Istri Kedua Suamiku

Istri Kedua Suamiku

3 jiwa satu rumah satu cinta

Malam melaju dengan anggun, menyisakan jejak cahaya di balik tirai langit. Di sudut rumah sederhana itu, Rendi Arjuna Langit tengah menyiapkan kejutan kecil, namun penuh cinta, untuk sang istri .

muachhh ....

“Selamat ulang tahun, istriku…” seru Rendi, dan pelukan hangat untuk Alisya

“Makasih suami ku , " gumam Alisya dengan tatapan syukur yang tak terucap.

“Ayo, Sayang tiup lilinnya,” pinta Rendi ceria.

“Jangan lupa berdoa, ya, Bun,” sambung Rendi dengan senyum yang menyala di wajahnya.

Rasa Syukur tak mampu terucap perbincangan hangat menemani malam indah mereka .

“Besok Mas kerja, kan? Sudah malam…” gumam Alisya lirih, menggandeng tangan suaminya menuju peraduan.

Malam itu, di tengah cahaya lilin dan tawa sederhana, cinta bersemi dalam hening yang mendalam.

sebelas tahun telah mereka jalani. Rumah tangga yang semula dibangun dengan sabar, kini berakar kuat oleh saling pengertian dan kasih sayang. Cinta yang hangat itu mereka rawat dan titipkan penuh untuk putra semata wayang, Rasya Putra Langit.

Fajar menyingsing. Seperti biasa, Alisya bangun lebih awal, membangunkan dua cinta hatinya. Meski ekonomi telah stabil, Alisya tetap memilih menjadi tangan pertama bagi rumah tangganya, kecuali saat tubuhnya tak lagi sekuat biasanya.

“Bangunlah, cintaku… suamiku…” bisik Alisya suaranya bagai embun pagi yang membelai daun. Rendi pura-pura terlelap, menikmatinya, tenggelam dalam belaian dan kecupan lembut sang istri.

“Uuhhh…” gumamnya, memeluk Alisya lebih erat, menahan pagi agar tak terlalu cepat datang.

“Mas ini, ya…” ujar Alisya sambil tersenyum dan membalas pelukan hangat Rendi .

Dua pasang mata saling menatap dalam diam, menyulam ulang kenangan, dan merayakan kebersamaan yang tak sebentar.

“Bunda...”

Teriakan kecil itu memecah pagi,

membelah pelukan hangat dua insan yang tengah larut dalam cinta,

disambut tawa bening yang bergema di sudut kamar.

Keriiitt...

Pintu kamar terbuka perlahan,

menyingkap wajah kecil yang cemberut,

menatap Ayah dan Bunda yang tengah berpelukan.

“Aku juga mau dipeluk...”ucapnya lirih,sebelum kaki mungil itu berlari,menyusup ke dalam pelukan yang lebih luas dari dunia.

Ayah dan Bunda pun tertawa, menyambut anak lelaki delapan tahun itu, yang selalu tahu cara menyempurnakan pagi.

Langit pagi menyapu lembut tirai jendela,

mengusir sisa-sisa malam yang masih bersembunyi di ujung ranjang.Di antara tawa dan pelukan yang menyatu,

ada rasa syukur yang mengalir tanpa suara.

Rasya, bocah kecil yang menjadi poros semesta bagi Ayah dan Bunda,tersenyum bangga telah merebut ruang di antara mereka,dalam pelukan yang kini tak lagi milik dua hati,melainkan tiga jiwa yang terikat erat oleh kasih.

Bunda membelai rambut Rasya,

“Ayah dan Bunda sayang sekali sama kamu,” bisiknya lembut.

Rasya menatap wajah mereka bergantian,

seakan ingin menyimpan setiap gurat cinta itu dalam ingatan yang kekal.

Tak lama, aroma roti panggang dan wangi teh melayang dari dapur, membawa pagi menuju kehangatan yang lebih dalam.Mereka bertiga duduk bersama di meja makan,tanpa kata-kata yang rumit,hanya senyum, tatapan, dan tawa kecil yang mengisi ruang.

Karena kadang,cinta tak perlu dijelaskan.Ia cukup dirasakan dalam detak yang sama,dalam pelukan yang tak terbagi,dalam pagi yang sederhana,namun sempurna.

...****************...

Pagi itu, suara klakson mobil penjemput sekolah terdengar nyaring di depan rumah, memecah keheningan yang masih enggan pergi. Dua anak sekolah dasar berlari kecil keluar dari pintu, mengenakan seragam rapi dan tas yang hampir sebesar tubuh mereka. Di wajah mereka tergambar semangat dan sedikit gugup akan hari yang menanti.

Bus sekolah telah menunggu, penuh tawa dan obrolan riang teman-teman sebaya. Sebelum menaiki anak tangga bus, mereka menoleh ke belakang, pada sosok ayah dan ibu yang berdiri di ambang pintu, menatap penuh harap dan kasih.

"Hati-hati, sayangku," ucap sang ibu pelan, suaranya hampir tenggelam oleh deru mesin. Sang ayah hanya mengangguk, namun sorot matanya berkata lebih banyak dari ribuan kata.

Hari yang panjang akan segera dimulai. Rendi, seorang karyawan di salah satu perusahaan milik keluarganya, memulai pagi seperti biasa. Meski berasal dari keluarga terpandang, tak ada perlakuan istimewa untuknya.

"Sayang, mau bawa bekal? Atau nanti aku antarkan saja makanannya?" tanya Alisya lembut, sambil merapikan baju kerja Rendi dengan penuh kasih.

Rendi hanya memandangi istrinya yang cantik, terlalu terpesona untuk segera menjawab. Dalam diamnya, ia meresapi betapa dalam rasa cintanya pada wanita itu. Tanpa berkata sepatah pun, ia menarik Alisya ke dalam pelukan hangat.

"Sayang, hari ini aku tidak usah bawa bekal. Aku ada tugas ke Bandung, survei lokasi untuk pembukaan restoran makanan Sunda," bisik Rendi di belakang pelukan, suaranya rendah namun jelas.

Alisya mendongak, menatap wajah suaminya dengan lembut. "Kata Ayah?" tanyanya pelan, memastikan apa yang baru saja ia dengar.

Rendi mengangguk ringan, menyentuh kening istrinya dengan bibirnya—jawaban yang tak membutuhkan kata, namun penuh makna

Rendi membalikkan badan Alisya, menatapnya dengan sorot mata penuh semangat, lalu berkata,

"Sayang, kata Ayah, jika proyekku di Bandung berhasil, aku akan dilantik jadi Direktur Perencanaan di perusahaan!"

Nada suaranya mengandung antusiasme yang sulit disembunyikan. Wajah Rendi tampak berseri saat menyampaikan kabar itu kepada istrinya. Ia tak mampu menahan rasa bahagia yang membuncah di dadanya.

"Aaaah!" pekik Alisya seraya melompat kegirangan, "Serius, Rendi?"

Ia langsung memeluk suaminya dengan erat, seperti ingin menyalurkan kebahagiaannya lewat pelukan itu.

Hari itu menjadi salah satu hari paling membahagiakan bagi Rendi. Perjuangan panjangnya mulai menampakkan hasil. Ia ingin membuktikan, kepada siapa pun dan terutama pada dirinya sendiri, bahwa semua impian bisa diraih lewat kerja keras.

Di sampingnya, Alisya tak pernah berhenti mendampingi setiap langkah proses itu. Ia menyaksikan jatuh bangun Rendi, dan kini mulai melihat puncak dari perjuangannya. Bagi Alisya, keberhasilan suaminya bukanlah keberuntungan semata, melainkan bukti nyata bahwa tekad dan ketekunan bisa mengalahkan segalanya.

Rendi perlahan membuktikan, bahwa namanya tak semata besar karena warisan—melainkan karena ia sendiri yang mendakinya, dengan keringat dan keyakinan

Alisya melepaskan pelukannya, memandang Rendi dengan tatapan yang penuh makna. "Rendi," katanya lembut, "aku tahu betapa keras kamu bekerja untuk sampai ke titik ini. Tapi, yang paling penting bukan hanya pencapaian itu, kan? Ini tentang kita, tentang keluarga kita."

Rendi terdiam, matanya menatap Alisya dengan penuh keharuan. "Apa maksudmu?" tanyanya, suara terdengar serak, seperti mencoba mencerna kata-kata istrinya.

Alisya menghela napas panjang, menggenggam tangan Rendi dengan erat. "Aku ingin kamu tahu, tak peduli apapun yang terjadi, aku selalu ada untukmu. Keberhasilanmu itu penting, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita menjalani perjalanan ini bersama, saling mendukung dan mencintai."

Rendi tersenyum, hatinya penuh rasa syukur. Alisya selalu tahu apa yang tepat untuk dikatakan, untuk menenangkan dan mengingatkan tentang apa yang benar-benar berarti.

Terpopuler

Comments

pembaca

pembaca

lanjut kan tuk menuju sukses

2025-05-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!