Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Terjadi lagi
Di kediaman Bagaskara, Antika kembali membuat ulah. Semua pakaian yang tersisa di rumah tersebut sudah di pak dalam tas besar. Bu Azni lah yang paling terkejut dengan tingkah laku Antika saat itu.
"Kamu mau bawa kemana semua barang-barang kamu?" tanya Bu Azni cemas.
Raut wajah Antika tampak kusut. "Pulang, Ma. Kemarin Arjuna sudah mengusirku," jawab Antika terdengar kesal.
"Mana bisa seperti itu? Ini rumah Mama, bukan rumah Arjuna. Jadi, yang berhak memutuskan siapa yang akan tinggal adalah Mama," cegah Bu Azni tidak ingin anak perempuannya pulang ke rumah mertua.
Ya. Antika masih hidup bersama ayah mertuanya. Suaminya mengatakan jika sebagai putra tunggal, merekalah yang berhak merawat ayahnya. Ayah dari Onad, suami Antika, mengalami sakit keras hingga hanya bisa berbaring di ranjang.
Antika yang terbiasa hidup tanpa melakukan suatu pekerjaan, tentu tidak mau merawatnya dengan dalih, bukan orang tuanya. Onad sudah pasrah dengan kelakuan Antika yang sulit untuk dirubah. Terakhir kali ketika Antika bertemu Onad, suaminya itu mengajukan gugatan cerai untuknya karena tak mampu menjadi istri serta ibu yang baik untuk anaknya.
"Aku tidak bisa, Ma. Aku sadar, di sini aku hanya menumpang," jawab Antika dramatis. Begitulah sifat dari Antika yang banyak menurun dari ibunya. Merasa menjadi manusia paling terluka.
Padahal, merekalah yang sebenarnya telah menyakiti perasaan orang lain. Giliran mereka yang mendapat nasehat dan komentar pedas, mereka akan marah dan bertingkah layaknya korban.
"Kamu tidak perlu mendengar ucapan Arjuna. Dua istrinya saja hidup menumpang di sini." Bu Azni ingin menahan putri kesayangannya untuk tidak pergi dari rumah. Dia tidak akan rela jika anak cantiknya sampai dijadikan pembantu untuk merawat besannya. Enak saja.
"Oh, jadi selama ini Mama anggap aku dan istriku hidup menumpang?" ucap suara dari arah depan yang berhasil mengalihkan perhatian semuanya.
Antika menunduk malu sedangkan Bu Azni tidak pernah merasa bersalah dengan kalimat yang baru saja terlontar. "Memang bukan?" tanya beliau tersenyum sinis.
Arjuna tersenyum tipis. "Aku kerja untuk Mama, untuk kalian semua. Kak Antika bagaimana? Bukankah dia memiliki suami dan anak? Mengapa sepanjang hari dia selalu berada di sini? Apakah dia tidak memiliki tugas sebagai istri dan ibu? Lagi pula, Kakak di sini hanya duduk santai sambil minum kopi. Kakak sudah dzolim terhadap anak dan suami Kakak," ucap Arjuna santai.
Wajah Antika langsung merah padam. Dia tidak terima dikatakan dzolim oleh seseorang yang lebih muda. Bagaimana pun, harusnya Arjuna tidak boleh berucap demikian.
"Arjuna! Apa itu yang kamu dapat setelah menikah dengan Nara?" tanya Bu Azni berniat ingin membela Antika.
Arjuna ingin mendekat, tetapi sebuah tangan memegang lengannya. "Mas tidak boleh sampai durhaka kepada Mama," gumam Nara mencoba menenangkan suaminya.
Arjuna mengangguk mengiyakan. "Mas hanya ingin memberikan pendapat, bukan berniat melawan Mama," jawab Arjuna yang disetujui oleh Nara.
"Aku tidak habis pikir. Kurang apa Nara di mata Mama? Nara rela di madu atas permintaan Mama yang ingin segera memiliki keturunan, Nara rela tinggal bersama kalian dan mengurus keperluan rumah, Nara bahkan masih menghormati Mama terlepas dari apa yang Mama lakukan bersama Kak Antika dan Beta. Mama butuh yang seperti apa lagi?" tanya Arjuna setelah mendekati sang Mama.
Bu Azni terdiam dengan tatapan mata yang menghunus tajam mata Nara. Tatapan penuh permusuhan bagai ingin menelannya hidup-hidup. "Mama butuh perempuan yang seperti Nadya," jawab Bu Azni sambil mengangkat satu alisnya, sombong.
Nara tak lagi terkejut mendengar pengakuan tersebut. Baginya itu hal biasa karena ibu mertuanya itu belum menemukan celah dari Nadya. Setelah ada celah, Nara yakin ibu mertuanya itu akan balik menjelekkan Nadya.
"Yang menikah aku, yang menjalani pernikahan juga aku, yang memberi nafkah, mendidik ya aku, Ma. Menikah itu seumur hidup. Kalau bisa, cari pasangan yang mau memahami dan menurunkan ego. Karena menikah adalah ibadah ter lama dengan ujian yang tidak mudah. Kalau sampai salah pasangan, maka akan hancur semuanya," jelas Arjuna panjang lebar.
Bu Azni memutar bola matanya jengah. "Ibadah ... Ibadah. Sejak bergaul dengan Nara, kamu jadi sok bijak. Buktinya, Mama bisa menjalani pernikahan hingga puluhan tahun. Bahkan, sampai Papa kamu tiada. Nyatanya, tidak seberat itu," jawab Bu Azni enteng.
Nara menghembuskan napasnya lelah. Ibu mertuanya itu memiliki segudang alasan untuk mempertahankan argumennya.
"Iya. Karena Papa adalah orang yang sangat pengertian. Mungkin, Papa capek hidup dengan Mama yang keras kepala. Hingga Tuhan memilih menjemput Papa lebih dulu di usianya yang terbilang belum terlalu tua." Celetukan itu membuat semua menoleh ke arah tangga dan Beta berdiri dari sana.
"Beta! Kamu sudah berani melawan Mama?!" tanya Bu Azni tidak terima.
Nara memijat pelipis yang mendadak nyeri akibat mendengar perdebatan keluarga Bagaskara. Nara juga heran. Beta terkadang menjadi sosok yang sangat menyebalkan bila sedang bersama dirinya. Namun di sisi lain, Beta itu adalah orang yang kritis terhadap sekitar, terutama menyangkut papanya.
Definisi mewarisi sifat ayah dan ibunya, mungkin.
"Kali ini aku setuju dengan pendapat Kak Arjuna. Menikah adalah ibadah ter lama dan ujiannya berat. Dulu aku sering lihat Papa pusing karena memikirkan Mama yang susah diatur. Aku kasihan waktu itu." Beta justru kembali bercerita hingga membuat Bu Azni naik pitam.
"Beta! Kamu jangan jadi anak durhaka ya!" bentak Antika tidak terima sang Mama di jelekkan.
"Kenapa? Memang seperti itu kenyataannya. Sampai sekarang saja, Mama masih sangat memanjakan Kakak. Sangat berbeda ketika bersikap padaku. Terkadang, aku berpikir jika aku bukan anak kandung Mama karena menjadi anak yang paling dibedakan dalam keluarga. Kak Arjuna saja dulu sangat di sayang. Cuma Papa yang peduli denganku." Beta kembali mencurahkan isi hatinya yang membuat pening di kepala Nara menguar seketika.
Ada rasa iba yang menelusup relung batinnya. Jadi selama ini, sikap angkuh dan cuek dari Beta merupakan sikap untuk mempertahankan diri sendiri?
"Itu tidak benar, Beta. Mama sayang sama kamu sama Kakak. Mama tidak pernah membedakan kalian," tutur Bu Azni tidak ingin Beta salah paham.
"Bohong. Semua hanya bohong. Sudahlah. Aku mau pergi dulu. Teman-teman ku sudah menunggu." Setelah itu, Beta melenggang melewati Bu Azni dan Antika. Ketika akan melewati Arjuna, suami dari Nara itu mencekal pergelangan tangan Beta.
"Mau kemana? Ini sudah malam, Ta," ucap Arjuna lembut.
Bukannya menjawab, Beta justru menatap Nara dengan pandangan yang sulit diartikan. "Benar. Ini sudah malam, Ta. Jangan keluar dulu. Lebih baik kamu tidur," ucap Nara ikut menasehati.
"Apa sih? Aku bersikap seperti tadi bukan berarti Kak Nara bisa mengaturku ya. Jangan pernah menganggap aku lemah. Dan ingat, aku masih tidak menyukai Kak Nara. Pandangan ku terhadap Kakak belum berubah hingga detik ini," ucap Beta menyentil Nara.
Nara hanya mengangguk dengan mengulas senyumnya. Beta memang sedang dalam usia susah diatur. Usia pertengahan antara remaja bukan, dewasa juga belum. Di usia itu, seseorang sedang mencari jati dirinya.
"Aku tahu kok," jawab Nara dengan santainya.
Tanpa mempedulikan semua, Beta benar-benar pergi dari rumah. Arjuna juga tak bisa lagi untuk mencegah.
Sepeninggalan Beta, suara Antika kembali terdengar. "Kini, giliran aku yang harus pergi. Mungkin aku akan mengurus perceraian dan kembali bekerja daripada dianggap benalu di rumah orang lain. Aku pergi, Ma."
Dan tangis Bu Azni tak bisa lagi ditahan. Dia semakin menyalahkan Nara atas ketidak-harmonisan keluarganya. 'Ini semua gara-gara Nara. Aku tidak akan membiarkan dia hidup dengan tenang di rumah ini,' batin Bu Azni bersumpah.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Mampir juga kesini yuk 👇👇...