Tidak pernah menyangka pernikahan ketiga Naya Aurelia (32th) mendapatkan ujian yang penuh dramatis.
Ia dihadapkan dengan pilihan yang sulit antara memilih suami atau anak kandungnya.
Berawal dari suaminya Juan Bagaskara (27th) yang tidak mau menerima Shaka sebagai anak sambungnya sehingga Naya dengan terpaksa harus berpisah dengan putri kesayangannya. Ia menitipkan Shaka pada bi Irah asisten rumah tangganya yang diberhentikan dari rumah tersebut.
Bertahun-tahun Naya tersiksa batinnya karena ulah suami yang usianya lebih muda darinya. Apalagi suaminya pun memiliki pekerjaan di luar dugaannya yang membuatnya sangat terpukul. Pekerjaan apa kira-kira?
Disisi lain ia sangat ingin kembali hidup bersama anaknya. "Nak, izinkan mama kembali meraih cintamu..." ucap Naya lirih.
Akankah kebahagiaan berpihak pada hidup Naya selanjutnya?
Ikuti kisahnya!💕
Follow author ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 Permintaan Shaka
Anas, papanya Arisa memegang dagu Arisa dengan tenang, namun di balik ketenangan sikapnya terdapat sebuah ultimatum yang tidak bisa diabaikan. Matanya menatap lekat sang putri bungsu yang sudah lama tidak berbuat ulah kini bermasalah lagi.
"Mengapa tidak dari awal kau jujur, Ris? Kamukan tahu Papa benci dengan orang yang bohong. Siapa pun dia! Kalau ketahuan anak papa ada yang berbohong, papa tidak segan-segan memberinya hukuman. Buat apa? Agar anak papa jera. Bahwa kejujuran adalah modal awal ketenangan dalam hidup ini. Papa benar-benar kecewa sama kamu Arisa. Papa pikir kamu sudah jera dengan apa yang sudah kamu lakukan dahulu, tapi ternyata..." ujarnya mengingatkan.
Anas menghela nafasnya dengan berat, raut wajah kecewa jelas tergambar di sana, nasehat yang sering ia berikan di setiap obrolan merasa tidak diindahkan oleh anaknya.
"Pa...Pa...to..long maafkan Risa. Risa melakukan ini karena terpaksa. Tolong jangan beri hukuman yang sama seperti dulu. Risa tidak kuat Papa. Sakit," ucapnya lirih.
Risa masih mengingat saat papanya mencambuk punggungnya karena ketahuan mencuri mangga tetangga. Itu terjadi saat Risa masih SMP. Risa sebenarnya menyadari kalau itu murni kesalahannya sampai papa merasa sudah dipermalukan oleh anaknya sendiri karena sudah ketahuan mencuri.
Juan yang masih berdiri di dekat Risa hanya diam membisu. Amarahnya mendadak hilang ketika Papanya mengambil alih perannya. Namun ia pun merasa khawatir kebohongan pada keluarganya tentang Naya dan anaknya terbongkar. Entah apa yang akan papanya lakukan jika itu terjadi.
"Sebelum hal itu terjadi, aku harus melakukan sesuatu," gumamnya dalam hati.
Juan melirik Papanya yang masih berbicara dengan adiknya.
"Tidak, papa tidak akan memberikan hukuman yang sama seperti dulu lagi. Kapok," ucapnya pelan tapi membuat Arisa sedikit lega.
"Mana hapemu?"
Risa mendongak menatap papanya dengan bingung. Ia menyerahkan ponsel tersebut dengan ragu.
"Papa sita hape ini sampai kamu berubah menjadi orang baik!" Anas memegang ponselnya ke atas.
"Tapi Pa. Masa depan aku ada di hape itu," protes Risa. Yang sudah menganggap ponselnya adalah bagian terpenting dalam hidupnya.
"Kalau dia jodoh kamu, dia pasti datang menjemputmu," kata Anas seolah tahu isi hati Risa.
Anas menyimpan ponsel milik anaknya tersebut ke dalam saku celananya.
"Mana dompetmu?"
"Buat apa Pa?"
"Keluarkan dompetmu!"
Arisa mengeluarkan dompetnya dengan wajah bingung lalu menyerahkannya dengan hati yang was-was.
Anas mengeluarkan kartu debit, kartu kredit dan ATM dari dompet Risa. Ia tidak mau anaknya masih menggunakan kartu-kartu tersebut untuk kebutuhan yang tidak penting.
"Papa akan kembalian semuanya jika hukuman kamu sudah dilaksanakan. Sekarang siap-siap kita pulang! Papa tunggu di sini,"
Wajah Arisa memerah menahan tangis. Ia tidak bisa berontak manakala papanya sudah bertindak Papanya tidak pernah main-main dalam memberi keputusan. Ia berlari menuju kamarnya di lantai 3.
Juan mendekati Papanya yang sedang mengecek isi dompet putrinya.
"Pa..apa hukumannya tidak terlalu berat?" tanya Juan hati-hati.
"Kau pikir gimana?"
"Ya tidak usah disita semua lah Pa! Sisakan buat Risa jajan. Risa bukan anak kecil lagi Pa!"
"Tuh kamu tahu kalau Risa bukan anak kecil lagi. Dia seharusnya bisa hemat tidak jajan terus. Kenapa Papa sita kartu kreditnya? Karena setiap bulannya banyak tagihan atas nama Risa untuk belanja yang tidak penting. Sudah saatnya Papa membuat dia jera atas kelakuannya selama ini, paham!"
Juan hanya diam. Papanya memang tegas dalam mengambil keputusan.
"Papa harap kamu pun jangan pernah mengecewakan Papa. Karena kamu akan tahu akibatnya. Kelola bisnis perusahaan Papa dengan jujur! Biar berkah!" pesan Anas.
"Iya Pa."
Tak lama kemudian Ratih datang dengan membawa koper. Terlihat Arisa pun ada di sana dengan wajah ditekuk.
"Padahal anak-anakku pada betah di sini, menikmati liburan. Ini gara-gara kamu Risa jadi pulang lebih awal," ujar Melina berdecak kesal.
"Sudah-sudah. Lagian kamu juga harus pulang, suamimu harus diurus. Perasaan kalian tinggal di sini malah terlena dengan kemewahan yang Juan miliki,"
Anas memang benar selama tinggal di rumah Juan, mereka hanya tinggal makan, tidur tanpa melakukan apa pun karena semua pekerjaan sudah dikerjakan asisten rumah tangganya.
"Ingat pesan Papa, Juan. Dan satu lagi sayangi istrimu, jangan biarkan istrimu menangis. Bahagiakan dia. Jadikan dia ratu di dalam rumahmu!" pesan Anas sungguh bijak.
Kalau saja ucapan mertuanya itu dilakukan oleh suaminya, Naya akan sangat bahagia. Kebahagiaan Naya hanya ingin Juan menerima Shaka sebagai anak sambungnya, bukan menelantarkan atau bahkan berniat memisahkan Shaka dengannya.
"Iya Papa sayang. Naya selalu bahagia berada di dekatku, iyakan sayang?" Juan merangkul Naya yang ada di sampingnya.
Naya tersenyum tipis. Ingin rasanya ia mengadu pada mertuanya, namun tidak mudah untuk dilakukan seolah perkataan Juan selalu menekannya agar tidak pernah membongkar rahasia yang sudah disepakati bersama.
Naya hanya menatap nanar mobil yang membawa keluarga suaminya. Rasa sepi di rumah mewahnya menerpa relung hati.
"Naya,"
Naya menoleh saat suaminya memanggil.
"Ada yang mau aku bicarakan. Kita ke kamar saja,"
"Kenapa tidak di sini saja sih Mas?" protes Naya kesal.
"Ini masalah penting. Orang lain tidak boleh ada yang tahu pembicaraan kita, paham!"
Naya mengeryitkan keningnya. Ia menatap heran suaminya. Selain dia dan suaminya, di rumahnya hanya ada bi Irah dan Shaka. Itu pun mereka ada di lantai 2. Naya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tolong siapkan air hangat dulu buat mandi. Badan terasa gerah dan lengket hampir seharian mencari keadilan buat si Risa. Ga tahunya mengecewakan,"
"Iya Mas." Naya tidak banyak bicara. Ia langsung menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.
Tidak lama kemudian Naya keluar dari kamar mandi, "Sudah siap Mas."
"Terima kasih cantik," ujar Juan menoel hidungnya Naya yang mancung.
Naya hanya tersenyum tipis. Setelah menyiapkan baju ganti buat suaminya, Naya secepatnya keluar kamar untuk bertemu dengan Shaka. Ia tidak ingin melewati kesempatan baik ini. Baginya waktu luang ini tidak bisa ia lewati begitu saja.
Naya membuka pintu kamar Shaka lalu menutupnya kembali dengan pelan. Terlihat Shaka menyambutnya dengan baik.
"Shaka sayang," Naya langsung memeluk Shaka yang terdiam manakala mendapat pelukan darinya.
"Maafkan Mama sayang. Mama janji tidak akan menjauh darimu lagi. Mama akan berbicara dengan Papi agar kau tetap ada di dekat Mama,"
"Mama tidak usah janji. Karena janji itu berat, harus ditepati. Mama jangan mempersulit diri Mama sendiri. Kalau memang Shaka ditakdirkan untuk tetap tinggal di sini Alhamdulillah. Tapi kalau tidak, Shaka tidak mau berharap. Semoga Mama dan papi segera diberi keturunan yang baru. Pengganti Shaka,"
Ucapan Shaka bagaikan hantaman batu karang yang menyentuh hatinya yang paling dalam. Naya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengeluarkan air mata.
"Jangan menangis Mama. Air mata Mama tidak ada gunanya di hadapan Papi. Jadilah istri yang baik buat Papi. Satu permintaan Shaka..."
"Apa sayang?" tanyanya dengan suara parau, membiarkan air matanya terus mengalir.
"Shaka ingin kembali pada papa Dikara..."
Duarrrr