Sepeninggal suami, Nani terpaksa harus bekerja sebagai seorang TKW dan menitipkan anak semata wayangnya Rima pada ayah dan ibu tirinya.
Nani tak tau kalau sepeninggalnya, Rima sering sekali mengalami kekerasan, hingga tubuhnya kurus kering tak terawat.
Mampukah Nani membalas perlakuan kejam keluarganya pada sang putri?
Ikuti kisah perjuangan Nani sebagai seorang ibu tunggal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjemput Titik
Nina menemui Wingsih untuk menemani Rima di rumah, dia merasa harus segera menyelesaikan masalahnya dengan Titik agar lekas mengobati sang ayah.
"Gimana pak Dibyo Nin?" tanya Wingsih iba.
"Bapak harus operasi Bu Wingsih," jawab Nina lemah.
Wingsih yang melihat raut wajah Nina berubah, berpikir bahwa biaya yang di keluarkan pasti besar.
"Yang sabar ya Nin, pasti nanti Allah ganti beribu kali lipat," hibur Wingsih.
Nina menerawang menatap dengan pandangan kosong, "sebenarnya uang itu mau saya gunakan untuk modal usaha, umur sepertiku memang bisa kerja apa Bu Wingsih, terlebih lagi aku hanya lulusan SMA," lirihnya.
Wingsih teringat pada seorang pedagang di pasar yang sering memakai jasanya.
"Nin, kalau kamu usaha sembako mau?" tanya Wingsih berbinar.
"Sembako perlu modal besar Bu Wingsih, aku ngga yakin sanggup," jawab Nina lemah.
Wingsih menggenggam tangan Nina, "coba saja dulu, siapa tau itu rezeki kamu."
"Memangnya ada toko yang mau di sewakan? Kalau hanya buka di rumah rasanya kurang cocok Bu, sebab pemukiman kita masih sepi dan sudah banyak yang dagang."
"Ini di pasar Nin, pak haji Mursih mau berhenti jualan sembako, anak-anaknya ngga ada yang mau meneruskan usahanya, coba kalau kamu mau nanti aku ajak ke rumahnya," tawar Wingsih.
"Pak Haji Mursih kan buka agen sembako Bu Win, modalnya bisa ratusan juta," keluh Nina.
"Kamu itu loh, coba aja, siapa tau bisa bayar separuh dulu atau gimana, mau ngga?"
Nina berpikir mungkin ini kesempatan terakhirnya, dia juga tau Toko sembako Haji Mursih sangat ramai, untuk balik modal rasanya akan cepat.
"Ya sudah Bu, nanti kita ke sana, semoga belum ke duluan orang lain ya Bu," harap Nina.
"Sampai lupa, ibu tolong temani Rima, aku mau ke rumah Tyas," lanjutnya.
Wingsih mengernyit heran, "mau ngapain kamu ke sana?"
"Bapak minta di jenguk sama Bu Titik," jelas Nina malas.
Keduanya keluar bersama, Nina melaju menggunakan sepeda listriknya menuju ke rumah Tyas, sedangkan Wingsih mendatangi rumah Nina untuk menemani Rima.
Di depan rumah Tyas, terlihat Titik dan Dita sedang mengomel karena barang mereka yang berada di rumah Nina di kembalikan padanya.
"Rumahku udah sempit loh! Kenapa Nina harus kirim barang kalian ke sini sih!" gerutu Tyas.
"Assalamualaikum," sela Nina setelah meletakan sepedanya dan tak lupa menguncinya.
Ketiga wanita yang sejak tadi sibuk menggerutu menatap tamunya dengan sengit.
"Wah bude punya sepeda baru? Pinjam dong bude," pinta Ziva mendekat.
Nina memutar bola matanya malas, "ngga bisa, masih baru, bukannya kamu masih sakit!" tolak Nina.
"Pelit banget sih Nin, Ziva juga keponakan kamu," sergah Titik kesal.
"Ada apa kamu kemari? Lalu apa maksudnya kamu mengirim barang-barang ibu sama Dita? Kamu serius mengusir kami?" lanjut Titik.
Terpaksa Nina duduk di teras dekat dengan Ziva, karena tak di persilakan masuk, bahkan salamnya pun tak mereka jawab.
"Aku mau kasih tau bapak di rawat di rumah sakit, beliau mau ketemu sama ibu," ucap Nina to the point.
Titik tentu saja terkejut mendengar suaminya ternyata harus di rawat, dia pikir sang suami yang manja itu hanya terkilir, nyatanya keadaannya justru parah hingga harus di rawat di rumah sakit.
"Bapak sakit apa?" sela Dita.
"Tulang panggulnya retak, kenapa kalian malah mengurutnya!" sindir Nina.
"Alah bapak aja yang manja! Itu cuma terkilir, ngapain buang-buang duit buat rumah sakit!" cibir Tyas.
"Aku ngga minta uang dari kamu ini kan?" sindir Nina telak.
"Di rumah sakit mana? Ibu mau ke sana, yuk sama kamu kan?" tanya Titik.
Bagaimana pun dia mengkhawatirkan keadaan sang suami.
"Iya nanti malam kita ke sana," tawar Nina lalu bergegas bangkit dari duduknya.
Saat hendak melajukan sepeda listriknya Dita mendekatinya.
"Mbak, ngga bisa kah aku tinggal di sana? Rumah mbak Nina kan masih ada kamar kosong, aku sumpek di sini mbak," pinta Dita dengan wajah memelas.
Tanpa menjawab, Nina segera melajukan sepedanya, Dita yang di cuekin mendengus sebal.
Tadi Titik dan Tyas ke rumah Nina tapi tak ada yang membukankan mereka pintu, mereka mau memprotes mengapa Nina mengirim barang-barangnya tanpa berbjcara dengan mereka terlebih dahulu.
Sekarang Nina bahkan tak peduli dengan mereka meski sudah menampilkan wajah memelas demi mencari perhatian.
"Kurang ajar kamu! Udah mbak tampung, malah ngejek rumah mbak sumpek! Kalau emang sanggup, sana ngontrak sendiri! Pengangguran aja banyak tingkah kamu!" sungut Tyas tak terima.
"Mah, Ziva mau dong sepeda kaya bude tadi, teman-teman Ziva banyak yang pake mah, kalau sepeda listrik kaya gitu kan Ziva ngga cape gowes, terus boleh juga di bawa ke sekolah," cerocos Ziva membuat Tyas kesal.
"Alah Va ... Va mamahmu mana sanggup beli sepeda kaya bude yang harganya jutaan, buat makan tiap hari aja kepayahan!" cibir Dita.
Tyas yang mendengar ejekan adiknya lantas menatap dengan sengit, "ini semua kan gara-gara kamu ma ibu yang numpang di sini! Kebutuhan makan kami jadi membludak! Sadar diri dong!" sembur Tyas tak terima.
Dita hanya mampu bersembunyi di balik tubuh sang ibu, sebenarnya dia sangat malas sekali berada di kediaman Tyas, selain kakaknya yang cerewet, dia juga harus mengerjakan pekerjaan rumah.
Dia rindu kehidupan enaknya di rumah Nina, makan makanan enak, bisa jalan-jalan punya babu gratis pula yaitu si Rima.
Titik sendiri merasakan perih di hatinya mendengar ucapan sang putri yang merasa bahwa dia dan Dita adalah beban.
"Sudah-sudah, ibu mau beber sih, mau nengokin bapak di rumah sakit!" selanya.
"Bu Dita ikut ya? Sumpek banget di rumah mulu, siapa tau di rumah sakit Mbak Nina udah nyiapin makanan buat bapak," rengek Dita.
Mendengar ucapan Dita, Tyas dan Ziva menelan kasar salivanya, mereka berdua membayangkan ada banyak makan ringan yang pasti Nina sediakan.
"Mah ... Ziva boleh ikut nengok kakung kan?" pintanya.
"Heh mau apa kamu? Jalan aja ngga bisa mau ikutan, nanti malah ngerepotin!" sentak Dita.
Ziva menunduk sedih, Tyas yang mendengar anaknya di bentak oleh Dita merasa jengkel.
"Kamu itu ngga tau diri banget sih, ngapain bentak-benatk Ziva! Mbak tau, ngga mungkin juga mbak izinin Ziva ke rumah sakit. Tapi ya kamu sadar diri, kalau di sana banyak makanan, bawalah pulang buat kami," pintanya.
.
.
Terpaksa Nina berangkat kembali bersama Titik dan juga Dita. Rima kembali ia titipkan pada Wingsih dan Prapto.
Nina sedang berpikir, sebaiknya dia membeli sepeda motor untuk kendaraannya, karena dia merasa pengeluarannya cukup besar untuk sekedar keluar rumah karena harus selalu menyewa mobil.
Titik datang dengan deraian air mata saat melihat kondisi suaminya, sedangkan Dita melihat brankar Dibyo tak ada makanan merasa lemas.
"Yah ngga ada makanan, pelit banget sih mbak ngga beliin bapak camilan!" gerutu Dita.
Nina memilih tak memedulikan gerutuan Dita. Dia sendiri yang mau ikut ternyata punya niat tersendiri.
Dibyo merasa bahagia karena Titik datang menemuinya dengan raut wajah khawatir, tapi dia juga dilema karena harus berpisah dengan istrinya itu.
"Bapak udah makan? Terus siapa yang jaga?" tanya Titik beruntun.
"Belum Bu, bapak belum dapat makan dari rumah sakit," jawabnya lemah.
"Kamu kok tega sekali Nin, ngga beliin bapakmu apa-apa!" gerutu Titik.
"Ada hal penting yang akan kami bahas Bu Titik!" jawab Nina mengelak membicarakan masalah makanan.
"Ada apa?" tanya Titik waswas.
"Bapak harus operasi!"
Titik dan Dita terperangah, ternyata luka yang di derita Dibyo lumayan serius hingga harus menjalani operasi.
"Lalu?" tanya Titik gugup.
"Ya ibu siapkan uangnya lah!" jawab Nina santai, raut wajah Titik pucat seketika.
.
.
.
Tbc