15 tahun berlalu, tapi Steven masih ingat akan janjinya dulu kepada malaikat kecil yang sudah menolongnya waktu itu.
"Jika kau sudah besar nanti aku akan mencarimu, kita akan menikah."
"Janji?"
"Ya, aku janji."
Sampai akhirnya Steven bertemu kembali dengan gadis yang diyakini malaikat kecil dulu. Namun sang gadis tidak mengingatnya, dan malah membencinya karena awal pertemuan mereka yang tidak mengenakkan.
Semesta akhirnya membuat mereka bersatu karena kesalahpahaman.
Benarkah Gadis itu malaikat kecil Steven dulu? atau orang lain yang mirip dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiny Flavoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12 - Perdebatan
"Nggak cukup akrab kata Bapak? setelah saya dipaksa menerima pinangan dari Bapak?" sahut Rimba.
"Oh, jadi kamu akhirnya nerima?"
"Terpaksa, demi bunda dan kak Galang," sahut Rimba.
"Oke, kali ini mungkin terpaksa. Tapi saya yakin kedepannya kamu akan nyaman dengan saya," ucap Steven percaya diri.
"Jangan pede dulu Pak. Bapak harusnya ngaca, Bapak itu nggak pantes buat saya, Bapak terlalu dewasa. Perasaan bapak ke saya itu hanya obsesi, bukan perasaan suka atau sayang. Bapak terobsesi oleh seseorang yang mirip saya kan?" ujar Rimba terlalu berani berbicara frontal sama orang yang seharusnya ia hormati sebagai dosen dikampusnya.
"Bisa juga ya kamu ngatain saya begitu? Mahasiswi macam apa yang sebegini nggak sopannya sama dosen? Apa karena saya cuma dosen tamu makanya kamu merasa lebih baik dan lebih pintar dari saya? Punya hak apa kamu menilai saya begitu? Kamu merasa lebih baik dari saya? iya?" Steven mencecar Rimba dan memojokkannya.
"Pak, ini kampus!" bisik Rimba terbata. Sedikit takut dengan pergerakan Steven yang terus mendesaknya hingga ia menempel pada tembok sisi samping kantin.
Beruntung suasana kantin sudah sepi hingga mereka tak menjadi pusat perhatian.
"Itulah kenapa bersikaplah sewajarnya karena kita ada di kampus, Nona Muda!" bisik Steven tepat di depan wajah Rimba, menekannya dengan pesona.
"Bapak jangan coba-coba ya!" ancam Rimba mulai tidak percaya diri dan diselimuti ketakutan.
"Apa yang kamu takutin dari tempat seramai ini, Rimba?" kali ini nada bicara Steven mulai turun.
Panggilan itu, suara serak nan berat yang membuat Rimba seakan melayang. Setiap desah lembut dan gerak bibir Steven saat melafal nama Rimba membawa getaran tersendiri yang membuat Rimba bagai ditarik masuk ke dalam dunia dingin milik Steven. Kebekuan yang menghangatkan hati Rimba tanpa perlu banyak usaha.
"Sa, saya bisa teriak nih!" tantang Rimba justru terkesan menggemaskan bagi lelaki dihadapannya.
"Teriak saja, aku bisa jelaskan ke mereka tentang hubungan kita yang sebenarnya," sahut Steven santai.
"Hubungan apa?"
"Kamu sendiri tadi yang bilang," ujar Steven malah justru makin mendekatkan wajahnya pada wajah Rimba. Kini, Rimba bahkan bisa merasakan hembusan napas hangat dari lelaki tampan penuh karisma itu.
"Lupa? kalau kamu sudah menerima pinangan saya," tegasnya.
"Cukup!" jerit Rimba mendorong spontan dada Steven dan memandangnya penuh dendam, "Di sini Bapak itu dosen saya, dilarang mengancam dan menekan mahasiswa!"
"Kamu yang mulai duluan," protes Steven.
"Bapak yang---"
"Kamu melecehkan saya barusan," potong Steven menunjuk dadanya.
"Saya cuma membela diri kok."
"Emang saya ngapain sampe kamu harus membela diri? kami pikir saya akan berniat jahat sama kamu?"
"Tadi kan Bapak---" Rimba mendesah, tak tau lagi harus ngomong apa. Baru kali ini ia merasa terkalahkan. "Oke, saya minta maaf. Pikiran saya sedang kalut saat ini," lirihnya.
"Kenapa?"
"Bapak ingat tas ransel saya yang hilang kemarin? didalamnya ada laptop pemberian Kakaknya saya. Semalam dia menanyakannya, saya berbohong laptopnya dipinjam teman. Hari ini kakak saya mau meminjamnya untuk urusan kerja. Saya nggak tau harus gimana, aku nggak sanggup jujur ke dia. Saya tau gimana susahnya dia meminjam uang ke kantornya demi memenuhi keinginan saya yang ingin memiliki laptop seri MacBook itu," ujar Rimba entah kenapa jadi malah curhat.
Steven luluh, ia menghela napas panjang. lantas memundurkan langkah. Sambil meneguk air mineralnya ia duduk dikursi panjang kantin, menatap lurus pada Rimba yang masih berdiri kaku, tak nyaman.
"Kenapa kamu nggak cerita dari awal," tanya Steven mengganti topik.
Rimba masih berusaha mengatur emosinya. Tak segera menjawab Steven. Ia ikut meneguk air mineral miliknya. Ditatapnya nanar Steven yang juga balas menatapnya.
"Kalo saya ceritain, saya nggak yakin bapak bakalan bisa bantu masalah saya," ucap Rimba lebih tenang dari sebelumnya. Beberapa kali ia nampak menelan salivanya.
"Tapi menjadi tidak tau soal masalah kamu yang sebenarnya bikin saya terlihat nggak peka!" kata Steven terdengar lebih perhatian.
"Bukannya Bapak emang gitu?" cibir Rimba.
Steven berdecak, "kamu mau mulai berdebat lagi sama saya? saya juga bisa bersikap lebih sinis dari kamu," ucapnya.
"Tau ah Pak, saya capek!" keluh Rimba ikut duduk disebelah Steven akhirnya.
Sesaat keheningan menyergap. Steven sibuk memainkan ponselnya, berinteraksi dengan seseorang diseberang telepon sana. Sementara Rimba memilih fokus pada air mineralnya yang sudah hampir habis.
Rimba menoleh lelaki di sampingnya. Tatapan mereka kembali bertemu. Aneh, Rimba merasa kali ini mata Steven begitu teduh, begitu mengayomi. wajah dengan garis-garis keras nan maskulin yang nampak jauh lebih muda dari usianya itu benar-benar menghipnotis.
"Ikut saya!" ajak Steven berdiri dari duduknya.
"Ya?" Rimba mendongak, tapi masih dengan posisi duduknya.
"Kamu mau laptop kamu itu kembali kan?"
"Maksudnya?" Rimba berdiri dari duduknya, tak paham.
"Ayo ke rumah saya!" ajak Steven lagi. Kali ini ia menari pergelangan tangan Rimba dan menuntunnya keluar dari kantin.
"Lepasin, Pak!" Rimba memaksa melepaskan tangan Steven. "Kenapa saya harus ikut ke rumah bapak? Bapak mau menjebak saya?" tanyanya.
"Nanti saja jelasinnya di rumah, kita harus buru-buru, orangnya sudah menunggu," sahut Lelaki itu akhirnya berjalan didepan Rimba.
"Saya nggak mau kakek anda salah paham lagi, Pak!" ujar Rimba menyeimbangi langkah Steven yang lebar.
"Kamu takut sama Kakek?" tiba-tiba Steven berhenti dan membalikkan badannya, Rimba yang tidak siap akhirnya menabrak dada Steven.
"Haish! bilang-bilang dong kalo mau berhenti," gumam Rimba sewot sekaligus jadi gugup karena nggak sengaja hampir memeluknya.
"Kakek sedang di rumah adik saya. Lagipula dipastikan dirumah saya tidak ada lagi kecoa, dan kejadian kemarin nggak mungkin terulang lagi," jawab Steven sangat yakin setelah kemarin-kemarin rumahnya sudah disemprot anti serangga.
"Hubungan laptop dengan saya ke rumah Bapak apa?" tanya Rimba masih merasa butuh penjelasan detail.
Steven menghela napasnya sejenak. "Laptop kamu sudah ketemu, sekarang masih di rumah saya. Tadi yang ingin saya bicarakan sama kamu itu ya masalah ini, tapi kamunya malah galak-galak begitu," ujarnya.
"Oya? seriusan Pak?" Rimba terlihat sumringah. Tapi ia juga malu dan tak enak hati atas sikapnya yang sudah tidak sopan sama Steven tadi.
.
.
.
Nikmati saat kamu harus menikmati setiap momen kehidupan, dan bertahanlah saat keadaan mengharuskan kamu untuk bertahan.