Jihan Alessa. Gadis ceria yang selalu mengejar cinta lelaki bernama Abintang Sagara.
Namun, ternyata perasaannya itu justru menambah luka di hidupnya. Hubungan yang seharusnya manis justru berakhir pahit. Mereka sama-sama memiliki luka, tetapi tanpa sadar mereka juga saling melukai karena itu.
"Suka lo itu bikin capek ya."
"Gue nggak pernah minta lo suka gue."
Rumah yang seharusnya tempat paling aman untuk singgah, justru menjadi tempat yang paling bahaya bagi Jihan. Dunia seakan mempermainkan hidupnya bagai badai menerjang sebuah pohon rapuh yang berharap tetap kokoh.
"Kamu adalah kesialan yang lahir!"
Itulah yang sering Jihan dengar.
Pada akhirnya aku pergi—Jihan Alessa
__________
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Affara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepasang luka
Baru saja Jihan ingin bernapas lega. Hendra sudah muncul di hadapannya sembari menatapnya tajam. "Besok UTS kan. Belajar sekarang. Jangan sampai malu-maluin lagi." Hendra menyerahkan dua puluh lembar kertas dan dua buku Matematika & Fisika.
Jihan menerimanya dengan lapang. "Iya. Jihan bakal usaha kok," Ujarnya selembut mungkin.
"Sekarang masuk. Papah bakal awasin kamu langsung. Kamu pikir selama ini kamu ngerjain soal pake aplikasi papah nggak tahu gitu?!" Sindir Hendra memandang putrinya geram.
Selama ini Hendra memang sudah mengetahui jika Jihan tidak pernah menjawab soalnya sendiri. Hendra tak sebodoh itu untuk tidak bisa membedakan mana jawaban manusia dan mana jawaban AI.
"Iya. Maaf," Ujar Jihan bersalah.
Tanpa berlama-lama akhirnya Jihan masuk kedalam kamar dan duduk di meja belajarnya.
Hendra berdiri di sampingnya sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya terus mengikuti tangan Jihan yang mulai menulis di lembaran kosong yang di mana itu memang di sediakan untuk coretan rumus. Beberapa kali Jihan mengigit bibir merasa kesulitan menjawab soal pecahan sederhana maupun bilangan genap.
"Kenapa diem? Nggak bisa jawab? Terus selama ini kamu sekolah ngapain Jihan?" Ujar Hendra memandang putrinya geram.
Rasanya Jihan ingin menangis. Kepalanya berdenyut nyeri ketika mencoba mengingat rumus yang pernah ia catat waktu pelajaran di kelas. Namun, semakin ia mencoba mengingat kepalanya semakin pusing.
"Maaf pah. Aku nggak bisa." Jihan menyerah.
Hendra menggebrak meja dengan keras hingga Jihan kaget. "SEGINI AJA KAMU NGGAK BISA! TERUS KAMU BISANYA APA JIHAN!" Hendra mendorong-dorong kepala Jihan dengan jari telunjuknya.
"PUNYA OTAK ITU DI PAKE! PUNYA OTAK KOK DI BIKIN BODOH! Kamu ini malu-maluin banget jadi anak. Nggak ada gunanya. Cuma bikin malu keluarga!"
"Aku juga lagi usaha Pah. Ini pengen nyoba, tapi kepala aku sakit kalo inget-inget rumus." Jihan tampak frustasi.
"Halah alasan! Kamunya aja yang bodoh!"
"Kamu itu udah nyusahin dari orok! Nyesel saya nggak buang kamu dari dulu."
Jihan menunduk.
"Maaf, Pah."
"Maaf nggak merubah kamu jadi pinter. Apa kamu nggak bisa contoh abangmu? Dia aja pinter bisa masuk universitas tinggi. Nilainya memuaskan. Nggak kayak ka—"
"Jihan sama abang beda Pah! Nggak bisa disamain! Nilai sejarah sama seni aku tinggi kok. Tapi apa Papah lihat kesana? Enggak kan! KARENA PAPAH NGGAK PERNAH PEDULII!" Teriak Jihan muak terus dibanding-bandingkan.
"Jihan sadar Jihan nggak sepenting itu!"
"Mau nilaiku jelek atau bagus pun papah nggak pernah peduli! Itu cuma alasan papah supaya bisa nyiksa aku kan? Bagi papah aku cuma samsak buat lampiasin emosi papah!" Ujar Jihan menggebu-gebu.
"Kalo aku mati, papah baru puas?"
"Kurang ajar!" Hendra menarik rambut Jihan kebelakang sehingga kepalanya mendongak.
"Berani sekali kamu membentak saya! Kamu pikir kamu siapa!" Hendra membenturkan kepalanya Jihan pada pucuk meja dengan keras.
Bragh!
Lagi dan lagi. Meja bergetar. Suara benturan itu menggema di ruang kamar Jihan yang biasanya sunyi. Hendra terbutakan oleh amarah lalu ia membenturkan kepala Jihan untuk terakhir kalinya, dan kali ini benturan itu mengenai hidungnya. Tepat pada pinggir meja yang lumayan lancip, membuat hidung Jihan tergores.
Kepala Jihan membenam ke meja seperti sedang tertidur, dengan rambut yang menutupi. Hendra tersadar jika ia sudah keterlaluan. Pria itu segera melepaskan rambut Jihan. Lalu mengacak rambutnya sendiri frustasi.
"Kenapa berhenti? Lanjutin aja. Bunuh aku pah. Itu kan yang papah mau. Jihan capek pah selalu di giniin. Mending Jihan mati aja biar gak di siksa terus. Jihan itu manusia, bukan robot." Ujar Jihan lirih masih membenamkan wajahnya pada meja. Tidak berniat menatap wajah bersalah Hendra.
Hati Hendra terasa tersentil dengan perkataan Jihan. Namun lagi-lagi ia menepis semua perasaan bersalah tersebut.
"Jangan berharap bisa makan hari ini!" Setelah mengatakan itu Hendra beranjak pergi begitu saja. Meninggalkan keheningan yang menyelimuti.
Jihan perlahan mengangkat wajahnya dari meja. Bercak merah menodai lembaran kertas setelah Jihan membenamkan mukanya di situ. Tangannya mengusap darah yang mengalir dari hidungnya. Bibirnya tersenyum.
Bagaimana luka bercerita? Ketika kamu terus dibungkam tanpa sedikit jeda, hingga bibirmu tak ada pilihan lain selain tersenyum.
****
Langkah Abintang semakin cepat ketika melihat mobil putih yang tak asing di ingatan nya, kini terparkir rapi di halaman. Rahangnya mengeras hingga urat-urat lehernya menonjol. Hari yang paling Abintang benci adalah bertemu dengannya. Segera ia melangkah masuk kedalam rumahnya.
Napasnya naik turun tidak beraturan. Tatapannya semakin menajam tak kala melihat sosok yang selama ini ia hindari. Sosok yang telah merebut dunianya.
"Ngapain Dady kesini!?" Bentak Abintang tanpa ba-bi-bu pada pria dewasa yang sedang berbicara pada Arkan.
"Sayang. Tenang dulu ya. Jangan marah-marah gitu," Ujar Rossa menenangkan keponakan nya.
"Kamu sudah pulang Abi? Bagaimana kabar kamu?" Tanya Antoni ramah pada Abintang.
Abintang berdecak tak suka ketika Antoni memanggil nya 'Abi' seperti saat Jihan memanggilnya. "Ngapain Dady kesini?" Tanyanya sekali lagi tidak suka basa-basi.
Antoni mencoba mendekati putranya. Namun Abintang justru semakin menghindar. "Abintang!" Tegur Arkan melihat perilakunya.
Antoni tersenyum.
"Dady kangen kamu Abintang. Apa nggak boleh Dady nengok anak sendiri?" Suaranya penuh wibawa.
"Anak?" Abintang menatap pria tua di depannya dengan penuh makna. "Setelah tiga tahun Dady pergi nggak ada kabar. Ninggalin Bunda yang sakit-sakitan nungguin kehadiran Dady!! Masih punya nyali Dady bilang kayak gitu? OTAK DADY KEMANA!!" Ujarnya menggebu-gebu.
"Mending sekarang anda pergi!" Usir Abintang. Arkan dan Rossa hanya terdiam tidak ingin ikut campur. Mereka sangat tahu keadaan Abintang sedang kacau.
"Abi. Dady tahu Dady salah. Maafin Dady ya nak," Mohon Antoni dengan suara parau. Tidak kuat melihat kebencian dari darah dagingnya sendiri.
"PERGII DAD! ABINTANG NGGAK MAU LIAT MUKA DADY LAGI! SAMPAI KAPANPUN ABINTANG NGGAK PERNAH BISA MAAFIN KESALAHAN DADY!" Wajah Abintang semakin memerah. Napasnya memburu.
Mata Antoni mulai berkaca-kaca. Pria berwajah tegas itu terlihat kacau saat ini. "Dengerin penjelasan Dady dulu Abi. Dady memang melakukan dosa besar dengan melupakan tanggung jawab Dady pada keluarga kita. Tapi Dady mohon, dengerin dulu penjelasan Dady nak," Mohonnya.
Abintang menggeleng cepat. "Nggak ada yang perlu dijelasin lagi. Abintang sama Bunda udah terlanjur kecewa sama Dady. Waktu Bunda di rumah sakit, Abintang berusaha nelpon Dady buat pulang. Tapi apa? Dengan santainya Dady lebih mentingin kerja dari pada kondisi Bunda yang lagi drop!" Antoni terdiam.
"Asal Dady tahu. SEBELUM BUNDA PERGI. NAMA DADY SELALU DISEBUT! ANTONI ANTONI ANTONI! APA BUNDA PERNAH NYEBUT ABINTANG? ENGGAK! CUMA ANTONI! Tapi apa? Anda dengan gampangnya lebih mementingkan meeting dengan orang asing, ketimbang bertemu dengan keluarga anda sendiri!" Kata Abintang menusuk.
"Apa masih pantas anda di sebut seorang ayah?"
Deghh
Jantung Antoni terasa berhenti sejenak. Mendengar kalimat itu dari putranya sendiri terdengar sangat amat menyakitkan. Luka yang ia toreh terlalu besar hingga hubungan mereka renggang. Antoni telah melakukan dosa besar yang sulit dimaafkan. Kini Abintang benar-benar membencinya.
"Maafin Dady Abintang." Antoni tidak tahu lagi harus berkata apa selain meminta maaf.
"PERGI!" Usir Abintang tak ingin melihat wajah Antoni lagi.
*****
Mereka memiliki luka yang berbeda. Tidak bisa dibandingkan. Namun, itulah yng membuat mereka spesial di hatiku. —Penulis