Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.
Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.
“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”
Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.
Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?
Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.
Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia ada , Rendi
Sore perlahan meredup, menandai berakhirnya acara hari itu. Rendi memutuskan kembali ke hotel lebih dulu, disusul oleh Bunga beberapa saat kemudian. Usai beristirahat sejenak, tepat pukul 19.00 WIB, mereka bersiap untuk check out—segala urusan administrasi telah diatur oleh Bunga, sekretaris pribadinya yang setia dan cekatan.
"Sudah?" tanya Rendi sambil menghampiri Bunga yang tengah berdiri di meja resepsionis. Mengenakan pakaian santai, penampilannya terlihat jauh lebih muda dari usianya yang sudah menginjak 34 tahun.
Bunga mengangguk pelan, memastikan semuanya telah beres.
"Bunga, aku mau mampir sebentar… beli oleh-oleh Bandung buat istri dan anakku. Kamu nggak apa-apa?" tanya Rendi lembut, matanya menatap penuh pertimbangan.
Bunga terdiam sesaat. Ia tampak ragu. Perjalanan pulang ke Jakarta menjadi persoalan tersendiri—mobil dan sopir kantor yang kemarin ia gunakan telah kembali lebih dulu karena urusan mendesak. Kini, satu-satunya kendaraan yang tersedia adalah mobil pribadi Rendi, yang memang ia pakai karena kondisi darurat kemarin.
"Pak Yanto sudah pulang duluan, Pak…" jawab Bunga akhirnya, suaranya pelan. "Kalau Bapak nggak keberatan, saya ikut Bapak saja. Dan saya nggak apa-apa kalau Bapak mau mampir dulu."
Rendi tersenyum, lalu mengangguk dan mengajak Bunga menuju parkiran.
---
Di sebuah toko oleh-oleh khas Bandung, Rendi tampak antusias memilih beberapa barang untuk istri dan anak semata wayangnya. Sesekali ia tertawa kecil saat melihat boneka lucu atau makanan ringan khas Sunda.
Namun kebersamaan yang hangat itu mendadak terhenti.
Ponsel Bunga tiba-tiba berdering. Sebuah panggilan masuk—dari sekretaris ayahnya, Pak Ilyas. Wajah Bunga berubah. Tangannya gemetar kecil saat mengangkat telepon.
"Assalamu’alaikum, Pak… ada apa?" tanyanya, terdengar bingung. Ia tak pernah sebelumnya mendapat telepon dari orang itu secara langsung.
Suara di seberang sana terdengar lirih, penuh duka.
"Wa’alaikumsalam… Bunga, maaf. Pak Hendra masuk NICU. Tadi siang beliau tiba-tiba tidak sadarkan diri…"
Tak sempat berkata banyak, telepon itu pun terputus. Bunga berdiri membeku. Matanya memandang kosong ke depan, seakan menolak percaya. Seluruh tubuhnya terasa ringan, hampir melayang.
Rendi, yang sedari tadi memperhatikan dari kejauhan, segera mendekat. Tanpa berkata-kata, ia membayar belanjaan mereka dan meraih bahu Bunga dengan lembut.
"Ayahku… masuk rumah sakit," lirih Bunga, nyaris tak terdengar.
Melihat kegundahan yang tak mampu disembunyikan itu, Rendi memeluknya sebentar—sebuah pelukan penuh empati, bukan sekadar pelukan antara atasan dan bawahan. Hanya untuk menenangkan.
"Ayo," ucapnya tenang namun penuh ketegasan. "Kita ke sana. Kita ke ayahmu sekarang."
Dengan gerakan mantap, Rendi membantu Bunga berdiri tegak. Mereka pun melangkah keluar malam itu, membelah udara Bandung yang mulai dingin, menuju rumah sakit—menuju seorang ayah yang kini terbaring tak berdaya, dan seorang anak yang tengah dihantui kecemasan.
Rendi menatap jam di dinding ruang tunggu. Sudah hampir pukul sebelas malam. Bunga masih duduk di bangku panjang, tertunduk dengan mata yang kosong. Sejak dokter memberi kabar terakhir, belum ada perkembangan berarti. Ia belum juga makan malam, hanya menolak halus setiap kali ditawari.
Rendi berdiri pelan, berjalan ke sudut ruangan agar tak mengganggu Bunga, lalu mengambil ponsel dari saku celana dan menekan nama yang sudah sangat dikenalnya.
Tak butuh lama, suara Alisya menjawab di seberang sana.
“Halo… Mas?” suara lembut itu terdengar pelan, ada harap dan rindu yang ikut menyelinap di dalamnya.
“Halo, Lis…” suara Rendi terdengar pelan, nyaris berat.
“Kamu di jalan pulang?” tanya Alisya penuh harap.
Rendi menghela napas. “Belum, Lis… Aku masih di rumah sakit.”
“Hah?” Alisya terdiam sejenak. “Rumah sakit? Emangnya kenapa?”
“Ayahnya Bunga… masuk ICU. Serangan jantung. Tadi sore pas kami mau pulang dari Bandung, dia dapat kabar itu.”
“Ya Allah…” Alisya terdiam sejenak. “Terus… Bunga sendiri?”
“Iya, cuma sama aku sekarang. Sekretaris ayahnya udah pulang. Aku nggak tega ninggalin dia sendirian di sini.”
Hening. Rendi bisa mendengar napas Alisya dari seberang. Ada jeda yang cukup lama sebelum istrinya bicara lagi.
“Jadi… kamu nggak pulang malam ini?”
“Sepertinya nggak, Lis,” ujar Rendi pelan. “Maaf ya… Aku tahu kamu pasti udah nunggu. Rasya juga.”
“Iya… Rasya nanya terus dari sore. Dia udah nyiapin gambar buat kamu. Dia pikir kamu pulang malam ini…” suara Alisya mulai menurun, dan Rendi tahu istrinya sedang berusaha menahan kecewa.
“Maaf ya… sungguh. Aku nggak nyangka juga semua jadi seperti ini,” ucap Rendi tulus. “Tapi aku janji, kalau udah ada keluarga Bunga yang datang, aku langsung pulang.”
Alisya menarik napas panjang. “Aku ngerti, Mas. Aku cuma… kangen. Tapi aku juga tahu kamu nggak akan tinggal kalau bukan karena alasan penting.”
“Terima kasih sudah ngerti. Tolong peluk Rasya buatku. Bilang, ayahnya juga kangen.”
“Iya… kamu juga jaga diri. Dan pastikan Bunga makan sesuatu. Dia pasti lagi kacau banget.”
Rendi tersenyum kecil, meski tak terlihat. “Iya, nanti aku usahakan. Makasih ya, Lis… Aku benar-benar bersyukur punya istri sebaik kamu.”
Alisya tak menjawab, tapi Rendi bisa merasakan keikhlasan dalam diamnya.
Telepon ditutup. Rendi berdiri sejenak, menatap layar ponselnya sebelum berbalik kembali ke arah bangku panjang itu. Bunga masih dalam posisi yang sama.
Pelan-pelan, ia duduk di sampingnya, lalu berkata dengan suara lembut, “Bunga… ayo makan sedikit, ya? Kamu belum isi perut dari tadi siang.”
Bunga menoleh perlahan, matanya sembap namun penuh haru.
“Bapak nggak perlu sejauh ini buat saya, Pak…”
Rendi menggeleng pelan. “Saya nggak sejauh ini karena kamu sekretaris saya. Tapi karena kamu… manusia. Dan malam ini, kamu butuh seseorang di sini.”
Bunga menunduk lagi, tapi kali ini air matanya jatuh—bukan karena takut, tapi karena merasa tidak sendiri.
Udara dini hari terasa dingin, sepi merambat di sepanjang lorong rumah sakit. Lampu remang di ruang tunggu menambah lengang suasana.
Bunga terbangun perlahan. Lehernya kaku, tapi bukan rasa pegal yang membuatnya terjaga sepenuhnya. Matanya langsung menangkap sosok Pak Rendi—duduk di kursi seberang, tertidur dengan kepala sedikit menunduk, tangan bersedekap di dada, wajahnya letih namun damai.
Jaketnya yang biasa dipakai tergantung di sisi kursi, mungkin sengaja disiapkan kalau Bunga kedinginan.
Bunga menatapnya lama. Ada keheningan yang tidak dingin. Justru terasa hangat.
“Bapak ini… kenapa bisa sepeduli ini? Padahal aku cuma sekretarisnya. Tapi dia tetap tinggal, tetap menunggu, tanpa banyak bicara. Kalau bukan karena beliau, mungkin aku sudah benar-benar hancur malam ini…”
Ia menarik napas pelan, menatap langit-langit, lalu kembali melirik ke arah pria itu.
“Waktu di kantor, beliau selalu tegas, kadang dingin. Tapi malam ini… beliau lebih dari sekadar atasan. Rasanya… seperti seseorang yang benar-benar hadir. Untukku.”
“Terima kasih, Pak…” bisiknya lirih. Air mata yang sempat kering, kini kembali mengalir—bukan karena takut, tapi karena merasa dijaga… dan dihargai.