Sania pernah dihancurkan sampai titik terendah hidupnya oleh Irfan dan kekasihnya, Nadine. Bahkan ia harus merangkak dari kelamnya perceraian menuju titik cahaya selama 10 tahun lamanya. Sania tidak pernah berniat mengusik kehidupan mantan suaminya tersebut sampai suatu saat dia mendapat surat dari pengadilan yang menyatakan bahwa hak asuh putri semata wayangnya akan dialihkan ke pihak ayah.
Sania yang sudah tenang dengan kehidupannya kini, merasa geram dan berniat mengacaukan kehidupan keluarga mantan suaminya. Selama ini dia sudah cukup sabar dengan beberapa tindakan merugikan yang tidak bisa Sania tuntut karena Sania tidak punya uang. Kini, Sania sudah berbeda, dia sudah memiliki segalanya bahkan membeli hidup mantan suaminya sekalipun ia mampu.
Dibantu oleh kenalan, Sania menyusun rencana untuk mengacaukan balik rumah tangga suaminya, setidaknya Nadine bisa merasakan bagaimana rasanya hidup penuh teror.
Ketika pelaku berlagak jadi korban, cerita kehidupan ini semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pasangan Terkutuk
Jantung Sania seperti dicabut dari tubuhnya. Matanya memanas. Bibirnya bergetar.
"Jadi ... karena itu kamu cari perempuan lain?"
Irfan menggeleng, menatap Sania dengan sikap yang bahkan lebih dingin dari hujan di luar. “Nadine bisa mengerti aku, dia tidak banyak mengeluh dan menuntut. Dia tidak membebani aku dengan kata-kata yang menakutkan tentang masa depan seperti yang kamu lakukan selama ini. Setidaknya, dia anak orang terpandang, hidup kami pasti akan lebih baik jika kami bersama."
Sania mengangkat wajahnya yang penuh air mata. Ditangannya bahkan masih ada Mutiara yang berusaha tidur kembali.
"Aku membebanimu? Setelah semua yang kulakukan untukmu? Aku tinggalkan kerjaanku, rumah orang tuaku, hidupku ... demi jadi istrimu!"
Irfan mengangkat bahu. “Mungkin itu juga masalahnya. Entahlah, kamu kehilangan dirimu yang dulu, Nia. Kamu bukan lagi perempuan yang aku nikahi dulu. Kamu jadi nggak menyenangkan juga banyak menuntut, padahal kamu tau aku lelah bekerja seharian, tapi kamu masih bawel minta dibantu ini dan itu ketika aku sampai di rumah! Kamu nggak sadar kan kalau itu bikin capek aku?"
Sania merasa dunia runtuh tanpa perlu bom nuklir yang besar menghantamnya. Ia tak perlu jatuh untuk merasakan hancur dan mati. Irfan dianggapnya suami yang baik, ternyata ....
Namun, kehancuran Sania belum cukup hanya sampai di situ. Pagi pada keesokan harinya pukulan terakhir datang, bahkan ketika Sania tidak tidur dan menangis semalaman karena ucapan terang-terangan Irfan, Nadine datang ke rumah dengan tidak peduli dan percaya diri.
Dengan dandanan yang begitu menunjukkan betapa jomplang perbedaan mereka beserta senyuman sinis, Nadine berdiri di depan pintu dan berkata, “Aku ingin bicara baik-baik, sebagai sesama wanita. Em, woman support woman.”
Sania nyaris menamparnya, tapi yang ia lakukan adalah menggenggam pintu erat-erat.
"Aku minta maaf, tapi aku dan Irfan saling mencintai. Kami nggak bisa pura-pura jadi teman lagi ataupun sembunyi dari semua orang tentang hubungan ini."
Sania hanya diam membisu, hatinya hancur, tapi matanya menyimpan bara.
"Aku tahu kamu terluka, tapi kamu bisa mulai lagi dari awal. Masih muda, masih cantik ... kalau kamu tahu cara merawat diri." Nadine menatap penuh ejekan Sania dari posisinya berdiri.
Kalimat itu menghina seluruh luka yang Sania simpan. Lalu setelah itu, Irfan pergi begitu saja bersama Irfan tanpa dicegah sekalipun oleh Sania.
...
Sudah beberapa minggu berlalu sejak kejadian itu. Sania bertahan karena dia tidak tahu harus kemana jika memilih bercerai. Dia bukan wanita yang memiliki skil luar biasa. Ia hanya wanita berkemampuan pas-pasan, bagaimana dia menghidupi Mutiara nantinya dengan keadan begini? Ia hanya mengandalkan Irfan usai tidak lagi bekerja di pabrik konveksi karena melahirkan Mutiara.
Mutiara baru saja tidur karena efek obat ketika Sania tiba di rumah. Anak yang baru berusia dua tahun itu kemarin tubuhnya mendadak panas, dan Sania nyaris tidak tidur semalaman bahkan dini hari tadi Sania melarikan Mutiara ke UGD karena demamnya makin tinggi. Beruntung, Mutiara boleh pulang usai tidak ditemukan infeksi virus maupun bakteri dalam darahnya.
Ia baru saja meletakkan botol susu di dapur usai menidurkan Mutiara, ketika langkah kaki terdengar tergesa dari lantai atas. Irfan turun sambil membenarkan lengan kemejanya, wajahnya penuh kesal.
“Kenapa rumah ini berantakan terus sih, Sania? Apa susahnya sih beberes rumah?” bentak Irfan ketika kakinya terantuk mainan Mutiara yang masih berserakan.
Sania menahan napas, mengambil sapu dan keranjang usai merapikan rambut ala kadarnya. “Mutiara sakit. Aku belum sempat bersihkan semuanya.”
“Alasan terus, alasan terus,” maki Irfan. “Kalau kau sibuk ngurus anak, kenapa nggak panggil orang buat bantu-bantu? Atau memang kau sengaja biar aku makin muak?”
Sebelum Sania bisa membalas, suara lain muncul dari balik tangga.
"Aku bisa bantu bersihkan, kok, tapi sepertinya bukan itu yang jadi masalah di rumah ini."
Sania membeku. Nadine berjalan santai dari lantai atas, memakai kemeja Irfan yang kebesaran di tubuh mungilnya. Rambutnya basah, wajahnya segar seperti baru mandi.
“Dia ... dia kamu bawa pulang?” suara Sania bergetar. Matanya masih tak percaya pada apa yang dilihatnya. Semalam dia sendirian di rumah bahkan ke rumah sakit saja Sania harus menunggu taksi begitu lama. Jangan tanya Irfan kemana, pasti bersama wanita itu sampai pagi.
“Iya,” jawab Irfan tanpa ragu. “Dan dia akan tinggal disini mulai hari ini. Aku sudah pernah bilang kan, kalau aku nggak cinta lagi sama kamu? Artinya kita sudah sepakat cerai, kan? Jadi hal seperti ini sudah tidak bisa kita tutupi lagi."
Sania menggeleng pelan. “Kita belum bicarakan apa-apa. Aku bahkan—”
“Apalagi yang harus kita bicarakan, Nia ... semua udah jelas! Kau cuma numpang hidup di sini. Aku menampungmu sementara waktu sampai Nadine aku bawa ke sini. Sekarang, angkat kakimu dari sini selagi aku mengurus perceraian.” Irfan makin muak melihat air mata Sania. Wanita itu hanya bisa nangis dan mengeluh saja, batinnya.
“Aku ... dengan Mutiara?” bisik Sania getir.
Nadine tertawa kecil. “Tentu saja, kamu bawa anakmu pergi! Aku nggak mau ya repot ngurusin bayi penyakitan begitu. Apalagi kalau kau tinggal di sini, nanti aku yang disangka perebut suami orang, padahal kan kamu yang nggak becus jadi istri selama ini."
Air mata Sania tidak terbendung lagi saat dengan perasaan hancur berlutut di depan Irfan dan Nadine.
"Kumohon, biarkan aku tinggal disini sementara. Mutiara sedang sakit, aku nggak bisa bawa dia kemana-mana untuk saat ini."
"Nggak bisa, Nia—"
Ucapan Irfan terpotong oleh tangan Nadine yang memintanya diam.
"Oke, kamu boleh tinggal asal kamu tidak banyak bicara dan melakukan apapun yang aku dan Irfan minta! Nanti setelah kamu resmi cerai, kamu harus pergi dari sini, tidak peduli mau anak penyakitan itu hidup atau mati!"
Ketika Sania mengangguk setuju, Nadine tersenyum miring penuh kemenangan.
...
Beberapa minggu kemudian, Irfan benar-benar mengajukan gugatan cerai. Bukan karena Sania meminta, tapi karena dia ingin segera bebas dari pandangan buruk orang lain seakan dialah yang paling salah dalam perceraian ini. Ia muak hidup dengan Sania yang biasa saja tanpa ada lonjakan cinta diantara mereka.
Di pengadilan, Irfan tidak menatap mata Sania sama sekali. Dia hanya bicara singkat, duduk tenang di samping Nadine, yang dengan tanpa memiliki rasa malu sedikitpun hadir sebagai rekan kerja yang bersimpati pada masalah rumah tangga Irfan. Di ruang kecil tempat pernikahan mereka dulu disahkan, kini ikatan itu diakhiri.
"Saya sangat setuju dan merasa yakin hak asuh anak jatuh ke ibunya. Mutiara masih kecil, yang dia butuhkan adalah kasing sayang utuh dari ibunya." Kalimat singkat itu yang terakhir keluar dari bibir Irfan sebelum palu hakim menjatuhkan putusan.
Dengan tawa kecil dari Nadine dan sikap diam tapi mematikan dari Irfan, mereka berdua resmi bercerai.
Hari itu Sania berjalan pulang dengan mata kosong. Tak ada mobil yang menjemput. Tak ada tangan yang menggandengnya.
Tapi seakan semua itu belum lengkap, setibanya di rumah, koper kecil berisi pakaian dan kebutuhan Mutiara tergeletak di luar. Di dekatnya ada Nadine dan Irfan berdiri angkuh.
Ketika Sania mendekat, Nadine menendang koper itu hingga mengenai badan Sania.
"Kamu bukan istri Irfan lagi, jadi bawa pergi barang-barangmu! Sampah semacam itu mengganggu pemandangan kami."
Irfan lalu datang memeluk Nadine dari samping, mencium pipinya lembut.
"Ayo masuk, udara siang yang panas ini bisa merusak kulitmu."
Hati Sania hancur. Ia jatuh terduduk memunguti pakaian yang berserakan. Air matanya merembes keluar tanpa henti.
"Kalian berdua sungguh manusia terkutuk!"
tp gk apa2 sih kl mau cerai juga, Nadine pasti nyesek🤣
Sifat dasar Nadine suka menghancurkan. Bukan hanya benda, pernikahan orang lainpun dihancurkan.
Dan sekarang rumahtangganya mengalami prahara akibat ulahnya yang memuakkan.