Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 13
Sepasang suami-istri dan selingkuhan sang suami berada dalam satu ruangan. Tidak ada pertengkaran apalagi acara jambak-jambakan seperti istri sah dan pelakor pada umumnya. Stevani sudah terbaring di atas brankar sembari terus merintih, sedangkan Abram duduk di samping wanita itu dan wajahnya penuh dengan kekhawatiran. Ia dengan setia menemani sang pujaan hati.
Lalu di mana Gisela?
Wanita yang berstatus sebagai istri sah itu, justru sedang berdiri di samping brankar dan menatap kemesraan suaminya dengan wanita lain. Sakit? Tentu saja. Namun, sebisa mungkin Gisela menahan air mata. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan dua orang itu.
"Apa masih sangat sakit?" Abram terus saja mengusap perut Stevani dengan sangat lembut. Khawatir gerakan tangannya akan melukai kulit wanita itu.
"Sudah mendingan. Apa kata dokter? Apa aku terkena penyakit serius?" tanya Stevani karena sejak tadi ia hanya fokus pada rasa sakit yang sekarang mulai mereda.
"Dokter belum memberi penjelasan." Abram berbicara lembut. Menatap Stevani penuh cinta tanpa peduli pada Gisela yang sedang menahan gemuruh di dada.
Ingin rasanya Gisela berteriak dan bahkan membunuh wanita itu, memanfaatkan situasi karena keadaan Stevani yang masih lemah. Namun, akal sehat Gisela masih bisa berjalan dengan baik. Setidaknya ia tidak ingin menjadi wanita yang kejam.
Ketika terdengar bunyi pintu ruangan terbuka, mereka mengalihkan perhatian ke arah dokter dan perawat yang sedang berjalan mendekat. Abram pun langsung berdiri dan tidak sabar mendengar penjelasan dokter tersebut. Ia berharap semoga tidak ada penyakit serius yang diderita oleh kekasihnya.
Berbeda dengan tubuh Gisela yang menegang ketika melihat siapa yang sedang berdiri di depannya saat ini karena tadi ia belum melihat dokter itu secara jelas. Termasuk dokter itu juga terkejut melihat keberadaan Gisela di sana.
"Di-Dirga." Bibir Gisela gemetar saat memanggil nama mantan kekasihnya. Ia takut lelaki itu akan mengetahui semuanya.
"Kamu kenapa ada di sini, Gis?" tanya Dirga balik. Nada suaranya begitu lembut dan mampu menenangkan hati.
Hati Abram memanas saat melihat kedekatan mereka. Abram belum tahu dengan pasti siapa dokter yang dipanggil Dirga itu, tetapi melihat gelagat mereka berdua, membuat Abram menaruh rasa curiga dan hatinya merasa yakin kalau ada sesuatu.
"Lebih baik dokter jelaskan apa penyakitnya. Kalau mau mengobrol dengan wanita itu, nanti setelah selesai. Jadilah dokter yang baik," kata Abram ketus.
Mendengar ucapan Abram tersebut, Dirga hanya bisa menghela napas panjang. Selain karena Abram yang tidak sabaran, tetapi ucapan lelaki itu yang cukup menyinggung perasaannya. Namun, Dirga berusaha agar terlihat biasa saja. Tidak ingin terlalu mengambil hati.
"Maafkan saya, Tuan. Baiklah kalau begitu biar saya jelaskan, tapi sebelumnya bolehkan saya bertanya? Ini sedikit menyangkut hal pribadi." Dirga berusaha terlihat ramah di depan Abram.
"Apa?" tanya Abram ketus.
"Apakah kalian habis melakukan hubungan badan?"
"Kenapa kamu bertanya sampai sejauh itu?" Abram menimpali dengan cepat dan penuh emosi. Dirga pun hanya bisa menghela napas panjang dan berusaha agar tidak ikut terbawa emosi. Sementara Gisela masih terpaku dan berusaha menyesuaikan dengan keadaan.
"Jadi, begini, Tuan. Maaf kalau saya lancang. Sebelumnya saya hanya ingin memberi tahu kepada Tuan dan Nona. Untuk saat ini jangan terlalu sering melakukan hubungan badan. Kalaupun melakukan itu, janganlah menggunakan obat kuat atau sejenisnya karena janin yang ada di perut Nona Stevani masih sangat rawan," terang Dirga panjang lebar.
"Ma-maksudnya? Apa saya hamil, Dok?" tanya Stevani berusaha memastikan pendengarannya tidaklah salah. Dirga pun mengangguk cepat. Melihat Dirga mengiyakan pertanyaan Stevani, tubuh Abram pun serasa membeku dan tidak menyangka kalau Stevani saat ini sedang mengandung benihnya.
"Iya, Nona. Kehamilan Anda sudah masuk Minggu ke lima. Masih sangat rawan. Maka dari itu, saya mohon untuk banyak beristirahat termasuk dari kegiatan melakukan hubungan badan," nasehat Dirga.
Tubuh Gisela mendadak limbung saat mendengar penjelasan Dirga. Ia hampir saja tergeletak di lantai, tetapi Dirga dengan segera menangkapnya. Berbeda dengan Abram yang hanya bergeming tanpa bisa melakukan apa pun.
Dirga tampak begitu khawatir dan tanpa peduli pada apa pun lagi, ia langsung membopong Gisela dan menidurkan wanita itu di sofa.
Abram hanya menatap gerak-gerik Dirga tanpa bisa bergerak atau pun berbicara. Ia masih sangat terkejut dengan semuanya. Apalagi hati Abram yang mendadak ragu pada kehamilan Stevani. Seingat Abram selama mereka melakukan hubungan badan, ia selalu menggunakan pengaman dan tidak pernah melupakan hal itu sama sekali.
Dengan sangat telaten, Dirga mendekatkan minyak kayu putih untuk menyadarkan Gisela. Selang beberapa saat, mata Gisela tampak mengerjap dan mulai terbuka perlahan, Dirga pun mengembuskan napas lega lalu membantu Gisela untuk duduk.
"Apa kepalamu masih sangat pusing? Tunggu di sini, aku ambilkan air putih untukmu." Dirga berjalan cepat mengambil air putih lalu memberikan kepada Gisela.
"Terima kasih, Dir. Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot." Gisela merasa tidak enak hati.
Mendengar Stevani hamil, Gisela begitu terkejut hingga tidak sadarkan diri. Kenyataan itu sungguh menjadi kejutan tersendiri untuk dirinya. Gisela tidak menyangka jika percintaan suaminya justru membuahkan hasil. Akan tetapi, yang berhasil bukan dirinya melainkan Stevani, kekasih suaminya.
Pantas saja Mas Abram tidak sudi memiliki anak dariku, ternyata ia hanya ingin anak dari rahim Stevani.
"Hei, kenapa kamu menangis? Apa tubuhmu ada yang sakit?" Dirga hendak mengusap wajah Gisela, tetapi wanita itu segera menghindar. Dengan cepat Gisela menghapus air matanya sebelum Dirga melihatnya lebih jelas.
"Aku lapar karena belum makan malam. Jadi, tadi mataku berkunang-kunang dan tidak tahu kalau sampai pingsan," ucap Gisela beralasan.
Tawa Dirga meledak di ruangan itu bahkan tanpa sadar ia sudah mengacak rambut Gisela tanpa peduli kepada wanita itu yang sudah mengerucutkan bibir. Abram yang melihatnya sungguh merasa marah bahkan tangannya sampai terkepal erat. Sementara Stevani hanya diam dan tidak tahu akan melakukan apa.
"Ya Tuhan. Kamu masih saja seperti ini. Kalau begitu lebih baik sekarang kita makan. Kebetulan sekali tugasku sudah selesai. Ingat, aku tidak menerima penolakan." Dirga menarik tangan Gisela dan hendak mengajaknya pergi dari sana.
"Tunggu dulu." Gisela berbalik dan menatap dua orang yang juga sedang menatapnya. Senyuman Gisela pun tampak mengembang sempurna. Ia tidak ingin siapa pun menaruh curiga. "Selamat, Stev. Akhirnya kamu hamil. Kuharap kamu bisa menjaga janin itu dengan baik. Aku sangat menanti keponakan yang lucu dari kalian." Senyum Gisela tampak mengembang sempurna seolah tidak terjadi apa-apa dengan hatinya.
Setelah berbicara seperti itu, Gisela bergegas pergi tanpa menunggu jawaban dari mereka. Ia bahkan tidak lagi menoleh. Bibirnya mungkin tersenyum, tetapi hatinya saat ini sedang terasa remuk redam.
Sungguh indah jalan kehidupan yang harus kulalui. Semoga aku bisa melewati semua ini.