NovelToon NovelToon
KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10: Pertemuan dengan Reza

#

Pagi itu dimulai dengan kebohongan yang sudah terasa seperti rutinitas.

Gavin bangun jam tujuh, mandi, turun untuk sarapan dengan senyum yang terlalu lebar untuk pria yang semalam baru pulang dari perjalanan. Larasati sudah siapkan pancake—bentuk beruang untuk Abimanyu, polos untuk Gavin—dan kopi hitam tanpa gula seperti kesukaannya.

"Pagi, sayang," kata Gavin, mencium pipinya sekilas sebelum duduk. Sentuhan bibirnya terasa seperti luka bakar.

"Pagi," balas Larasati dengan senyum yang sudah dia sempurnakan. "Tidur nyenyak?"

"Sangat." Gavin tersenyum lebar—senyum pria yang puas, yang pikir dia berhasil menipu istrinya dengan sempurna. "Kangen sama ranjang sendiri. Hotel di Surabaya kurang nyaman."

_Surabaya._ Kebohongan yang terus dia ulang sampai mungkin dia sendiri mulai percaya.

Abimanyu turun dengan langkah cepat, mata berbinar saat lihat Gavin. "Papa! Papa udah pulang!"

"Hey, buddy!" Gavin angkat Abimanyu, putar sekali, membuat anaknya tertawa. Pemandangan yang seharusnya hangat, seharusnya membuat Larasati bahagia. Tapi sekarang hanya membuat dadanya sesak—karena dia tahu ini semua temporary. Gavin sedang merencanakan untuk meninggalkan mereka, bahkan mungkin mengambil Abimanyu dengan cara yang kotor.

"Papa bawain apa?" tanya Abimanyu excited.

"Papa bawain robot! Lihat, yang bisa transform jadi mobil!"

Abimanyu berteriak senang, langsung sibuk dengan mainannya. Gavin duduk lagi, makan pancake sambil sesekali melirik ponselnya—periksa pesan, mungkin dari Kiran.

Larasati perhatikan semua itu dengan mata yang tajam, mencatat setiap detail. Cara Gavin tersenyum saat baca pesan. Cara dia cepat-cepat tutup layar kalau Larasati lewat. Cara dia lebih fokus pada ponsel daripada anak yang duduk di sebelahnya.

"Aku ada janji siang ini," kata Larasati tiba-tiba, nada casual.

Gavin angkat kepala. "Janji? Sama siapa?"

"Aurellia. Dia mau diskusi soal project wedding organizer barunya, minta input aku." Kebohongan meluncur mudah dari bibirnya sekarang. "Mungkin sampai sore."

"Oh, oke." Gavin tidak terlihat curiga—kenapa harus curiga pada istri yang percaya semua kebohongannya? "Aku juga ada ke kantor sebentar. Ada yang harus diselesaikan."

_Atau ketemu Kiran,_ pikir Larasati. _Atau planning langkah selanjutnya untuk menghancurkan hidupku._

Tapi dia hanya tersenyum. "Oke. Abi bisa titip sama Ziva kan?"

"Tentu."

---

Jam sepuluh pagi, Larasati duduk di kantor Diana Kusuma yang mewah di kawasan Sudirman. Ruangan ini berdesain minimalis modern—dominan putih dan abu-abu, dengan aksen emas yang subtle. Di dinding tergantung sertifikat dan penghargaan—bukti bahwa Diana memang salah satu pengacara perceraian terbaik di Jakarta.

Diana sendiri duduk di seberang meja kaca besar, penampilan sempurna dengan blazer hitam dan rambut diikat rapi. Matanya tajam—mata yang sudah melihat terlalu banyak pernikahan hancur, terlalu banyak pengkhianatan, terlalu banyak pertempuran custody.

"Jadi, Ibu Larasati," kata Diana, menatap folder di depannya—folder yang berisi semua bukti yang Larasati kumpulkan. "Saya sudah review semua dokumen yang Ibu kirim. Email, foto, audio recording, transaksi keuangan. Ini... ini kasus yang sangat kuat."

Larasati mengangguk, tangan terkatup di pangkuannya. "Seberapa kuat?"

"Kuat sekali." Diana tersenyum tipis—senyum predator yang baru menemukan mangsa. "Suami Ibu tidak hanya selingkuh. Dia merencanakan untuk memanipulasi proses perceraian, mentransfer aset secara ilegal, dan yang paling buruk—merencanakan untuk melabel Ibu 'tidak stabil secara mental' untuk memenangkan custody. Ini bukan hanya adultery case. Ini fraud, manipulation, dan attempted parental alienation."

Setiap kata membuat sesuatu di dada Larasati mengeras—bukan sakit lagi, tapi marah. Marah yang dingin dan terfokus.

"Apa yang bisa kita lakukan?"

Diana bersandar di kursinya, jemari bertaut di depan dagu. "Kita punya beberapa opsi. Opsi pertama: kita file for divorce sekarang, gunakan semua bukti ini untuk memastikan Ibu dapat majority asset split dan full custody dengan supervised visitation untuk bapak Gavin."

"Dan opsi lain?"

"Opsi kedua: kita tunggu dia melakukan langkah pertama. Biarkan dia pikir dia yang mengendalikan situasi. Saat dia mulai transfer aset atau file paperwork, kita intercept dengan countersuit yang sudah siap. Ini lebih dramatis, tapi juga lebih berisiko."

Larasati diam, mempertimbangkan. "Kalau kita file duluan, dia akan tahu aku sudah menyelidiki. Dia bisa... dia bisa jadi desperate."

"Desperate people do stupid things," kata Diana. "Tapi desperate people juga bisa jadi dangerous. Terutama kalau mereka merasa cornered. Ibu harus pertimbangkan keamanan Ibu dan anak Ibu."

Larasati berpikir tentang Gavin—pria yang dia kenal selama sepuluh tahun, menikah delapan tahun. Apakah dia berbahaya? Secara fisik, tidak. Gavin tidak pernah mengangkat tangan. Tapi secara emosional, secara psikologis... dia sudah menghancurkan Larasati tanpa perlu menyentuh.

"Aku mau opsi pertama," kata Larasati akhirnya. "Aku tidak mau tunggu lebih lama lagi. Aku tidak mau memberi dia kesempatan untuk menyakiti aku atau Abi lebih dari yang sudah dia lakukan."

Diana mengangguk, membuka laptopnya. "Baik. Saya akan mulai draft petition hari ini. Dalam seminggu, semua dokumen akan siap. Setelah Ibu tandatangan, kita akan serve papers ke Bapak Gavin. Dia akan shock—percaya saya, mereka selalu shock—tapi dengan bukti yang kita punya, dia tidak punya pilihan selain negotiate dengan syarat kita."

"Berapa lama proses ini?"

"Tergantung seberapa kooperatif dia. Kalau dia mau settle out of court, bisa tiga sampai enam bulan. Kalau dia fight... bisa sampai setahun atau lebih." Diana menutup laptopnya, menatap Larasati dengan tatapan yang lebih lembut. "Ibu Larasati, ini akan jadi journey yang panjang dan melelahkan. Tapi saya janji—kami akan fight untuk Ibu. Dan kami akan menang."

Larasati berdiri, menjabat tangan Diana. "Terima kasih."

"Sama-sama. Oh, satu lagi," Diana menambahkan saat Larasati hampir keluar. "Selama proses ini, sangat penting Ibu maintain appearances. Jangan biarkan Bapak Gavin tahu bahwa Ibu sudah aware tentang affair-nya atau planning apa pun. Semakin lama dia merasa aman, semakin banyak kesalahan yang mungkin dia buat."

"Mengerti."

---

Siang itu Jakarta terik dan macet seperti biasa. Larasati duduk di mobilnya di parkiran basement gedung kantor Diana, menatap setir tanpa benar-benar melihat.

Sudah resmi sekarang. Dia melangkah ke wilayah yang tidak bisa diurungkan. Minggu depan, papers akan di-serve. Gavin akan tahu. Dan pernikahannya—apa pun yang tersisa darinya—akan officially berakhir.

Seharusnya dia merasa... apa? Sedih? Lega? Takut?

Tapi yang dia rasakan hanya kekosongan. Seperti dia sudah menghabiskan semua emosi dan sekarang hanya tersisa mesin yang berfungsi karena harus, bukan karena mau.

Ponselnya berbunyi—pesan dari Reza.

_"Masih jadi jam empat? Aku sudah di kafe. Take your time."_

Larasati lihat jam—masih jam dua belas. Masih ada empat jam. Tapi dia tidak mau pulang. Tidak mau risiko bertemu Gavin yang mungkin pulang lebih awal, tidak mau berpura-pura lebih lama dari yang harus.

Dia ketik balasan: _"Aku bisa sekarang kalau kamu tidak keberatan. Aku sudah selesai urusan."_

Balasan datang cepat: _"Tentu. Aku di sini kok. Datang aja."_

---

Kafe yang Reza pilih berbeda dari Kafe Filosofi Kopi kemarin. Ini tempat lebih kecil, lebih intimate—tersembunyi di gang kecil Menteng, dengan pintu kayu tua dan tanaman merambat di dinding luar. Namanya simpel: "Kafe Senja."

Larasati masuk dan langsung disambut aroma kopi robusta yang pekat dan suara musik jazz instrumental yang lembut. Hanya ada beberapa pengunjung—pasangan di pojok yang berbisik-bisik, seorang pria dengan laptop, dan Reza—duduk di meja dekat jendela dengan view taman kecil di belakang kafe.

Reza berdiri saat lihat Larasati masuk. Dan untuk pertama kali, Larasati lihat ekspresi shock di wajahnya—shock yang dia coba sembunyikan tapi gagal.

"Lara..." Suaranya pelan saat Larasati mendekat. "Kamu... kamu kurus banget. Ada apa?"

Larasati duduk, meletakkan tas di kursi sebelah. Dia tahu dia terlihat buruk—berat badannya turun hampir lima kilo dalam dua minggu ini, wajahnya pucat, lingkaran hitam di bawah mata yang concealer sudah tidak bisa tutupi sepenuhnya. Tapi mendengarnya dari orang lain membuat itu terasa lebih real.

"Aku tidak bisa makan," katanya jujur. "Setiap kali aku coba, rasanya... rasanya aku mau muntah."

Reza duduk perlahan, tidak lepas menatapnya. "Lara, lo harus jaga kesehatan. Abimanyu butuh lo—"

"Aku tahu." Larasati potong, suaranya lebih tajam dari yang dia maksudkan. Dia tarik napas, coba tenang. "Maaf. Aku cuma... aku lelah, Reza. Lelah sekali."

Reza panggil pelayan, pesan cappuccino untuk Larasati dan americano untuk dirinya sendiri. Setelah pelayan pergi, dia tatap Larasati dengan tatapan yang intens.

"Cerita sama aku. Semuanya."

Dan Larasati cerita—tidak semuanya karena beberapa detail terlalu menyakitkan untuk diucapkan keras, tapi cukup untuk membuat Reza mengerti. Tentang menemukan email. Tentang investigasi di Bali. Tentang audio recording di mana Gavin planning untuk menghancurkannya. Tentang semalam—tentang harus berbaring dengan suami yang tidak mencintainya lagi, yang memperlakukannya sebagai strategi, bukan manusia.

Setiap kata keluar dengan susah payah, seperti meludahkan batu. Tapi begitu mulai, dia tidak bisa berhenti—seperti bendungan yang pecah, segalanya tumpah.

Reza dengar tanpa interrupt, wajahnya berubah dari shock jadi marah jadi sesuatu yang lebih gelap—kekecewaan yang mendalam.

"Bajingan," umpat Reza saat Larasati selesai. Suaranya rendah tapi penuh amarah. "Gavin... dia bajingan. Aku kenal dia sejak kuliah. Aku pikir aku tahu siapa dia. Tapi ternyata..." Dia geleng kepala. "Ternyata aku tidak kenal dia sama sekali."

"Dia sahabat kamu," kata Larasati pelan. "Aku tidak mau... aku tidak mau merusak persahabatan kalian."

"Lo tidak merusak apa pun," kata Reza tegas, tangannya terkepal di atas meja. "Gavin yang merusak. Dia yang memilih untuk menjadi orang seperti ini. Dan kalau dia bisa lakukan ini sama lo—sama perempuan yang memberikan segalanya untuk dia—maka dia bukan sahabat yang aku pikir dia."

Keheningan turun di antara mereka. Pelayan datang dengan kopi, tapi tidak ada yang langsung minum.

"Aku sudah ke pengacara tadi pagi," kata Larasati akhirnya, menatap cappuccino-nya yang mulai dingin. "Minggu depan, papers akan siap. Setelah itu... setelah itu semuanya akan explode."

Reza mengangguk perlahan. "Lo butuh tempat tinggal? Kalau Gavin jadi... unpredictable."

"Aku punya rumah orangtuaku di Bandung. Kosong sekarang sejak mama tinggal sama kakakku di Australia. Aku bisa bawa Abi ke sana kalau situasi jadi buruk."

"Oke. Tapi kalau lo butuh apa pun—uang, tempat, lawyer support—lo tinggal bilang. Gue serius, Lara."

Larasati akhirnya menatapnya—benar-benar menatap. Reza Mahendra. Tiga puluh tujuh tahun, CEO perusahaan teknologi sendiri, pria yang sukses dan single meski banyak perempuan yang kejar. Dia selalu baik sama Larasati, sejak dulu. Bahkan dulu, sebelum Gavin...

"Kenapa?" tanya Larasati tiba-tiba. "Kenapa kamu care so much? Kamu tidak harus melakukan ini. Aku bukan tanggung jawabmu."

Reza diam cukup lama, menatap kopinya. Lalu dia angkat kepala, tatap Larasati dengan tatapan yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

"Karena dulu, sepuluh tahun lalu, di pesta kampus itu—sebelum Gavin memperkenalkan lo sebagai calon istrinya—aku sempat... aku sempat interested sama lo. Aku mau minta nomor lo, mau ajak lo makan. Tapi Gavin datang lebih dulu. Dan dia bilang 'ini Lara, calon istriku' dengan bangga sekali. Dan aku lihat cara lo menatap dia... aku tahu aku udah kalah sebelum mulai."

Larasati terdiam, mencerna kata-kata itu.

"Jadi aku mundur," lanjut Reza. "Aku jadi sahabat yang baik. Aku datang ke pernikahan kalian. Aku support Gavin dalam bisnis. Aku pretend kalau aku tidak pernah wonder... wonder gimana jadinya kalau aku yang approach lo duluan."

"Reza—"

"Tapi sekarang," potong Reza, suaranya lebih intens, "sekarang aku lihat dia treat lo kayak gini. Aku lihat dia throw away hal terbaik yang pernah terjadi sama dia. Dan aku... aku marah. Aku marah sama dia. Dan aku mau bantuin lo, bukan karena lo istri sahabatku. Tapi karena lo deserve better. Jauh lebih baik dari ini."

Udara di antara mereka terasa berat, charged dengan sesuatu yang Larasati tidak mau identifikasi. Ini berbahaya. Ini...

"Aku butuh teman," kata Larasati pelan, suaranya hampir putus. "Aku butuh seseorang yang bisa membuat aku lupa, sebentar saja. Seseorang yang membuat aku merasa... merasa seperti aku masih manusia, bukan hanya... pecahan."

Reza menatapnya dalam-dalam, dan ada sesuatu di matanya—conflict, desire, khawatir, semua bercampur jadi satu.

"Lara," katanya pelan. "Lo tahu apa yang lo minta?"

"Aku tahu." Larasati tatap tangannya sendiri—tangan yang gemetar sedikit, tangan yang memakai cincin kawin yang sekarang terasa seperti belenggu. "Aku tahu ini salah. Aku tahu aku seharusnya tidak... tapi Reza, aku tidak kuat lagi. Aku tidak kuat terus jadi perempuan yang menunggu, yang patuh, yang accept semua perlakuan buruk dengan senyum. Aku butuh... aku butuh sesuatu yang mine. Sesuatu yang Gavin tidak bisa ambil."

Reza diam panjang. Larasati bisa lihat inner turmoil di wajahnya—antara mau protect dia dan mau... apa? Memberinya apa yang dia minta?

"Lo yakin dengan ini?" tanya Reza akhirnya, suaranya barely audible di background music kafe.

Larasati tidak yakin dengan apa pun lagi. Tapi dia mengangguk. "Aku sudah tidak punya pilihan lain."

"Lo selalu punya pilihan, Lara."

"Tidak," bisik Larasati. "Tidak kalau aku mau survive ini. Tidak kalau aku mau tidak jadi gila."

Reza tatap dia dengan tatapan yang membuat sesuatu di perut Larasati berputar—bukan mual kali ini, tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang sudah lama dia tidak rasakan. Desire, mungkin. Atau hanya desperate need untuk merasa wanted, untuk merasa valued.

"Oke," kata Reza akhirnya, dan ada resignation di suaranya. "Oke. Tapi dengan syarat: ini di term lo. Lo yang kontrol pace-nya. Dan kalau suatu saat lo bilang stop, kita stop. No questions asked."

Larasati mengangguk, tenggorokan terlalu kencang untuk bicara.

Mereka duduk di kafe itu sampai sore—ngobrol tentang hal-hal yang tidak penting, seperti dua teman lama yang catching up. Tapi di bawah surface itu, ada tension yang tidak terucap, ada understanding tentang apa yang akan terjadi, tentang line yang akan mereka cross.

Dan saat mereka akhirnya berpisah—Reza berjalan Larasati ke mobilnya di parkiran sepi belakang kafe—Reza berhenti, menatapnya di bawah cahaya sore yang mulai redup.

"Lara," katanya pelan. "Kalau lo berubah pikiran—"

Larasati berdiri jinjit dan cium bibirnya—singkat, tentative, tapi deliberate.

Reza terdiam total, mata melebar dengan shock. Tapi dia tidak mundur. Tangannya naik ke pinggang Larasati, menarik sedikit lebih dekat, memperdalam ciuman dengan gentle pressure.

Tidak seperti ciuman dengan Gavin semalam yang terasa mekanis dan dingin. Ini terasa... berbeda. Ada kehangatan di sana. Ada gentleness. Ada sesuatu yang membuat Larasati merasa—untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu—seperti dia masih alive.

Mereka lepas perlahan. Reza tatap dia dengan mata yang gelap, napas sedikit cepat.

"Lo yakin?" tanya dia lagi, suaranya serak.

Larasati tidak yakin tentang apa pun. Tapi dia mengangguk.

"Jumat malam," bisiknya. "Gavin ada dinner meeting sama client sampai larut. Abi bisa titip sama Ziva."

Reza mengangguk pelan, jemari mengusap pipi Larasati sekali sebelum mundur. "Oke. Jumat malam. Gue akan kirim address."

Mereka berpisah dengan perasaan yang complicated—Larasati naik ke mobilnya dengan tangan gemetar, jantung berdebar, pikiran berputar dengan apa yang baru saja dia agree untuk lakukan.

Dia akan selingkuh. Seperti Gavin. Dia akan cross line yang selalu dia pikir tidak akan pernah dia cross.

Tapi suara di kepalanya—suara yang semakin keras—berbisik: _Dia deserve ini. Setelah semua yang dia lakukan, kamu deserve untuk merasa wanted. Untuk merasa loved. Even if it's just for one night._

Larasati nyalakan mesin, tapi tidak langsung pergi. Dia duduk di kursi driver, menatap kafe di mana Reza masih berdiri di pintu, menatapnya.

Sesuatu di dadanya mencair dan membeku sekaligus—contradictory emotions yang tidak bisa dia reconcile.

Tapi satu hal yang pasti: setelah Jumat malam, tidak ada jalan kembali.

Dia akan jadi perempuan yang berbeda.

Dan mungkin, itu exactly yang dia butuhkan untuk survive kehancuran ini.

---

**Bersambung ke Bab 11**

1
Aretha Shanum
dari awal ga suka karakter laki2 plin plan
Dri Andri: ya begitulah semua laki laki
kecuali author🤭😁
total 1 replies
Adinda
ceritanya bagus semangat thor
Dri Andri: makasih jaman lupa ranting nya ya😊
total 1 replies
rian Away
awokawok lawak lp bocil
rian Away
YAUDAH BUANG AJA TUH ANAK HARAM KE SI GARVIN
rian Away
mending mati aja sih vin🤭
Dri Andri: waduh kejam amat😁😁😁 biarin aja biar menderita urus aja pelakor nya😁😁😁
total 1 replies
Asphia fia
mampir
Dri Andri: Terima kasih kakak selamat datang di novelku ya
jangn lupa ranting dan kasih dukungan lewat vote nya ya kak😊
total 1 replies
rian Away
wakaranai na, Nani o itteru no desu ka?
Dri Andri: maksudnya
total 1 replies
rian Away
MASIH INGET JUGA LU GOBLOK
Dri Andri: oke siap 😊😊 makasih udah hadir simak terus kisah nya jangan lupa mapir ke cerita lainnya
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!