Spiritus
...Seperti spiritus, jiwa pemuda kan terus berpijar hebat....
...Seperti spiritus, candu dari bau darah dan dendam....
...Seperti spiritus, segala yang tersentuh kan hangus tersulut....
Itulah pesan yang kutinggalkan kepada sepasang sejoli yang nantinya akan menjalani hidup baru dengan nama baru, begitupun juga dengan diriku yang akan menaiki kereta menuju destinasi baru.
Meskipun kuyakin bahwasanya mereka itu takkan pernah mengenal diriku, walaupun mereka melihat kereta yang kuambil, juga stasiun yang kudatangi, kedua hal tersebut takkan pernah diketahui oleh sejoli itu.
Dikarenakan, diriku adalah sosok yang biasa disebut oleh orang-orant sebagai "sang narator", tapi diri ini lebih memilih untuk menyebut diriku sebagai seorang pengamat.
Dan, bagian "narator" inilah catatan² yang kutuliskan di kertas coklat—mereka daur ulang, sehingga warnanya coklat—yang dibalut oleh sampul berwarna coklat pula.
Tapi tak seterang coklat kertas, bahannya juga tak sekasar kertas, bahannya ialah kulit, entah sapi atau kambing.
Dengan catatan² ini yang kutuliskan di atas kertas berukuran B5, dapat kau baca mengenai cerita sepasang sejoli yang baru saja berpindah dari tempat mereka berada, sebagaimana kisah satu dari sepasang sejoli itu dimulai.
Juga kisah² lainnya yang sudah kudokumentasikan dengan bolpoin bertinta gel berwarna biru—kupilih biru karena itu warna favoritku.
Ini kulakukan agar kalian, para pembaca memoar hidup objek observasiku, dapat mengingat mereka dengan jelas, ataupun bilamana kalian tidak ingat, setidaknya ada satu-dua hal yang akan melekat.
Namun, motif semacam itu terdengar terlalu mulia, atau terlalu egois, tergantung dari sisi mana kalian melihatnya, tapi sebetulnya motif yang kutuliskan itu—yang menjadi prolog dari kisah sang sejoli ini—adalah sebuah dusta.
Kupilih menulis di atas kertas daur ulang itu karena itulah kertas yang kumiliki.
Kupilih menulis di buku bersampul kulit karena itulah pemberian dari seseorang di awal perjalanan lintas duniaku.
Kronologi awal diriku menjadi "sang narator".
Asal muasal dari nasib nahasku.
Mengenai warna biru dari tinta itu, bagian itu adalah kejujuran.
Biru adalah warna favoritku.
Sebagaimana langit yang biru.
Sebagaimana laut yang biru.
Sebagaimana hatiku yang sudah lama membiru.
Sebagaimana kaca yang mengizinkanku untuk melihat kedua hal itu.
Sebagaimana terowongan lintas dunia yang membawaku kepada sepasang sejoli itu.
Sepasang sejoli yang tak cocok.
Layaknya minyak dan air.
Yang membakar dan yang memadamkan.
Namun, ternyata, di akhir kisah, lebih dari cocok.
Api dan Es, tercampur menjadi air; sumber dari kehidupan.
Mungkin sejoli itu yang dinamakan jodoh.
Atau mungkin hanya perasaan fana sementara—kecocokan sementara.
Sebagaimana kisah mereka yang memiliki awal dan akhir.
Di kasus ini, 'kan kunyatakan pendapatku.
Kepada seorang petarung dan seorang pasifis.
Matahari dan Bulan.
Saling melindungi—itulah perspektifku.
Apapun yang terjadi, bagaimanapun nasib memberi.
Baik sehat maupun sakit, senang ataupun sedih.
Berjanjilah, tak perlu sekarang, nanti saja bilamana sudah waktunya.
Sebab hanyalah kalian berdua yang mampu saling melindungi.
Juga, sebab keinginan kalian yang meminta, tetapi bukanlah hakku untuk menyatakan isi hati kalian.
Sehingga, mengakhiri prolog ini, kunyatakan pendapatku.
Kepada dirimu, sepasang sejoli bertolak belakang, yang kisahnya akan menjadi kenangan abadi di kereta lintas-dunia ini, semangatlah!
Karena layaknya spiritus, diingatkan kepada dirimu, bahwasanya kamulah api berkobar.
Dan layaknya spiritus, semua disekitarmu akan ikut terbakar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments