, lalu menjawab sambil menghela napas, “Kadang cinta kalah sama keputusan orang tua. Kalah sama omongan tetangga. Dan yang tersisa ya begini—pesta besar, tapi senyumnya palsu.”

Untung memandangi panggung orkes dangdut. "Pesta tetap berjalan… Tapi hatinya entah ikut atau tidak.”

Dan di tengah riuh rendah perayaan, dua pemuda itu kembali bekerja, menyambung kabel, menyiapkan air minum, ikut tertawa bersama yang lain—walau mereka tahu, yang dirayakan hari ini belum tentu benar-benar kebahagiaan.

******

Sementara Asmarawati hanya bisa di dalam kamarnya. Duduk di pojok, memeluk lutut, menatap kosong ke dinding yang tak menjawab apa-apa. Tak ada yang ia katakan. Tak ada yang ia lakukan. Selain diam… dan menangis.

Tangis yang pelan, nyaris tanpa suara, tapi terasa berat sampai ke tulang. Bukan sekadar sedih—tapi karena hatinya seperti ditinggal hidup-hidup.

Di luar sana, pesta berlangsung. Lampu menyala terang, suara musik bersahut-sahutan, orang-orang tertawa, dan nama Wiji disebut berkali-kali. Tapi di kamarnya, hanya ada ia dan sunyi.

Dan rasa kehilangan yang tidak bisa dijelaskan pada siapa pun.

Ia tidak datang. Ia tidak ingin melihat. Karena melihat artinya mengakui: Wiji benar-benar sudah pergi.

Disaat tenda hajatan di rumah Kaji Mispan semakin semarak, dan orkes memainkan lagu-lagu pengiring pelaminan, Asmarawati masih terdiam di kamarnya. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu hari itu selesai. Ia bahkan tidak mencoba bangkit dari tempat duduknya. Seolah dengan tidak bergerak, waktu bisa berhenti dan pesta itu batal terjadi.

Tapi kenyataan terus berjalan. Suara orkes dari rumah kaji Mispan terdengar hingga ke dalam kamarnya. Tentang lagu-lagi cinta yang setiap liriknya seperti mengguratkan luka baru.

Asmarawati hanya bisa menunduk. Matanya sembab. Hidungnya basah. Sesekali ia mengusap air mata dengan lengan bajunya. Tak ada sapu tangan. Tak ada pelukan.

Malam yang muram terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena angin, tapi karena hatinya yang ditinggal diam-diam—oleh seseorang yang pernah menjanjikan akan tetap tinggal. Ia masih mengingat jelas saat Wiji berkata, “Janji, jangan pergi ya...”

Tapi ternyata yang pergi lebih dulu justru dia. Kini, suara orkes menggema lebih keras. Lagu gembira tentang pengantin baru mengudara tanpa dosa. Lagu yang dulu mereka dengarkan bersama, kini menjadi iringan pesta milik orang lain.

"Sayang, titip ragaku, titip rasa tresnaku

Seneng iki mung kowe sing ngerti

Dadio konco critaku sepanjang uripku

Lintang, suwun ngancani suwun sampun nresnani

Padange dalan sing tak liwati

Cidrane ati gusti pun ngrampungi."

Lirih lagu itu menyayat hati Asmarawati yang menangis di kamarnya sendiri. Asmarawati memejamkan mata. Tapi bukannya tenang, yang datang justru potongan-potongan kenangan—dari panggung ke panggung, dari panggilan sayang, dari sore-sore di tanggul Brantas, sampai malam-malam panjang penuh harapan.

Ia membuka mata lagi. Kosong.

Tak ada tempat untuk marah. Tak ada tempat untuk bertanya. Yang tersisa hanya air mata. Dan diam.

Hari itu, ia tidak menghadiri pesta. Tapi ia sedang mengubur cinta yang tak jadi nyata.

Di luar, malam kian menebal. Suara orkes sudah tak segalak tadi. Lampu tenda masih menyala, tapi sebagian kursi sudah kosong. Para tamu mulai pamit satu per satu.

Tapi di dalam kamar itu, malam terasa seperti belum mulai.

Asmarawati masih duduk di tempat yang sama. Teleponnya tergeletak di sebelah bantal, tiba-tiba muncul pesan SMS dari Wiji.

"Dek, aku njaluk ngapura, ya!"

Asmarawati hanya diam, tak membalasnya. Ia menarik napas panjang. Lalu membuangnya pelan-pelan. Seolah dengan begitu, bisa ia buang juga kenangan yang sejak tadi menyesakkan.

Tapi nyatanya tidak. Nama Wiji masih tinggal di sana. Di sela-sela napas. Di sela-sela diam.

Ia melirik jendela. Langit gelap. Bintang-bintang enggan muncul malam ini. Entah karena mendung, atau karena tak ada lagi yang ingin mereka saksikan di bumi.

Dan di dalam kamar itu, Asmarawati tetap diam.

Tak membalas. Tak bicara. Karena kadang… diam adalah satu-satunya jawaban paling jujur dari hati yang remuk redam.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!