NovelToon NovelToon
Gadis Dari Utara

Gadis Dari Utara

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Romansa Fantasi / Fantasi Wanita / Pengawal / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:952
Nilai: 5
Nama Author: moonlightna

SEASON 1!

Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.

Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...

Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.

Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.

Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?

Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?

Happy reading 🌷🌷

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

DIAMBANG NAPAS

“Mereka…”

Suara berat itu keluar dari mulut George. Matanya membelalak saat melihat banyak orang asing yang tergeletak tak bernyawa, dan juga... empat tubuh muda, penuh luka, darah, dan kelelahan. Nafasnya tercekat.

“Petinggi, waspada!”

Salah satu prajurit pelacak memperingatkan. Kabut malam mengendap di permukaan tanah, dan dari balik pepohonan, bayangan-bayangan gelap mulai menyusup. Suku Umbra. Mereka mengepung, bagaikan pemburu haus darah yang mencium bau mangsa yang terluka.

George menatap sekeliling, dan matanya menangkap pria tadi yang ia temui, yang membuat tim pelacak hampir mati. kini tergelatak tak bernyawa, kepalanya berlumuran darah, tepat di kaki Pangeran Gerald. Pemuda itu berdiri dengan pedang meneteskan darah di tangan, sorot matanya kosong dan jiwanya remuk.

“Serang sekarang!” George meraung, mengangkat tombaknya tinggi. “Lindungi mereka! Jangan biarkan musuh mendekat!”

Pasukan pelacak menyerbu, memanah dan menebas dengan penuh amarah. Benturan senjata terdengar bertalu-talu, menebas sunyi malam.

“Ayah!?”

Jaden membuka matanya lemah, mendengar teriakan itu. Bibirnya pecah dan berdarah, tapi senyumnya muncul samar. “Akhirnya… Ayah datang…”

Tubuhnya masih terbaring, jiwanya perlahan kembali dari tepi kematian.

Gerald menjatuhkan pedangnya. Napasnya pendek, tubuhnya gemetar. Ia menunduk melihat tubuh pria yang ia kenal, mati di bawah kakinya.

Hiduplah dengan damai.... di dunia barumu.

Langkahnya gontai, menyeret tubuhnya sendiri, mendekat ke arah Daren yang masih tergeletak di tanah dingin. Ia jatuh berlutut di samping gadis itu, menggenggam tangan Daren yang dingin dan lemah.

Dia baru merasakan makanan yang layak... tidak mungkin dia berakhir seperti ini..

"Daren... "

Daren tidak menjawab, tapi kelopak matanya berkedut, menunjukkan ia masih hidup.

Sementara itu, Benson..meski tubuhnya penuh luka, ia merangkak ke semak-semak, memastikan burung kerajaan tetap aman.

“Syukurlah...” katanya pelan sambil menangkap sangkar burung itu dengan tangan berdarah. “Kita selamat…”

Malam semakin gelap. Namun dari kejauhan, tanda-tanda harapan mulai menyala di tengah kehancuran. Peperangan di hutan masih berkecamuk, tapi mereka yang nyaris jatuh kini telah ditemukan.

Dan harga yang harus dibayar… belum sepenuhnya dihitung.

Pasukan pengintai berhasil menebas habis sisa-sisa Umbra yang mencoba mendekati anak-anak. Tubuh gelap para penyerang itu tumbang berserakan di antara pepohonan hutan. Aroma darah, tanah basah, dan asap senjata memenuhi udara malam yang pekat.

George segera berlari, lututnya menghantam tanah ketika ia sampai di sisi Jaden. Napas putranya masih ada, lemah, tapi stabil.

“Ayah...” gumam Jaden, suaranya serak seperti pasir kering.

George menggenggam tangan anaknya erat. “Tenang... Kau masih hidup. Aku di sini,” ucapnya pelan, penuh rasa syukur dan luka yang tertahan.

Sementara itu, hanya berjarak beberapa langkah dari mereka, Gerald tergolek di samping tubuh Daren. Tangan pemuda putra mahkota itu menggenggam jemari kecil milik gadis pengawal yang telah menyelamatkan hidupnya lagi.

Air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Pipinya basah oleh campuran darah dan keputusasaan. “Daren… kita berhasil… ayo kita pulang...” bisiknya, suaranya patah-patah, seakan ingin meyakinkan Daren, atau mungkin dirinya sendiri.

Tapi Daren tak menjawab. Hanya nafas yang sangat pelan dan darah yang terus mengalir dari pelipisnya menandakan bahwa ia masih hidup... meski di ambang batasnya.

George menoleh dan memberi aba-aba cepat. “Evakuasi! Cepat!”

Pasukan pelacak sigap. Beberapa di antara mereka berlari menghampiri anak-anak, yang lain menyebar untuk mengamankan perimeter. Benson, yang nyaris pingsan namun masih menggenggam sang burung gagak, menyerahkan burung itu kepada seorang prajurit dengan bisikan, “Bawa dia ke Kaisar. Ini bukti... kita tak pulang sia-sia.”

“Apa dia masih bernapas?” tanya salah satu prajurit pengintai yang memeriksa Daren.

“Masih… tapi luka di kepalanya dalam. Kita harus buru-buru.”

Gerald masih menolak melepaskan tangan Daren. Pelacak yang mendekatinya berjongkok dan berkata, lembut, “Yang Mulia, kami akan membawanya. Kami janji, dia akan hidup.”

Gerald memandangnya… lalu mengangguk pelan, melepaskan tangan itu seolah menyerahkan seluruh hidupnya. “Jaga dia… tolong...”

Saat para pelacak mengangkat Daren, Jaden, dan Benson ke atas kuda, suara terompet panjang terdengar dari arah timur hutan... pertanda bala bantuan datang.

Dari kejauhan, cahaya obor membanjiri jalan gelap, dan sosok Kanel menunggang kuda paling depan dengan mata penuh kegelisahan. Di belakangnya, Permaisuri, mengenakan baju tempur penuh.

George mendongak dan menarik napas lega. “Akhirnya…”

Rombongan kerajaan yang baru saja datang segera turun dari kuda mereka. Langkah-langkah tergesa terdengar menghantam tanah berlumpur, saat para prajurit dan tabib menyebar untuk membantu evakuasi para korban. Obor-obor dinaikkan tinggi, menerangi wajah-wajah kelelahan yang terbaring di atas tanah yang berlumur darah.

Namun Kanel tetap di tempatnya. Tubuhnya membatu, kedua matanya membelalak, menatap horor yang terpampang di hadapannya... anak-anak muda, nyaris tak bernyawa, berlumuran luka dan darah.

Darah yang begitu banyak. Terlalu banyak.

“Kau… Daren…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.

Ia terhuyung satu langkah ke depan, lalu berhenti lagi. Hatinya terasa seperti diremas, hancur oleh ketakutan yang tak pernah ia izinkan muncul selama bertahun-tahun.

Sementara itu, Permaisuri tak langsung menyapa siapa pun. Pandangannya tertarik pada satu tubuh yang tergeletak dengan kepala yang terhantuk batu dan darah di sekitarnya. Seorang pria dewasa, pakaian lusuh tapi tubuhnya masih memancarkan aura kuat dan mengancam, bahkan dalam kematian.

Langkah Permaisuri mendekat, pelan tapi mantap. Cahaya obor menyorot wajah mayat itu... dan dunia di sekelilingnya seolah membeku.

Permaisuri tak berkedip. Bibirnya terbuka sedikit.

Varlen?

“Varlen…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat Kanel yang baru turun dari kudanya menghentikan langkahnya.

Suara itu menghantam dada Kanel lebih keras dari panah manapun.

“Apa yang kau katakan?” desisnya, berlari mendekat. Dan begitu ia melihat jasad itu, matanya membelalak.

Tubuhnya menegang, napasnya tercekat. Bukan karena kehilangan. Tapi karena… kemarahan lama yang membusuk tiba-tiba menyeruak kembali.

“Tidak mungkin…” Kanel berlutut perlahan di samping jenazah itu, jemarinya mengepal.

“Kenapa kau bisa berada di sini?” bisiknya, bukan pada Permaisuri, tapi pada mayat Varlen. “Apa kau ingin mati di dekat kami setelah semua yang kau lakukan? Setelah semua yang kau hancurkan?”

Permaisuri menatap adik iparnya dengan pandangan berat. “Dia...”

Kanel menoleh, tajam. “Dia layak mendapatkannya. Ini bukan tragedi. Ini harga yang pantas.” Napasnya memburu, dan suaranya meninggi, bergetar menahan amarah.

“Dan seharusnya… dia mati di tanganku!”

Namun, matanya berkaca-kaca meski suaranya dingin. Emosi bercampur baur. Luka lama terkuak. Kebencian dan darah keluarga berbaur di tanah yang sama.

Di belakang mereka, pasukan pelacak mulai mengevakuasi anak-anak.

Fyona datang tergesa bersama Karin, langkah mereka menimbulkan gemuruh di tanah hutan. Begitu melihat Daren tergeletak tak sadarkan diri, Fyona menjatuhkan diri di sampingnya.

“Darennnn!” jeritnya, mengguncang tubuh sahabat kecilnya dengan gemetar. “Bangun… kumohon, bangun….”

Air mata Fyona tumpah sejadi-jadinya, membasahi wajahnya yang penuh debu. Ia mendekap Daren erat, seolah bisa memindahkan nyawa lewat pelukannya.

Gerald masih duduk diam tak jauh dari mereka, tim evakuasi berada di sampingnya, membiarakan Gerald mencerna pikirannya terlebih dahulu.

Gerald menggenggam pedangnya yang berlumuran darah. Pandangannya kosong, menatap jasad Varlen yang terbujur di tanah.

Malam terasa semakin sunyi, tapi ketegangan di antara para pewaris istana itu… menggema seperti guntur yang tertahan di langit.

1
Hatus
Kasihan banget Daren, masih bayi tapi cobaan hidupnya berat banget😭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!