Kejahatan paling menyakitkan bukan diciptakan dari niat jahat, tapi tumbuh dari niat baik yang dibelokkan.
Robert menciptakan formula MR-112 untuk menyembuhkan sel abnormal, berharap tak ada lagi ibu yang mati seperti ibunya karena kanker. Namun, niat mulia itu direnggut ketika MR-112 dibajak oleh organisasi gelap internasional di bawah sistem EVA (Elisabeth-Virtual-Authority). Keluarga, teman bahkan kekasihnya ikut terseret dalam pusaran konspirasi dan pengkhianatan. Saat Profesor Carlos disekap, Robert harus keluar dari bayang-bayang laboratorium dan menggandeng ayahnya, Mark, seorang pengacara, untuk melawan kekuatan yang jauh lebih besar dari dirinya. Misteri ini bukan sekadar soal formula. Ini tentang siapa yang bisa dipercaya saat kebenaran disamarkan oleh niat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmond Silalahi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Dalam Kabut
..."Kabut pengkhianatan yang baru saja mengepung mereka di tikungan maut belum sepenuhnya sirna, ketika bayang-bayang pengkhianat berikutnya mulai bergerak dari dalam. Diam-diam, tapi mematikan."...
...
Langit mendung menyelimuti lembah saat konvoi kendaraan Tim Sabhara mulai bergerak menuruni jalanan bukit menuju kota. Di dalam truk utama, Jenderal Rahman, Leonard Zheng, Albert, Elisabeth, dan Bagas duduk berjejer, tangan mereka diborgol dan kaki dibelenggu. Wajah mereka sebagian muram, sebagian lainnya tenang. Hanya satu yang tersenyum.
“Aku hampir merindukan aroma kota,” gumam Elisabeth, melirik ke jendela yang tertutup jeruji.
Roy yang duduk di depan bersama Denny dan Mark hanya menoleh sebentar, lalu kembali memperhatikan jalan. Di belakang mereka, Amanda sibuk memantau peta satelit di laptop kecil yang terus terhubung ke sistem pertahanan cyber mereka.
“Ada sesuatu dari tadi sore ...” gumam Amanda.
Mark melirik ke layar. “Apa itu?”
“Drone,” jawab Amanda cepat. “Kecil. Tidak seperti milik kita. Tapi terlalu cerdas untuk jadi mainan pemula.”
Denny langsung berdiri dari kursi belakang. “Kita dibuntuti?”
“Bukan cuma dibuntuti,” kata Amanda pelan. “Mereka memetakan jalur kita. Dan drone itu menyebar ke arah tikungan bukit.”
Roy mengetuk radio di pundaknya. “Semua unit, siaga. Matikan semua sinyal tak penting. Perhatikan langit. Meningkatkan kewaspadaan maksimal.”
Sersan Sabhara di depan langsung mengulang perintah. Suasana berubah tegang.
Di tengah ketegangan itu, Jenderal Rahman tertawa pendek. “Kalian kira anak buahku akan tinggal diam? Kalian benar-benar tidak paham bagaimana dunia ini bekerja.”
Mark menatap ke arah Rahman dari kaca spion. “Jangan terlalu percaya diri. Semua orang bisa jatuh.”
“Tapi tak semua orang bisa jatuh dengan harga mahal,” balas Rahman. “Dan aku sangat mahal.”
Lima menit kemudian, saat konvoi memasuki tikungan tajam di balik bukit berpepohonan lebat—suara ledakan tiba-tiba mengguncang jalanan. Granat asap dan granat kejut menghujani dari atas lereng.
Truk Sabhara utama terhantam keras dari samping. Dentuman logam dan jeritan ban mengisi udara. Kendaraan oleng dan terbalik menghantam semak-semak di tepi jalan.
Kekacauan pecah.
Teriakan perintah saling bersahutan. Para anggota Sabhara yang masih sadar berusaha mengamankan perimeter. Tapi di tengah kabut asap dan kilatan cahaya granat ... para tawanan mulai bergerak.
Dengan kecepatan dan kekompakan yang mengejutkan, Elisabeth menjatuhkan dua penjaga menggunakan sisa borgol yang sudah dilonggarkan entah bagaimana. Rahman memanfaatkan celah untuk melompat ke semak, sementara Leonard merayap menjauh di antara reruntuhan puing logistik.
Mark tersentak, mencoba bangkit dari posisi duduknya, namun terlalu terlambat.
“Amanda, kawal perimeter! Denny, kejar ke arah barat!” teriak Roy.
Samuel yang terhempas ke semak langsung menarik pistol dan menembakkan dua kali ke udara, memberi sinyal untuk pasukan cadangan.
“Albert kabur ke kanan!” teriak seorang anggota Sabhara.
“Tangkap dia hidup-hidup!” bentak Roy sambil berlari.
Denny berhasil menjatuhkan Bagas dengan satu pukulan keras ke rahang. Albert yang mencoba melarikan diri tersandung dan langsung diborgol ulang oleh Roy sendiri. Namun...
“Leonard dan Rahman lari ke sisi hutan!” teriak Amanda dari atas batu. “Dan Elisabeth ikut dengan mereka!”
Mark mengejar ke sisi bukit kecil, namun di tengah kabut, satu peluru menghantam bahunya.
DOR!
Mark jatuh, menabrak semak dengan suara tertahan.
“OM MARK!!” Amanda berteriak.
Denny segera berbalik. Ia mendapati Mark tergeletak, darah mengalir dari punggungnya.
“Sial! Rompinya dilepas waktu naik truk tadi!” seru Denny panik.
Roy berlutut, membuka jaket Mark dan menekan luka. “Kita harus bawa dia keluar! Sekarang!”
Samuel mendekat, menahan dada Mark yang naik-turun tak beraturan. Amanda segera membuka tas medis darurat.
“Ini peluru tajam ... tapi belum menembus tulang. Kita bisa selamatkan dia,” ujar Amanda dengan suara tercekat.
“Kita bawa dia ke rumah sakit dekat sini!” tegas Roy. “Sekarang!”
Sementara Sabhara yang tersisa mengamankan jalur, Roy dan Denny menggotong Mark ke dalam mobil taktis. Amanda duduk di belakang, menahan luka dengan perban dan infus darurat. Mobil itu melaju menerobos kabut, meninggalkan lokasi penyergapan yang porak-poranda.
Satu jam kemudian, di ruang tunggu rumah sakit kecil di kota pinggiran, Amanda menghubungi Laboratorium Desa.
Di layar komunikasi, muncul wajah Robert, dengan Misel, Jesika, dan Profesor Carlos berdiri di belakangnya.
Amanda langsung berkata, “Robert ... Ayahmu tertembak. Tapi kami sudah bawa ke rumah sakit. Dia sadar ... tapi kondisinya lemah.”
Wajah Robert menegang. “Di mana dia sekarang?”
“Unit ICU. Roy dan tim medis sedang berjaga. Kami pastikan dia aman.”
Misel menutup mulutnya. Jesika memegang tangan Robert.
Profesor Carlos bertanya pelan, “Bagaimana dengan para tahanan?”
Amanda menunduk sejenak sebelum menjawab. “Albert dan Bagas berhasil ditangkap kembali. Tapi ... Dr. Leonard, Jenderal Rahman, dan Elisabeth ... berhasil kabur.”
Kamar di Laboratorium Desa itu mendadak sunyi.
Robert mengepalkan tangan, matanya berkaca-kaca.
“Kita belum menang ...” bisiknya.
Profesor Carlos meletakkan tangannya di bahu Robert. “Tapi kita belum kalah. Selama kita masih hidup, kita bisa lawan mereka kembali.”
Dan di kejauhan, di dalam bayang-bayang hutan dan jaringan bawah tanah yang belum terjamah, tiga sosok kembali ke permainan yang lebih gelap dan mematikan.
Perang ini belum selesai. Tapi kini, luka sudah tertoreh. Dan dendam, mulai berakar.
***
Pagi belum sepenuhnya menyapa, ketika Robert, Misel, dan Profesor Carlos tiba di rumah sakit kecil di pinggiran kota. Wajah mereka tegang, langkah mereka cepat menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang perawatan intensif.
Amanda menyambut mereka di depan ruang ICU, matanya tampak sembab karena kurang tidur.
“Bagaimana kondisinya?” tanya Robert segera.
Amanda menarik napas. “Stabil. Tapi peluru mengenai otot punggung bagian atas. Untungnya tidak menembus tulang belakang.”
Misel menggenggam tangan Robert erat. “Boleh kami lihat?”
Amanda mengangguk pelan. “Hanya sebentar.”
Mereka bertiga masuk perlahan. Di balik tirai putih dan alat monitor yang berdering pelan, Mark terbaring dengan selang infus di tangan. Wajahnya pucat, namun matanya terbuka, menatap putranya.
Robert mendekat dan duduk di sampingnya. “Ayah ...”
Mark tersenyum tipis. “Aku masih hidup ... jadi jangan buatkan nisan dulu.”
Profesor Carlos tertawa kecil, namun matanya tetap berkaca-kaca. “Kau selalu dramatis, Mark.”
Mark menoleh pelan. “Elisabeth?”
Robert menggeleng. “Kabur. Leonard dan Rahman juga.”
Mark menghela napas dalam. “Mereka tidak akan berhenti ... Kita harus selesaikan ini, Robert. Kau yang harus memimpin sekarang.”
Robert menggenggam tangan ayahnya. “Kita belum kalah. Aku janji ... kami akan teruskan.”
Sementara itu, di Laboratorium Desa, Jesika sedang duduk di luar bersama para ilmuwan yang tengah menikmati udara pagi yang sejuk. Mereka duduk di bangku panjang, menyeruput teh dan kopi sambil membicarakan hasil eksperimen terakhir.
Di antara obrolan itu, tak seorang pun menyadari bahwa Jerry tak tampak sejak subuh.
Di dalam ruang komputer, Jerry berdiri diam menatap layar utama yang memperlihatkan data MR-112. Tangan kirinya menggenggam flashdisk hitam, sementara tangan kanan mengetik cepat di terminal.
“Password valid ...” gumamnya pelan.
Ia menekan tombol terakhir.
[DOWNLOAD COMPLETE – MR-112_A.FORM]
Jerry menatap bilah kemajuan yang kini berubah menjadi hijau, lalu mencabut flashdisk itu dan menyelipkannya ke dalam sepatu cadangan yang ia simpan di laci kecil.
Beberapa menit kemudian, suara-suara langkah kaki mulai terdengar dari koridor. Dengan cepat, Jerry menutup semua jendela file, merapikan meja, dan bersikap seolah ia baru saja membaca catatan eksperimen.
Jesika masuk sambil tertawa kecil bersama dua ilmuwan muda. “Eh, Jerry ... kau sudah di sini dari tadi?”
Jerry menoleh santai. “Iya, cuma mau lihat sistem tetap berjalan. Kebiasaan paranoid, mungkin.”
Jesika mengangguk. “Bagus. Tapi jangan kerja sendirian terus. Ayo keluar, kami mau bikin sarapan bersama.”
Jerry tersenyum lebar. “Sebentar lagi aku menyusul.”
Mereka keluar lagi, meninggalkan Jerry yang matanya tajam menatap pintu.
Sebentar lagi ... aku harus keluar dari tempat ini.
Dua jam kemudian, Jesika menyadari sesuatu. Sudah lama Jerry tidak kelihatan sejak mereka masuk kembali ke laboratorium.
“Eh, kalian lihat Jerry?” tanya Jesika pada seorang teknisi.
“Terakhir lihat dia di ruang komputer,” jawabnya. “Tapi sekarang kosong.”
Jesika melangkah cepat ke kamar yang digunakan Jerry selama di Laboratorium. Pintu tidak terkunci. Suasana hening.
Ia menoleh ke lemari dan membukanya.
Pakaian Jerry masih tergantung di dalam.
Alis Jesika mengernyit. “Kalau dia kabur ... kenapa bajunya masih di sini?”
Matanya lalu tertuju pada sebuah jam Apple Watch yang tergeletak di atas tempat tidur. Jam itu menyala pelan. Ia mendekat, lalu menyentuh layar.
Notifikasi terakhir:
Pesan masuk dari: +62XXXXXXXX
“Ambil file MR-112 hari ini. Gunakan flashdisk. Jangan tinggalkan jejak.”
Jesika terdiam.
Tangannya gemetar saat mencoba menghubungi nomor itu dari tablet komunikator.
Nomor tidak aktif.
Ia memandangi jam itu lama.
“Jerry ... siapa kau sebenarnya?”
Dan di luar sana, seseorang membawa file terpenting di dunia meninggalkan pertanyaan yang jauh lebih besar dari dugaan siapa pun.
,, biasany org2 yg menciptakan formula/ obat itu untuk menyembuhkan seseorg yg dia sayang