Ketika Olivia, gadis kota yang glamor dan jauh dari agama, dipaksa menikah dengan Maalik—kepala desa yang taat, dunia mereka berbenturan. Tapi di balik tradisi, ladang, dan perbedaan, cinta mulai tumbuh… pelan-pelan, namun tak terbendung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon komurolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
[ BAB 12 ] Di Sisi Jalan, Di Sisi Hati
Sudah lebih dari satu jam Olivia menangis dalam diam, hingga akhirnya tubuhnya menyerah oleh rasa lelah dan tertidur. Isaknya mereda, napasnya melambat, dan kini ia tertidur pulas di kursi penumpang. Maalik melirik ke samping, memandangi wajah istrinya yang tampak tenang dalam tidur. Hidungnya memerah, pipinya basah dan sembab, kelopak matanya membengkak—semuanya bekas tangisan yang terlalu lama.
Maalik tahu betul, ini bukan perjalanan yang mudah bagi Olivia. Hati perempuan itu belum siap, dan meski pernikahan mereka telah sah secara agama dan negara, Maalik masih menjaga jarak. Ia ingin menghargai perasaan istrinya, memberi ruang agar hati yang luka tak semakin retak.
Namun, Maalik juga tak lupa pada janji yang telah ia ikrarkan sejak kecil. Kepada kakeknya, kepada ayahnya, dan kepada Hadikusuma—lelaki tua yang sudah ia anggap seperti keluarga sendiri. Ia telah tahu sejak usia remaja bahwa jodohnya telah dipilihkan. Itulah sebabnya ia tak pernah membiarkan hatinya jatuh pada perempuan manapun. Selama 29 tahun hidupnya, ia menjaga diri. Menunggu satu nama: Olivia Yvaine Hadikusuma. Gadis yang kini duduk di sampingnya, delapan tahun lebih muda darinya, dan baru saja menjadi istrinya.
Olivia tertidur cukup lama, hampir dua jam. Ia terbangun dan meregangkan tubuhnya, menggeliat pelan lalu menyandarkan diri dengan dua kaki terlipat di atas kursi. Ia menatap Maalik yang tengah fokus menyetir.
Maalik merasakan tatapan itu, ia menoleh sejenak dan tersenyum melihat wajah Olivia.
“Ada apa?” tanyanya lembut.
“Gue…” Olivia menggantung kalimatnya. “Pengen pipis,” lanjutnya dengan suara malas.
Maalik tersenyum kecil. “Oke. Saya cari tempat berhenti, ya.”
Tak butuh waktu lama, mereka berhenti di sebuah rest area yang bersih dan tertata rapi. Sebuah bangunan modern dengan toilet yang cukup nyaman, lengkap dengan taman kecil dan tempat duduk berkanopi.
Maalik turun terlebih dahulu dan membukakan pintu untuk Olivia. Ia mengantar istrinya sampai ke depan pintu toilet perempuan, lalu menunggu di luar.
Beberapa menit kemudian, Olivia keluar dan mereka kembali ke mobil.
Keheningan kembali mengisi ruang di dalam kendaraan. Tak ada obrolan, hanya suara mesin dan angin yang lewat pelan dari sela jendela. Hingga kemudian, mobil melambat dan berhenti di depan sebuah rumah makan sederhana di pinggir jalan.
“Kita makan dulu, baru lanjut. Kamu belum makan sejak semalam,” ucap Maalik sambil mematikan mesin, tak menunggu persetujuan dari Olivia.
Olivia mengerang pelan, malas, tapi tetap turun. Mereka masuk ke sebuah kedai bebek bakar. Bangunannya sederhana, terbuat dari kayu dan bambu, namun bersih dan harum aroma bumbu panggangan memenuhi udara. Suasana pedesaan terasa hangat.
Maalik langsung menuju kasir dan memesankan makanan. Ia cekatan, memilihkan menu terbaik. Sementara Olivia duduk di meja pojok, meletakkan kepalanya di atas tangan. Matanya kembali berat, kepalanya sedikit pening. Mungkin karena terlalu lama menangis, atau karena jalanan yang naik turun dan berkelok.
Tak lama kemudian makanan datang. Sepiring bebek bakar, nasi hangat, sambal terasi, dan lalapan segar. Mereka makan dalam diam, tak saling bicara, tapi Maalik sesekali mencuri pandang ke arah Olivia yang tampak lelah.
Setelah makan, mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Waktu terus berjalan. Kini sudah empat jam mereka di jalan. Jalur yang ditempuh mulai menanjak dan menikung, khas pegunungan. Olivia tampak pucat. Ia memejamkan mata sambil memeluk perutnya.
Tiba-tiba, tangannya mencengkeram lengan Maalik.
“Mau muntah…” ucapnya dengan suara panik, menutup mulutnya dengan tangan.
Maalik segera menepikan mobil. Olivia buru-buru membuka pintu dan turun, lalu berlari ke semak kecil di sisi jalan. Ia memuntahkan semua isi perutnya. Maalik mengikuti dengan sigap, mengusap pelan bagian belakang leher istrinya, membantunya tetap tegak.
Ia kembali ke mobil, mengambil botol minum, dan menyodorkannya.
“Kumur dulu, biar enakan. Sudah mendingan?” tanyanya lembut.
Olivia hanya mengangguk pelan. Matanya sayu, tubuhnya lunglai. Maalik menuntunnya kembali ke mobil. Sesampainya di kursi, Olivia menyandarkan kepala ke sandaran, matanya kembali terpejam.
“Rumah lo masih jauh?” tanyanya tanpa membuka mata.
“Masih empat jam lagi,” jawab Maalik.
“Lama banget…” erang Olivia. “Kenapa kita nggak naik pesawat aja? Lo nggak ada duit?”
Maalik tertawa kecil. “Di sana nggak ada bandara, Olivia.”
“Sumpah?” Olivia membuka mata, hendak duduk tegak, tapi langsung meringis saat kepalanya berdenyut. Ia kembali menyandar lemah. “Jadi kalau mau ke Jakarta harus lewat kayak gini lagi?”
“Iya,” jawab Maalik, singkat.
Olivia menghela napas panjang, berat. Ia memandang ke luar jendela. Pemandangan hijau yang seharusnya menenangkan justru membuat dadanya semakin sesak. Ia tak pernah membayangkan hidupnya akan seperti ini: menikah tiba-tiba, tinggal di desa terpencil, dan harus bertahan dalam rumah tangga yang belum ia inginkan.
Beberapa menit kemudian, tubuhnya kembali lelah. Ia tertidur lagi. Diam dan tenang.
Hingga setengah jam berlalu. Mobil melewati sebuah jalan yang cukup rusak. Tanpa sengaja, roda depan menghantam lubang dalam. Guncangan cukup keras, membuat Olivia terbangun seketika. Ia memegangi perutnya. Wajahnya pucat. Matanya merah kembali.
Dengan suara lirih dan mata berkaca-kaca, ia berucap, “Mau muntah lagi…”
Maalik segera menepikan mobil. Kali ini Olivia tidak sempat turun dengan cepat. Maalik memapahnya dengan hati-hati, membawanya ke sisi rerumputan.
Olivia kembali muntah, tubuhnya lemas. Maalik tetap berada di sampingnya, mengelus pelan punggung istrinya, tak sekalipun menunjukkan rasa lelah. Ia mengambil tisu, membersihkan wajah Olivia, dan menyodorkan air minum.
Maalik tidak mengeluh. Tidak menggerutu. Ia tahu, ini bukan perjalanan biasa. Ini perjalanan menuju awal yang belum ia ketahui, tapi jika sabar dan setia menyertai, bisa jadi Tuhan sedang menulis takdir yang lebih indah dari semua dugaannya.
Dan ia akan tetap menunggu, satu demi satu—hingga luka itu berubah menjadi ruang. Hingga Olivia, suatu hari nanti, memilih untuk tidak hanya duduk di sampingnya... tapi berdiri di sisinya.