NovelToon NovelToon
Batas Yang Kita Sepakati

Batas Yang Kita Sepakati

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Princess Saraah

Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?

Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.

Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."

Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jeda

Nizan mencoba menarik tanganku, tapi gerakannya langsung ditahan Azzam. Cengkeraman tangan Nizan tak sampai ke pergelangan tanganku. Tegangan di antara mereka belum surut.

Tapi sebelum ada yang sempat bicara lagi, suara berat dan tegas memecah udara.

"Hei! Ngapain kalian masih di sini?! Gak denger disuruh kumpul di lapangan?!" seru Pak Dika memecah ketegangan yang terjadi disini.

Spontan, beberapa anak yang tadinya nonton diam-diam langsung bubar, lari tunggang langgang ke arah lapangan. Aku masih berdiri di situ. Badanku menegang. Jantung berdebar tak karuan. Otakku berputar cepat memikirkan solusi agar kami tidak berakhir di ruang BK.

Pak Dika mulai berjalan mendekat. Jadi mau tak mau aku harus meluncurkan akting daruratku yang seadanya ini. Air mataku perlahan mengalir. Tanpa suara. Tubuhku seolah lemas, tanganku menekan bagian perut. Aku menggenggam lengan Azzam untuk menahan tubuhku agar tetap berdiri.

"Kamu kenapa Tisya?" tanyanya.

Aku menggeleng cepat. Suaraku nyaris tak terdengar, "Sakit perut, Pak."

Pak Dika menghela napas, menatap wajahku yang jelas-jelas bukan sakit perut. Tapi dia tidak menanyakan lebih lanjut.

"Kamu pulang sama siapa?" tanyanya lebih lanjut.

"Sama Azzam, Pak," jawabku pelan.

Pak Dika menoleh ke Azzam, yang masih berdiri di sampingku.

"Ya sudah. Azzam anterin Tisya pulang. Nanti di depan izin ke guru piket!" pesannya.

Azzam mengangguk. "Siap, Pak."

Nizan tidak bisa berkata apa pun. Dia hanya menatap kami, diam. Tangannya mengepal, wajahnya keras, tapi tidak bisa melakukan apa-apa.

Angin siang ini menyapu wajahku. Jalanan sedikit sepi. Aku diam, memeluk tasku sendiri. Pikiranku penuh. Campur aduk. Rasanya seperti habis dihantam badai.

Azzam akhirnya buka suara, sedikit menoleh ke belakang.

"Pandai juga ngeles lo. Sakit perut, huh?" ujarnya sarkas.

Aku hanya diam. Memejamkan mata sebentar, mengatur napas. Bahkan angin pun tak bisa menjernihkan pikiranku saat ini.

Malam harinya aku duduk di kasur, menatap layar ponsel. Ada puluhan pesan tak terbaca dari Nizan.

...Nizan...

Maafin aku ya Sya.

Aku minta maaf gak bisa ngontrol emosi aku tadi.

Aku ga bisa liat kamu sama cowo lain, apalagi temen dekat aku.

Aku gak bermaksud bikin kamu marah apalagi sampai nangis.

Aku ngerti kamu marah.

Tapi please, jawab sekali aja chat aku ini.

Atau kalau kamu mau marah atau numbuk aku, lakuin langsung ke aku. Aku gapapa Sya.

Asal kamu maafin dan ngga ngediemin aku kayak gini.

Aku menatapnya lama. Tidak langsung membalas. Aku belum siap. Masih kesal.

...****************...

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, aku mendengar suara motor berhenti di depan rumah. Dari jendela kamar, aku tahu siapa yang datang tanpa harus melihat. Siapa lagi kalau bukan Nizan.

Aku merapikan seragam, tidak buru-buru turun. Tapi ketika aku keluar kamar dan membuka pintu depan, dia berdiri di sana dengan senyum ragu, tangan di kantong celana, dan ransel di punggung.

"Ngapain lo ke sini?" tanyaku ketus.

Senyumnya malah makin lebar. "Pagi-pagi udah marah-marah aja, cantik."

"Dih, gue masih marah sama lo ya, Zan."

"Iya, iya. Aku tau. Tapi ya udah yuk, berangkat bareng. Nanti marahnya lanjut di motor aja."

"Gamau." Jawabku cepat, tanganku masih di pegangan pintu. "Aku mau berangkat sama Mami aja."

Nizan menghela napas. "Terserah deh kamu mau tonjok aku, mukul, tampar, atau lempar tas ke muka aku. Silahkan. Tapi yang penting, abis itu maafin aku ya."

Nada suaranya serius. Tapi justru itu yang bikin aku makin kesal.

"Gamau!!!"

BRUKK!

Aku membanting pintu.

Dari dalam, aku dengar suara Mami, "Adek! Kok banting pintu gitu?!"

Aku tidak menjawab.

Tak lama, kudengar pintu dibuka pelan, dan suara langkah kaki Mami yang keluar. Aku menempelkan telinga ke dinding dekat pintu depan. Mami berbicara pelan, tapi cukup jelas terdengar.

"Maaf ya Nizan. Kamu tahu sendiri kan Tisya itu kalau merajuk gimana," suara Mami lembut.

"Iya, Mi. Gapapa. Udah biasa kok," jawab Nizan dengan nada rendah dan putus asa.

"Nizan tau. Cuma ya gimana ya Mi. Tisya gak bales chat Nizan dari tadi malam. Nizan kan khawatir. Makanya Nizan pikir, mungkin kalau ketemu langsung, Tisya bisa lebih tenang. Nizan nggak tahan kalau didiemin terus."

"Sebenarnya Tisya tuh juga khawatir ke Nizan. Dia gamau Nizan berantem sama temen Nizan," kata Mami pelan.

"Iya, Mi. Nizan nyesel banget. Beneran. Kenapa lah juga Nizan kaya gitu."

"Nah, jadi sekarang, biarin Tisya tenang dulu, ya? Nizan berangkat aja, nanti telat."

Nizan diam sejenak, lalu terdengar suara beratnya berkata, *Iya deh Mi. Makasi ya Mi."

"Iya sama-sama Nizan."

Aku mendekat ke jendela, melihat dia mengenakan helm, menyalakan motor, lalu pergi perlahan. Tidak menoleh lagi.

Sesampainya di sekolah, suasananya normal. Terlalu normal. Seperti tidak ada yang terjadi kemarin. Tidak ada yang berani menyentuh topik itu. Tapi aku tahu, sebagian dari mereka mungkin sudah tahu. Tatapan yang sedikit lebih lama dari biasanya hingga bisik-bisik saat aku lewat cukup jadi bukti. Namun aku bersyukur. Tak ada yang bertanya langsung. Setidaknya hari ini, aku bisa bernapas tanpa harus menjelaskan apapun.

Jam istirahat pertama, kami duduk di pojok kantin seperti biasa. Erina menggigit pisang goreng keju sambil membuka obrolan.

"Eh, film pendek kita gimana? Besok weekend nih. Mau mulai syuting gak?"

Mira menyandarkan dagu ke tangan, mengangguk ringan. "Gue sih bisa kapan aja. Nggak ada acara besok."

Aku mengangguk, membuka botol minum. "Iya, gue juga bisa sih. Coba tanya yang lain aja."

Erina langsung menoleh ke seberang meja, tempat Khalif, Raka, dan Afiq duduk sambil makan indomie soto medan lengkap dengan es tehnya.

"Brooo, besok syuting bisa gak?" tanya Erina.

"Besok? Bisa-bisa. Sekalian nongkrong. Otak gue udah panas juga nih sama jurnal akuntansi," jawab Khalif.

Raka mengangkat alis. "Tergantung Yumna sih gue."

Afiq cengar-cengir. "Lo mah bucin Ka."

"Bercanda, ya ampun!" Raka tertawa lebar.

Aku tertawa juga, tipis, lalu menatap mereka. "Naskahnya gimana? Ada yang punya ide ga judul filmnya apa? Terus isi ceritanya."

Erina mengangkat bahu. "Terserah lu aja sih, Sya. Kalau sekelompok sama lo mah semua aman."

"Iya, lo kan yang paling pinter. Kita tinggal ngikut doang," tambah Khalif.

"Bener-bener kalian ya," gumamku, geleng-geleng kepala. "Maunya gampang doang. Jangan kaget ya kalau naskahnya gue bikin kalian jadi pohon semua."

"Gue jadi batu pun gapapa Sya. Biar ga repot ngafalin dialog," celetuk Raka.

Mira tertawa. "Gue jadi batunya deh. Biar diem aja."

Afiq mengaduk minumannya, lalu berkata, "Eh, jadi kelompok kita siapa aja nih?"

Raka langsung ikut. "Iya, fix-in dulu dong. Biar gak ribet."

"Hmm... kita berlima," kata Erina sambil menunjuk satu-satu. "Gue, Mira, Tisya, kalian bertiga. Terus Yumna dan Salsa. Kalau Yumna sama Salsa sih pasti ngikut aja."

"Ooo, okey. Berarti delapan orang ya? Eh, Nizan nggak diajak?" tanya Khalif tiba-tiba.

Aku yang sedang menyedot minumanku langsung berhenti.

"Ngga usah," jawabku pelan, tanpa ekspresi. "Kita-kita aja."

Mira menatapku sebentar, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan. Khalif melirik Raka, Raka melirik Afiq, lalu mereka bertiga saling tukar kode pandang yang isinya jelas: Jangan tanya lebih lanjut, diam aja. Nanti Tisya ngamuk.

"Ooo, iya-iya, kita-kita aja deh," ucap Khalif cepat, mengangguk-angguk. "Daripada merajok tu bocil," tambahnya pelan, lebih ke bisikan yang nyaris tidak terdengar.

Bukan karena aku benci Nizan. Aku cuma gamau Nizan berantem lagi dengan temannya karena aku.

1
Asseret Miralrio
Aku setia menunggu, please jangan membuatku menunggu terlalu lama.
Daina :)
Author, kita fans thor loh, jangan bikin kita kecewa, update sekarang 😤
Saraah: Terimakasih dukungannya Daina/Heart/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!