Arjuna, putra dari Dewa Arka Dewa dan Dewi Laksmi, adalah seorang dewa yang sombong, angkuh, dan merasa tak terkalahkan. Terlahir dari pasangan dewa yang kuat, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menandinginya. Dengan kekuatan luar biasa, Arjuna sering merendahkan dewa-dewa lainnya dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dalam segala hal.
Namun, sikapnya yang arogan membawa konsekuensi besar. Dewa Arka Dewa, ayahnya, yang melihat kebanggaan berlebihan dalam diri putranya, memutuskan untuk memberi pelajaran yang keras. Dalam upaya untuk mendewasakan Arjuna, Dewa Arka Dewa mengasingkan Arjuna ke dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa perlindungan, dan tanpa status sebagai dewa.
Di dunia manusia yang keras dan penuh tantangan, Arjuna harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan fisik dan kesombongannya tidak ada artinya lagi. Terpisah dari segala kemewahan Gunung Meru, Arjuna kini harus bertahan hidup sebagai manusia biasa, menghadapi ancaman yang lebih berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melatih Kekuatan
Arjuna bangun lebih awal dari biasanya. Matahari baru saja terbit, memancarkan cahaya keemasan di ufuk timur Jakarta. Udara pagi masih sejuk, dan suara kendaraan belum begitu ramai. Ini adalah hari Minggu, hari di mana Kirana dan Arjuna tidak bekerja.
Arjuna berdiri di halaman belakang rumah Kirana, mengenakan pakaian santai yang diberikan Kirana kepadanya. Ia mengepalkan tangannya, mencoba merasakan aliran energi dalam tubuhnya. Sejak beberapa hari terakhir, ia menyadari bahwa kekuatannya perlahan mulai kembali, meskipun masih sangat lemah—hanya sekitar lima persen dari kekuatan penuhnya sebagai dewa.
Dia menarik napas dalam-dalam dan mulai bergerak. Arjuna mencoba mengendalikan angin, namun hanya ada sedikit getaran udara di sekelilingnya. Dia mengayunkan tangannya, mencoba menciptakan pusaran angin, tetapi hanya hembusan lemah yang muncul.
“Astaga, ini menyebalkan...” gumamnya frustrasi.
Kirana yang baru keluar dengan pakaian santai, membawa secangkir kopi, tertawa kecil melihat Arjuna yang tampak kesal.
"Belajar sabar, dewa tampan," ejek Kirana sambil menyeruput kopinya.
Arjuna mendengus. "Aku tidak terbiasa seperti ini. Di Gunung Meru, aku bisa menciptakan badai hanya dengan jentikan jari. Sekarang, bahkan angin kecil pun sulit kugerakkan."
Kirana duduk di teras, mengamati Arjuna. "Mungkin karena kamu belum sepenuhnya memahami pelajaran yang harus kamu dapatkan di dunia ini. Kekuatan bukan hanya soal otot atau sihir, kan?"
Arjuna terdiam sejenak. Ia tahu Kirana ada benarnya. Selama ini, ia selalu mengandalkan kekuatan dan kesombongannya, tanpa benar-benar memahami makna dari menjadi seorang pelindung.
Ia kembali fokus. Kali ini, ia mencoba sesuatu yang berbeda. Bukan dengan amarah, bukan dengan rasa frustrasi, tetapi dengan ketenangan. Ia mengatur napasnya, merasakan energi di sekelilingnya. Perlahan, udara mulai bergerak mengikuti perintahnya. Debu-debu kecil di tanah berputar, membentuk pusaran mini.
Kirana terbelalak. "Hei! Itu berhasil!"
Arjuna tersenyum tipis. "Sedikit, tapi ini baru permulaan."
Dia tahu jalannya masih panjang. Tapi setidaknya, hari ini dia telah mengambil langkah pertama untuk mendapatkan kembali kekuatannya—dan mungkin juga, memahami dirinya sendiri.
Saat Arjuna terus berlatih di halaman belakang rumah Kirana, beberapa orang mulai melintas di jalan depan rumah tersebut. Jakarta di pagi hari, terutama di hari Minggu, selalu ramai dengan orang-orang yang berolahraga.
Sekelompok wanita yang sedang jogging melewati rumah Kirana. Mereka awalnya fokus pada lari mereka, tetapi begitu mata mereka menangkap sosok Arjuna, langkah mereka melambat secara refleks. Keringat yang mengalir di pelipis mereka bukan hanya karena olahraga, tetapi juga karena pemandangan luar biasa di depan mereka.
"Astaga... siapa itu?" bisik salah satu wanita.
"Ya ampun, dia tampan banget!" sahut yang lain dengan mata berbinar.
Arjuna, yang masih mencoba mengendalikan kekuatan anginnya, tidak menyadari tatapan-tatapan terpana yang ditujukan padanya. Ia terlalu sibuk mencoba mengatur napas dan fokus pada latihan.
Di sisi lain jalan, seorang pasangan suami istri juga melintas. Sang istri yang awalnya hanya melihat sekilas, tiba-tiba menoleh kembali dengan ekspresi penuh kekaguman. Matanya berbinar saat melihat tubuh tegap dan wajah tampan Arjuna yang seperti pahatannya para dewa.
Suaminya yang menyadari tatapan istrinya langsung berdehem keras. "Ehem! Sayang, jangan lihat lama-lama."
Sang istri tersentak dan tersenyum canggung. "Eh? Ah...iya, iya..." Namun, sebelum suaminya menarik tangannya untuk berjalan lebih cepat, ia sempat melirik sekali lagi ke arah Arjuna.
Kirana yang duduk di teras, memperhatikan semua itu dengan alis berkerut. Ia mendesah panjang, memutar matanya. "Ya ampun, Arjuna. Aku lupa kalau kamu ini magnet wanita berjalan," gumamnya sambil menyeruput kopinya lagi.
Arjuna menoleh dengan bingung. "Apa maksudmu?"
Kirana hanya menggeleng sambil tertawa kecil. "Sudahlah, lupakan. Teruskan saja latihannya, wahai dewa tampan."
Arjuna masih tidak mengerti, tapi ia mengangkat bahu dan kembali fokus. Sementara itu, para wanita yang tadi jogging masih sibuk membicarakan betapa tampannya pria yang baru saja mereka lihat, dan seorang suami masih harus berusaha membuat istrinya melupakan pemandangan yang baru saja memikatnya.
Kirana menyalakan televisi di ruang tamunya sambil menikmati sarapan sederhana bersama Arjuna. Layar TV menampilkan siaran berita pagi dengan headline mencolok:
“Andi Wijaya: Dari Pejabat Berkuasa Menjadi Ancaman Kota Jakarta?”
Seorang pembawa berita dengan wajah serius mulai melaporkan, “Jakarta kembali diguncang oleh aksi brutal yang dilakukan oleh Andi Wijaya, mantan pejabat tinggi yang diduga memiliki kekuatan supranatural. Dalam seminggu terakhir, serangkaian insiden kekerasan dan perusakan terjadi di berbagai titik kota, dan semua bukti mengarah kepadanya.”
Di layar, muncul rekaman CCTV yang memperlihatkan seorang pria paruh baya dengan jas mewah, tetapi auranya berbeda dari manusia biasa. Matanya memancarkan cahaya kemerahan, dan setiap langkahnya menyebabkan getaran di tanah. Dalam rekaman, ia terlihat menghancurkan kendaraan polisi hanya dengan satu pukulan dan melempar seorang petugas keamanan ke udara tanpa menyentuhnya.
“Sumber kami menyebutkan bahwa Andi Wijaya sempat menghilang dari publik setelah berbagai kasus korupsi yang menyeret namanya. Namun kini, ia kembali dengan kekuatan yang belum pernah kita saksikan sebelumnya. Siapa yang memberikan kekuatan ini kepadanya? Dan apa tujuan sebenarnya dari aksinya?”
Kirana meletakkan sendoknya dan menatap layar dengan ekspresi khawatir. “Gila… ini benar-benar kacau.”
Arjuna, yang duduk di sampingnya dengan tangan bersedekap, memperhatikan berita itu dengan tatapan tajam. “Dia bukan manusia biasa lagi. Ini pasti ulah Nakula,” gumamnya.
Kirana menoleh cepat. “Nakula? Kau yakin?”
Arjuna mengangguk. “Saudaraku itu licik. Dia tidak akan turun tangan langsung, tapi dia akan menggunakan orang-orang berpengaruh di dunia manusia untuk menjalankan rencananya.”
Kirana menghela napas dalam. “Berarti ini baru permulaan. Jika dia sudah memberi satu orang kekuatan, bisa saja ada yang lain…”
Arjuna mengepalkan tangannya. Meski kekuatannya belum pulih sepenuhnya, ia tahu ia tidak bisa hanya berdiam diri. “Aku harus melakukan sesuatu. Aku tak bisa membiarkan manusia menghadapi ancaman ini sendirian.”
Kirana menatapnya dengan ragu. “Tapi Arjuna, kau belum sepenuhnya kuat. Bagaimana kalau—”
Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, berita di TV menampilkan rekaman terbaru: Andi Wijaya, berdiri di atas sebuah gedung tinggi dengan senyum mengancam. Ia menatap ke bawah, ke arah kamera berita, lalu berkata dengan suara yang menggema, “Jakarta, bersiaplah. Aku akan mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku.”
Arjuna bangkit dari kursinya. “Aku harus menghentikannya.”