NovelToon NovelToon
Gadis Dari Utara

Gadis Dari Utara

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Cintapertama / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno / Era Kolonial
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: moonlightna

SEASON 1!!!

Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.

Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...

Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.

Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.

Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?

Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?

Happy reading Guyss🌷🌷🌷

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BERKUNJUNG

Di dalam kamar yang temaram, Gerald berdiri tegap dengan pakaian berkabung, jubah hitam berlapis beludru dan emas yang hanya dikenakan oleh keturunan utama. Cahaya pagi menyusup dari celah jendela, menyingkap bayang-bayang di dinding kamar adiknya.

Ia mengetuk pintu ringan lalu mendorongnya perlahan.

"Petrus," ucapnya tenang, namun tegas. "Apa kau sudah siap?"

Di balik meja rias, Petrus menoleh dengan mata yang menyimpan bara tertahan. Rambut hitamnya belum sepenuhnya tersisir, dan jubahnya masih tergantung di kursi. Wajahnya menyiratkan penolakan.

"Kenapa ajak aku? Kalian saja yang pergi. Bukankah aku cuma anak dari seorang selir?" jawabnya pedas, suaranya dingin, namun getir.

Gerald tidak menjawab. Ia hanya memandang adiknya dengan sorot tajam yang menusuk, lalu melangkah cepat dan menarik Petrus berdiri. Tangannya mencengkeram lengan Petrus erat, bukan dengan amarah, tapi dengan kepedihan yang dalam.

"Kau sangat egois," katanya dengan suara tertahan. "Ini bukan tentang asal usulmu. Ini tentang keluarga, dan yang mati juga paman kita."

"Aku bilang, aku tidak ingin pergi!" Petrus meronta, namun langkah Gerald lebih kuat. Ia menyeret Petrus keluar kamar, meski sang adik terus berontak.

Sementara itu, di pelataran istana, kereta kuda kerajaan telah siap. Kuda-kuda hitam ditambatkan dengan tali kain berkabung, dan lambang keluarga kerajaan tergantung di sisi kereta, dibalut warna kelabu.

Daren berdiri dengan diam, mengenakan pakaian hitam sederhana namun rapi. Wajahnya masih pucat, tapi sorot matanya menunjukkan bahwa ia telah siap. Di sisinya, Jaden dan Benson menunggu dengan tenang. Di sisi lain, Permaisuri berdiri anggun, membisu namun penuh kewibawaan.

Kaisar, mengenakan mantel hitam panjang dan mahkota ringan, menatap kejauhan dengan sorot mata yang tak terbaca. Ketika langkah kaki Gerald terdengar mendekat... dengan Petrus yang masih menahan diri, Kaisar berbalik.

Petrus menunduk, menolak menatap ayahnya.

Namun suara Kaisar memecah udara pagi, dalam dan mantap.

“Petrus, kau wajib ikut. Karena kau adalah anakku.”

Tak ada nada marah. Tak ada paksaan. Hanya kebenaran yang disampaikan seperti batu yang dijatuhkan ke danau.

Langit siang tampak suram. Kabut tipis menyelimuti jalanan berbatu menuju taman peristirahatan para bangsawan istana. Suasana hening menyelimuti rombongan kecil itu, tak satu pun dari mereka berbicara sejak meninggalkan gerbang istana.

Gerald berjalan di depan, didampingi oleh sang Kaisar dan Permaisuri. Di belakang mereka, Daren melangkah perlahan diapit oleh Jaden dan Benson. baju hitam sederhana membalut tubuh kecilnya, dan rambut peraknya diikat longgar oleh Fyona sebelum mereka berpisah tadi pagi.

Nisan Varlen berdiri di ujung barisan makam tua, di bawah pohon kenari besar yang mulai meranggas. Baru, mewah, tapi dingin. Di depannya terhampar karangan bunga putih yang disusun rapi oleh pelayan istana.

Kaisar menghentikan langkahnya, lalu menatap nisan itu dalam-dalam.

Permaisuri di sisinya menghela napas pelan, seolah menahan semua emosi yang tak bisa diucapkan.

“Varlen… meski apa yang kau lakukan tak termaafkan, darah kita tetap satu,” ucap Kaisar dengan suara berat. “Semoga arwahmu tenang. Semoga Tuhan membalas sesuai kehendak-Nya.”

Permaisuri menunduk dalam diam. Tangannya sedikit gemetar saat meletakkan setangkai bunga iris ke tanah di depan nisan. Matanya tampak sembab, namun tegar. Ia tidak menangis.

Giliran Gerald maju. Ia berlutut perlahan, menatap nisan itu tanpa kata-kata. Lama ia terdiam, sebelum akhirnya berkata pelan:

“Paman… aku tak tahu apakah ini semua berakhir dengan keadilan… atau hanya luka yang ditumpuk menjadi kenangan. Tapi aku disini..... untuk meminta maaf.”

Daren melangkah maju. Jemarinya yang kecil menggenggam bunga kering dari sakunya, bunga yang ia petik diam-diam pagi tadi.

Ia letakkan di sudut makam, lalu menatap nisan itu sejenak.

Ia menghela napas, matanya menunduk. Telapak tangannya menggenggam setangkai bunga putih yang kini diletakkan perlahan di atas tanah.

“Aku tidak mengenal siapa diri anda,” bisik Daren pelan, nyaris tak terdengar selain oleh angin yang menyapu daun-daun kering.

Matanya menatap lekat ke batu nisan itu, dingin, diam, dan abadi. Namun dalam keheningan itu, Daren merasa seolah ada jejak jiwa yang tetap menggantung, tertahan oleh ketidakselesaian takdir.

“Saya ingin meminta maaf,” lanjutnya, suaranya bergetar. “Jika saya menjadi bagian dari cerita buruk anda.”

Ia menelan ludah, lalu tersenyum lemah meski matanya berkaca-kaca.

"Saya berharap… kau bisa tenang di sana. Karena kita… sama-sama manusia."

Gerald yang berdiri beberapa langkah di belakangnya, terdiam. Ia tidak menyela. Tidak menasihati. Karena kata-kata Daren bukan sekadar ucapan belasungkawa, melainkan sebuah pengakuan, bahwa meskipun tak semua orang hidup dengan kehormatan, semua berhak untuk dikenang sebagai manusia.

Sementara itu... sedari tadi, Petrus hanya berdiri di belakang. Ia menyandarkan tubuhnya pada pilar batu, tangan terlipat di dada, wajahnya datar tanpa ekspresi. Angin pagi yang dingin tak mampu menembus sikap acuh yang sudah jadi kebiasaan baginya.

“Petrus,” suara Kaisar terdengar berat namun tenang, “kemarilah.”

Petrus tidak bergerak.

“Apa kau tak ingin mengirim pesan pada pamanmu?” tanya sang ayah.

Petrus mengangkat alis. “Aku? Aku tak mengenalnya,” sahutnya ringan, namun tajam.

Gerald yang berdiri di sisi makam, memejamkan matanya sejenak... menahan amarah yang perlahan mendidih. Ia menarik napas panjang, lalu membuka mata, menatap adiknya tanpa berkedip.

Ia melangkah cepat. Dalam sekejap, tangan Gerald mencengkeram kerah jubah adiknya, menyeret Petrus mendekat ke makam.

“Gerald!” tegur sang Permaisuri, namun Gerald tak menggubris.

Gerald menatap adiknya yang masih terpaku di depan makam. Udara dingin menyelubungi mereka, membawa keheningan yang terasa berat.

"Aku kakaknya, Permaisuri. Aku harus bisa merubahnya," ucap Gerald lirih, namun tegas, kepada sang Permaisuri yang berdiri tak jauh di belakang mereka.

Jaden dan Benson menunduk penuh hormat, lalu menatap nisan itu sebentar, tanpa berkata apa pun. Diam mereka seakan lebih lantang dari kata-kata.

Kaisar menoleh pada Gerald.

“Kita pergi duluan. Tetaplah di sini jika kau ingin.”

Gerald mengangguk. Kaisar dan Permaisuri pun melangkah menjauh bersama pengawal.

Hanya suara angin yang tersisa di antara mereka.

Semua telah kembali ke kereta kuda kerajaan. Permaisuri duduk diam dengan mata yang kosong, Kaisar menyandarkan tubuhnya pada sisi dalam kereta, dan para pengawal mulai bersiap untuk kembali ke istana.

Namun Gerald masih berdiri di hadapan nisan sang paman, teguh dan diam. Matanya menatap lekat nama yang tertulis di batu itu seolah mencoba memahami sesuatu yang lebih dari sekadar kematian.

Daren yang tadinya telah mengikuti Jaden dan Benson, perlahan menghentikan langkahnya. Ia menoleh, dan melihat punggung Gerald yang masih terpaku di antara bayang pohon dan kelabu langit.

Dengan langkah ringan, ia kembali menghampiri sang pangeran.

“Pangeran…” ucapnya tenang.

Gerald menoleh. Suaranya pelan, seakan terbawa angin. “Daren…”

Daren menghela napas pelan. “Sebaiknya kita kembali sekarang. Yang lain menunggu… dan, anda adalah Putra Mahkota. Terlalu lama di tempat terbuka seperti ini... bisa membahayakan.”

Ia tidak berani menyebutkan kata “penyusup” atau “pengkhianat”. Tapi Gerald mengerti maksudnya.

Gerald mengangguk pelan. Matanya masih mengambang pada nisan itu. Lalu, sebelum benar-benar membalikkan tubuhnya, ia berkata lirih:

“Maaf… sekali lagi….”

Daren menoleh perlahan, tak menjawab, namun wajahnya menyiratkan pemahaman.

“Dia pamanku…” lanjut Gerald, suaranya lebih lirih.

Daren membeku. Matanya membesar, dan tubuhnya terasa ringan seperti akan runtuh. Ia menoleh perlahan menatap wajah sang putra mahkota yang menatap nisan itu dengan pandangan yang jauh.

“P-paman…?” bisik Daren tak percaya.

Butuh beberapa detik sebelum kebenaran itu meresap sepenuhnya ke dalam pikirannya. Pria yang mereka bunuh… pria bertopeng yang menginjak kepala Gerald... yang hampir membunuh mereka semua, adalah adik kandung Kaisar?

“Jadi… yang kami kalahkan di hutan malam itu… adalah…” Daren tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

Gerald menoleh. Ia melihat Daren menunduk dalam dengan wajah pucat. Rasa bersalah, takut, dan gentar mengalir dari setiap helaan napasnya.

Namun Gerald tidak membiarkannya larut terlalu lama.

Ia melangkah maju, lalu menaruh tangan di pundak Daren dengan lembut namun kokoh.

“Dia memang pamanku,” kata Gerald lirih. “Tapi dia juga pengkhianat kerajaan. Dan orang yang hampir membunuhku… dan membunuh begitu banyak orang tak bersalah.”

Gerald menarik napas dalam.

“Dia memang pantas untuk tidak hidup lagi.”

Daren menggigit bibirnya, mencoba menahan sesuatu yang bergemuruh di dadanya. Perasaan lega dan perih bercampur aduk dalam tubuhnya yang baru pulih.

“Tapi…” suaranya nyaris seperti embusan angin.

Tetap saja… sangat kotor. Meskipun dia jahat… aku tetap… membunuh seseorang.

Gerald menggenggam pundaknya lebih erat. “Daren, dunia ini tak selalu hitam dan putih. Kadang, kita dipaksa memilih warna abu-abu.”

Mereka berdua terdiam di hadapan nisan yang sunyi.

Namun, diam-diam di kejauhan, bayangan seseorang menyelinap kembali. Matanya tajam seperti bayangan yang tak pernah mati.

Saat mereka kembali menatap nisan dalam keheningan, suara langkah kaki kuda terdengar pelan dari kejauhan. Bukan dari arah kereta mereka.

Daren menoleh, begitu pula Gerald.

Bayangan itu berhenti di kejauhan. Tak terlihat jelas, hanya siluet berjubah gelap.

Siapa orang itu?

Namun ketika mereka hendak bergerak, bayangan itu sudah menghilang.

1
Duchess
Woy Therando, ma gua aja dansanya😭😭
piuuu
sapa yg naro bawang disinii 😭🥺
Anonymous
gak nyangka Jaden bisa ngomong terbata-bata👀👀
Na_!na: manusia ka, sama-sama makan nasi☺☺
total 1 replies
__Taezhint
ceritanya keren+seru
__Taezhint
black or blonde?
piuuu
uda la pulang yu pulang 😭
piuuu
biasaa pahlawan datengnya akhirran
piuuu
smngtt kalian 🥺❤️
piuuu
resah bngt gua thorr 😭
piuuu
fyona 😭🫰
piuuu
😍😍
piuuu
petrus suruh resign aja thor 🙏
piuuu
gelisah bangt bacanya 😭😭😭
piuuu
petrus petantang petenteng bngt 😭🤏
piuuu
ampun dah si beston nyari burung doang repot nya kaya emak" 😭
piuuu
kanell 😍
piuuu
jenderal aldren moga hari mu senin trus 🤗
piuuu
petruss si paling sempurna. iya 🙄
piuuu
🥺🥺
piuuu
😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!