Inara harus menelan pil pahit ketika Hamdan, sang suami, dan keluarganya tak mampu menerima kelahiran anak mereka yang istimewa. Dicerai dan diusir bersama bayinya, Inara terpuruk, merasa sebatang kara dan kehilangan arah.
Titik balik datang saat ia bertemu dengan seorang ibu Lansia yang kesepian. Mereka berbagi hidup, memulai lembaran baru dari nol. Berkat ketabahan dan perjuangannya, takdir berbalik. Inara perlahan bangkit, membangun kembali kehidupannya yang sempat hancur demi putra tercintanya.
Di sisi lain, Rayyan Witjaksono, seorang duda kaya yang terluka oleh pengkhianatan istrinya akibat kondisi impoten yang dialaminya. Pasrah dengan nasibnya, sang ibu berinisiatif mencarikan pendamping hidup yang tulus, yang mau menerima segala kekurangannya. Takdir mempertemukan sang ibu dengan Inara,ia gigih berjuang agar Inara bersedia menikah dengan Rayyan.
Akankah Inara, mau menerima Rayyan Witjaksono dan memulai babak baru dalam hidupnya, lengkap dengan segala kerumitan masa lalu mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan untuk Rayyan
Di lantai teratas gedung pencakar langit yang menjulang, di balik dinding kaca yang menampilkan panorama kota Jakarta yang gemerlap, Rayyan Witjaksono duduk membeku di kursi kebesarannya. Udara dingin dari pendingin ruangan seolah tak mampu menandingi kekakuan yang menjalari setiap inci tubuhnya.
Rayyan, sang CEO yang namanya identik dengan kekuasaan, kekejaman, dan keangkuhan, kini hanyalah sebuah patung es yang terperangkap dalam pikirannya sendiri. Matanya yang tajam menatap kosong ke kejauhan, tapi yang dilihatnya hanyalah satu bayangan yakni calon istri yang baru saja dipilihkan oleh Ibunya.
"Pernikahan... lagi, ck ?" Bisikan pahit itu bergema di rongga dadanya.
Dua tahun. Dua tahun sejak hari pengkhianatan itu. Hari ketika janji suci dan cinta yang ia berikan dihancurkan berkeping-keping oleh wanita yang pernah ia sebut istri. Luka itu, yang tak pernah sepenuhnya kering, telah bermetamorfosis menjadi tembok baja di sekeliling hatinya.
Rayyan yang dulu hangat, yang penuh senyum, telah mati. Yang tersisa kini hanyalah sosok yang ia ciptakan sebagai tameng:
Dingin seperti es di puncak Everest.
Angkuh seolah dunia berada di bawah telapak kakinya.
Kejam tanpa ampun, terutama terhadap wanita yang ia anggap hanya membawa tipu daya dan kelemahan.
"Cih, wanita," desisnya pelan, suaranya serak dan rendah. Ia benci ide pernikahan. Ia benci wanita. Baginya, mereka semua sama, makhluk rapuh yang hanya mengincar harta dan kekuasaannya.
Ibunya bilang, ini demi kebahagiaan dirinya, dan demi terlahirnya sang pewaris. Omong kosong. Rayyan tahu, ini adalah upaya paksa untuk menyembuhkan trauma yang ia sendiri tak ingin sembuh. Trauma itu adalah pengingat konstan bahwa ia, Rayyan Witjaksono, pernah begitu bodoh untuk mencintai.
Jemari kekarnya, yang biasa mengetik perintah jutaan dolar, kini meremas sandaran tangan kursi kulit mahalnya.
Siapa pun calonnya, Rayyan sudah bersumpah bahwa Ia akan memastikan pernikahan ini hanyalah transaksi bisnis yang dingin, tanpa melibatkan sedikit pun perasaan. Ia sudah mati rasa. Dan wanita yang akan masuk ke kehidupannya nanti, harus siap menerima suaminya yang berhati batu dan tanpa belas kasihan.
Ia tidak akan pernah membiarkan dirinya dihancurkan lagi. Tidak akan pernah.
Rayyan membatin,
'Meskipun aku menderita impoten, tidak akan aku biarkan satu wanita pun menghancurkan hatiku kembali, jika sampai itu terjadi lagi, aku bersumpah akan aku habisi langsung wanita itu, tak ada ampun lagi. '
Rayyan mengepalkan tangannya, buku-buku jarinya memutih.
Tak lama ponselnya berdering dan saat Rayyan melihat layar ponselnya, ternyata itu adalah panggilan dari ibunya, Rayyan malas untuk menjawabnya namum ia kembali teringat akan ancaman ibunya yang menakutkan. Rayyan mendesah kasar dan terpaksa menjawab panggilan telepon dari ibunya.
"Iya Bu, ada apa!" jawabnya malas.
"Rayyan, persiapkan dirimu sabtu ini, karena Ibu akan memperkenalkan kamu dengan calon istrimu, pokoknya awas saja kalau sampai kamu tidak menepati janjimu!" ucapnya mengancam.
Rayyan menghela napasnya dan ia menjawab bahwa dirinya tidak akan mungkin melanggar janjinya.
Sambungan telepon terputus, Rayyan menyandarkan punggungnya di kursi, ia memijit pelipisnya.
"kini saatnya permainan di mulai, aku tidak akan mungkin diam saja dalam situasi seperti ini, ibu memang pintar memanfaatkan situasi, tapi aku lebih cerdik darimu, Bu! Kita lihat sampai dimana wanita pilihan ibu bertahan hidup denganku, aku pastikan dia akan menyesal karena telah menerima tawaran darimu, Bu... Wanita itu tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaannya, akan aku buat hidupnya seperti di neraka."
.
.
Sementara itu, pasca operasi jantung, kini kondisi Daffa berangsur membaik, Inara merasa sangat bersyukur melihat kondisi Putranya. Tiba-tiba ia termenung karena mengingat akan janjinya yang harus di tepati, yakni menikah dengan Tuan Rayyan, dan kabarnya Sabtu ini, dirinya akan di perkenalkan sebagai calon istri oleh Nyonya Martha. Kemudian Bu Farida mendekat, ia memperhatikan sikap Inara yang seperti itu, terlihat seperti seorang yang sedang menanggung beban yang berat
" Nduk, kamu kenapa? Apakah ada sesuatu yang kau pikirkan? Harusnya kamu bahagia karena kondisi Daffa membaik!" Bu Farida menggenggam kedua tangannya, ia menatap sendu Inara.
"Bu, ini bukan soal Daffa, tapi...!" Inara tak melanjutkan perkataannya, rasanya lidahnya terasa kelu untuk meneruskan semuanya.
Sedangkan Bu Farida, ia sudah tahu ke arah mana Inara ingin menjelaskan semua padanya.
"lantas soal apa Nduk?"
"soal pernikahanku dengan Tuan Rayyan, Bu... Rasanya aku belum siap menghadapi semua ini, aku masih trauma bu, aku takut pernikahan keduaku malah jauh lebih menyakitkan dari pernikahanku yang sebelumnya, tapi... Aku tidak bisa mundur, aku sudah janji dengan Nyonya Martha!" tanpa terasa air matanya jatuh, Bu Farida bergegas menghapus jejaknya.
" Nduk, maafkan Ibu... Ini semua gara-gara ibu karena meminta bantuan dari Nyonya Martha, ibu pikir dia tidak akan memberikan syarat yang berat seperti ini, tapi.... "
"Sudahlah Bu, ibu tidak usah menyalahkan diri ibu sendiri, mungkin ini sudah menjadi garis takdir hidupku Bu, Bismillah... Aku ikhlas jika jalannya harus dengan cara seperti ini, yang terpenting Daffa sembuh!"
.
.
Di lorong rumah sakit yang sudah menjadi rumah kedua bagi Inara, udara terasa sedikit lebih ringan. Baby Daffa, putra semata wayangnya, menunjukkan kemajuan pesat pascaoperasi jantung. Senyum Bu Farida, yang kini menjaga Daffa sementara Inara, ia harus pergi, menjadi penenang. Namun, ketenangan itu segera digantikan oleh kecemasan saat Nyonya Martha, dengan aura kemewahan yang selalu menyertainya, tiba menjemput.
Inara tahu, hari ini adalah hari pembayaran janji. Janji yang ia ikrarkan demi nyawa putranya.
Nyonya Martha tersenyum tipis, memandang Inara dari ujung rambut ke ujung kaki.
"Jangan khawatirkan Daffa, Inara. Farida akan menjaganya dengan baik. Sekarang, giliranmu mengurus diri sendiri. Kita tidak punya banyak waktu."
"Baik, Nyonya. Saya mengerti. Terima kasih sudah membantu Daffa. Saya akan menepati janji saya." Ucap Inara pelan, penuh kepasrahan
"Bagus, sekarang masuklah ke mobil. Malam ini, kau harus membuat Rayyan terkesima.
Inara mengangguk, hatinya terasa berat. Ia melangkah menuju mobil mewah Nyonya Martha. Ini bukan lagi tentang Inara, melainkan peran yang harus ia mainkan demi masa depan Daffa.
Perjalanan Inara berlanjut ke sebuah kawasan butik dan salon paling eksklusif di kota Jakarta. Di sana, Inara diserahkan sepenuhnya kepada para ahli. Rambutnya ditata, kulitnya dirawat, dan wajahnya dipoles dengan riasan yang menonjolkan kecantikan alaminya.
Puncaknya, ia dipakaikan gaun muslimah yang begitu elegan, menjuntai indah, berwarna lembut seperti awan senja, bertabur detail payet halus yang memancarkan kilau mewah. Gaun itu membalut tubuhnya dengan anggun, mengubahnya dari wanita biasa yang lelah menjadi sosok yang luar biasa, bak bidadari yang baru turun dari khayangan.
Inara memandang bayangannya di cermin. Ia nyaris tidak mengenali dirinya sendiri. Ada sedikit rasa kagum, namun dominan rasa kosong.
Inara berbisik pada dirinya sendiri.
'Demi Daffa... hanya untuk malam ini, ayo Inara, kamu pasti bisa melaluinya.'
Kemudian Nyonya Martha muncul dari arah belakang, ia tersenyum puas.
"Sempurna, kau terlihat... mahal. Ayo, jangan biarkan Rayyan menunggu terlalu lama."
Restoran The Royal Palace
Rayyan duduk di meja paling privat di restoran mewah tersebut. Di hadapannya, hidangan pembuka sudah tersaji, namun selera makannya hilang, jam tangannya terus dilirik, menunjukkan lima belas menit penantian yang terasa seperti satu jam.
Rayyan membenci situasi ini. Perjodohan, pertemuan paksa, dan calon istri yang dipilih ibunya, semua terasa kuno dan memuakan. Ia hanya ingin ini semua cepat berakhir, bertemu wanita itu, dan menemukan alasan untuk menolaknya tanpa membuat ibunya murka.
Rayyan menghela napas, dan ia berucap dalam hatinya.
'Siapa pun wanita ini, kuharap dia tidak terlalu membosankan. Aku harus segera mencari cara untuk membatalkan semua ini. Tidak ada yang bisa memaksaku menikahi seseorang yang tidak kucintai.'
Tepat saat itu, langkah kaki elegan terdengar mendekat. Rayyan mengangkat pandangannya, siap memasang wajah datar dan sinisnya.
Di ambang pintu restoran, Nyonya Martha melangkah dengan bangga. Di sampingnya, seorang wanita yang menawan, yang dibalut gaun muslimah indah, berjalan dengan aura tenang dan anggun. Cahaya lampu restoran memantul pada gaunnya, membuatnya terlihat bersinar.
Rayyan terkesima. Jantungnya sempat berdecut melihat kecantikan dan keanggunan wanita asing di samping ibunya itu. Ia merasakan debar yang tak seharusnya ia rasakan.
Rayyan tertegun dan ia kembali berbicara dalam hati
'lumayan juga pilihan ibuku kali ini, cukup elegan dan berkelas.'
Nyonya Martha dan wanita itu berhenti tepat di depan mejanya. Rayyan memaksa dirinya untuk tersenyum sopan. Saat wanita itu mengangkat wajahnya dan menatapnya lurus-lurus, senyum Rayyan langsung membeku.
Mata itu, wajah itu, aura yang ia kenal meski kini terbungkus kemewahan.
Rayyan berdiri, suaranya tercekat antara terkejut dan marah
"Inara?"
Nyonya Martha tersenyum lebar, dan penuh kemenangan
"Ya, Rayyan. Kenalkan, ini Inara. Calon istrimu."
Rayyan malah tertawa sinis, ia tidak percaya, dan menunjuk Inara.
" Haha... Inara? Ini tidak mungkin, kenapa harus dia yang menjadi calon istriku, Bu?"
Bersambung...