Putri Regina Prayoga, gadis berusia 28 tahun yang hendak menyerahkan diri kepada sang kekasih yang telah di pacari nya selama 3 tahun belakangan ini, harus menelan pahitnya pengkhianatan.
Tepat di hari jadi mereka yang ke 3, Regina yang akan memberi kejutan kepada sang kekasih, justru mendapatkan kejutan yang lebih besar. Ia mendapati Alvino, sang kekasih, tengah bergelut dengan sekretarisnya di ruang tamu apartemen pria itu.
Membanting pintu dengan kasar, gadis itu berlari meninggalkan dua manusia yang tengah sibuk berbagi peluh. Hari masih sore, Regina memutuskan mengunjungi salah satu klub malam di pusat kota untuk menenangkan dirinya.
Dan, hidup Regina pun berubah dari sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 13. Kamu Tanggung Jawab Ku.
William membawa Regina ke apartemennya, mereka tidak kembali lagi ke kantor. Pria itu menuntun Regina untuk duduk di atas sofa ruang tamu.
William lantas mengambil es batu dan sebuah handuk kecil, untuk mengompres memar yang timbul pada kulit putih Regina.
“Aw.”
“Maaf.” William menekan dengan hati-hati. Tak lupa pria itu juga memberi tiupan angin dari bibirnya.
“Kita ke dokter ya? Periksa apa ada yang serius dengan rahang mu.”
Regina menggeleng.
“Nanti saja. Aku sedang malas.” Ucapnya.
William berdecak kesal. Amarahnya kembali muncul ketika ia teringat Alvino yang memukul Regina.
“Kenapa kamu menghalanginya? Biarkan saja dia memukulku.”
Regina menggeleng, wanita itu menyentuh tangan William yang sedang menempelkan handuk dingin pada rahangnya.
“Aku tidak mau dia menyakiti kamu. Dengan begini, bukannya ada alasan untuk membuat hubungan kami merenggang?”
“Iya, tetapi tidak dengan mengorbankan dirimu.” Geram William.
“Terima kasih sudah perduli padaku, Will. Andai aku tidak melihat kamu waktu itu, mungkin aku akan berakhir dengan pria lain.”
William menatap tajam ke arah Regina. Ia tidak suka mendengar ucapan wanita itu.
Dengan kasar, pria itu menyatukan bibir mereka. Menumpahkan segala amarah yang tertahan di dalam hatinya.
“Kita ke kamar.” Ucap Regina, membuat William mengerenyit heran. Apa wanita itu mengundangnya?
“Apa rahang mu masih sakit?” Tanya William sembari menyatukan kening mereka.
“Sedikit.”
William berdiri. Kemudian meraup tubuh Regina. Membawa wanita itu kedalam kamarnya.
Dengan perlahan William meletakan tubuh Regina, seolah itu adalah benda yang mudah pecah.
William melepas jas yang ia gunakan, dan melempar nya di atas sofa. Ia lalu ikut naik ke atas ranjang, kemudian menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Menarik bahu Regina dan membuat wanita itu bersandar pada dada bidangnya.
Mereka hanya tidur, tidak melakukan hal lebih. William tau, wanita itu masih menahan sakit pada rahangnya.
Regina melingkarkan tangannya di atas perut William. Ia mencari ketenangan di dalam dekapan pria itu.
“Tidurlah, Honey. Aku akan menemani mu disini.” Ucap William sembari mengusap punggung Regina.
“Kamu tidak kembali ke kantor?”
“Nanti, setelah kamu tertidur.” Pria itu melabuhkan kecupan sayang di atas kepala Regina.
Hubungan mereka memang tidak ada kejelasan. Wanita dalam dekapannya ini, masih belum bisa membuka hati untuk pria lain.
Tetapi, semenjak malam itu, William ingin memiliki Regina. Ia ingin bertanggung jawab atas perbuatannya, meski hal itu, pada kenyataannya Regina lah yang menginginkan terlebih dulu.
“Aku pria normal, nona. Jangan macam-macam. Atau kamu akan menyesal!” Ucap William saat Regina dengan berani duduk di atas pangkuannya, saat di klub.
“Percayalah, aku secara suka rela dan dalam keadaan sadar, menyerahkan diri padamu.” Regina menempelkan bibirnya pada bibir pria itu, dan membuat William terpancing, hingga ia pun membawa Regina ke kamar hotel.
William kembali teringat, saat mereka berdua berkenalan.
“Maafkan, aku. Tidak seharusnya kamu terlibat dalam masalah ku.” Ucap Regina lirih.
“Jangan berbicara seperti itu, kamu tanggung jawabku. Sudah seharusnya aku melindungi mu.”
William pun mengeratkan dekapannya pada punggung wanita itu.
“Mungkin aku sudah jatuh cinta padamu, nona.”
William meluruhkan tubuhnya. Ikut berbaring dan memejamkan matanya.
“Tidurlah. Supaya sakit di rahangmu menghilang.”
“Hmm”
Entah berapa lama mata William terpejam, tidurnya terusik ketika ponsel yang berada di saku jasnya menjerit.
Dengan terpaksa, pria itu melepaskan belitan tangan Regina pada pinggangnya. Ia bergeser dengan hati-hati, agar wanita itu tidak terusik.
“Siapa sih, ganggu orang saja!” Gerutunya sembari menyambar jas yang teronggok di atas sofa. Kemudian merogoh saku sebelah kanan, dimana benda pipihnya berada.
“Hallo!” Jawabnya ketus. Ia tidak melihat siapa yang menghubunginya.
“William Antony, dimana kamu? Kenapa tidak ada di kantor jam segini? Hah?”
William menjauhkan ponsel dari telinganya, suara bariton menggelegar dari seberang panggilan membuat telinganya berdengung.
“Astaga, yang mulia raja?” Ucapnya tersentak saat melihat nama sang papa di layar ponsel.
“P-pa., aku ada urusan penting. Sebentar lagi aku akan kembali ke kantor.” Ucapnya dengan sedikit berbisik.
“Papa tidak mau tau, kembali kantor atau klub malam mu papa ratakan dengan tanah!!”
“I-iya pa, a-aku kembali sekarang, ini aku sedang bersiap.”
“Papa tunggu!”
William membuang nafasnya kasar. Ia kembali meraih jas dan memakainya. Pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang. Melebuhkan sebuah kecupan pada kening Regina. Kemudian bergegas meninggalkan apartemen.
****
Sementara itu, Alvino menyusul Regina ke rumah kontrakannya, namun tempat itu sepi, tak ada tanda-tanda jika wanita itu kembali ke rumah ini.
Padahal jelas-jelas tadi dia mendengar, jika Regina meminta di antar pulang kepada atasannya.
Pria itu kemudian mengambil ponselnya, menghubungi nomer kontak sang kekasih, namun tak ada yang menjawab panggilannya.
“Sayang kamu dimana?” Ucap Alvino lirih. Ia merasa bersalah telah memukul Regina meski tanpa sengaja.
Mencoba sekali lagi, namun hingga tiga kali, panggilan itu tetap tak terjawab. Alvino pun frustrasi. Ia kemudian menghubungi gedung Sanjaya group, untuk mencari tau.
“Maaf pak, pak direktur dan sekretarisnya belum kembali. Mereka sedang keluar untuk bertemu klien.”
Membuang nafasnya kasar, Alvino pun menyimpan kembali ponselnya. Ia kemudian meninggalkan rumah kontrakan Regina.
*****
Dengan langkah lebarnya, William memasuki lobby, menghiraukan begitu saja sapaan dari para karyawan yang berpapasan dengannya. Ia harus cepat tiba di ruangannya. Jangan sampai sang papa membuka laptop yang di gunakan Regina.
William tidak mau, jika sampai wanita itu bermasalah dengan papanya.
“Yang mulia raja.” Ucap pria itu merasa lega, melihat sang papa yang duduk santai di atas sofa di ruangannya.
“Jangan berbasa-basi. Darimana saja kamu? Terus kemana Regina? Kenapa dia juga tidak ada di kantor?” Pak Antony memberondong putranya dengan banyak pertanyaan.
William mendekat, kemudian menghempaskan bokongnya di samping sang papa.
“Siapa yang menyuruhmu duduk?” Ucap pria paruh baya itu dengan mata memicing.
Menghela nafasnya pelan, William menceritakan kejadian yang menimpa sang sekretaris saat di restoran tadi, namun ia tidak mengatakan jika wanit cantik itu kini tengah beristirahat di apartemennya.
“Papa semakin tidak suka dengan pria itu. Beberap waktu lalu, papa juga sempat melihat pria itu, bermesraan dengan seorang wanita di sebuah restoran.”
William menoleh ke arah sang papa dengan tatapan tak percaya.
‘Dasar si rahwana bodoh. Berselingkuh kok tidak tau tempat?’
“Aku jadi semakin ingin menjodohkan Regina dengan pria pilihanku.” Gumam pak Antony, namun masih tertangkap oleh indera pendengaran sang putra.
“Hah?” William tersentak. Apa telinganya tidak salah dengar? Papanya ingin menjodohkan Regina dengan pria pilihannya. Gawat!! Ini tidak boleh terjadi.
“Pa-papa bilang apa tadi?” Tuntutnya pada sang papa.
“Apa? Memangnya papa bilang apa? Papa tidak ada mengatakan apapun.” Tukas pak Antony.
“Jangan bohong. Tadi papa bilang menjodohkan, papa mau menjodohkan siapa?”
“Kamu salah dengar. Papa bilang, papa ingin merobohkan klub malam mu, jika sampai pekerjaan itu tidak selesai.” Pak Antony berkilah, sembari menujuk tumpukan map di atas meja kerja sang putra.
Mata William membulat, ia tak habis pikir, darimana datangnya map-map itu.
‘Dasar papa durhaka.’
.
.
.
Bersambung.