Setelah sepuluh tahun menjanda setelah pernikahan kedua, Ratna dihadapkan oleh perilaku tak terduga dari anak tiri yang ia rawat. Setelah menikah dengan Dirli, Amora mengusir Ratna dari rumah peninggalan ayahnya (suami Ratna).
Suatu hari, ia bertemu dengan seorang pria tua memakai jaket ojek online. Pria bernama Robin itu melihat ketulusan Ratna yang menolong orang yang tak dikenal. Dengan lantang ia mengajak Ratna menikah.
Dalam pernikahan ketiga ini, ia baru sadar, banyak hal yang dirahasiakan oleh suami barunya, yang mengaku sebagai tukang ojek ini.
Rahasia apakah yang disembunyikan Robin? Apakah dalam Pernikahan yang Ketiga dalam usia lanjut ini, rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada konflik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Akibat Ulah Istri
Suara Amora terdengar malas dari seberang, “Masalah apa lagi, sih? Kenapa baru nelpon malah marah-marah?”
"Jangan berkilah lagi. Gara-gara kau keluyuran tadi, aku jadi terlambat, aku kena marah oleh atasan! Harusnya kau tak perlu singgah ke warung ibu tirimu!" bentak Dirli membuat Amora menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Kok aku yang salah? Aku kan cuma sebentar di sana. Lagian, aku penasaran kenapa di sana jadi seramai itu?"
“Tutup mulutmu! Warung ibu tirimu itu sedang dibina perusahaan kami untuk menjadi mitra CSR! Dan tahu nggak siapa yang marah? Atasanku langsung! Atau mungkin ini perintah Dirut."
Amora terdiam sejenak. “Apa maksudmu Mas, Ada apa dengan Direktur Utama R.H.Group?”
“Sudah, jangan banyak tanya! Pokoknya kamu harus minta maaf ke dia, sekarang juga! Hari ini! Langsung! Kalau perlu cium kaki dia sekalian!”
“Mas, kamu gila?! Aku nggak mau—”
“Kalau kamu nggak mau, aku bisa kehilangan jabatan, Amora! Gajiku bisa dipotong! Reputasiku hancur! Kamu pikir, aku bisa membiayai kehidupan kita jika aku turun pangkat menjadi staf pembantu? Itu tak lebih sebagai stafd OB!”
Hening di seberang. Napas Amora mulai berat.
“Mas, jangan lebay begitu? Masa iya, cuma begitu aja—”
“Cuma?! Cuma bikin malu aku di depan perusahaan, maksudmu?"
Lalu, Dirli hening mencoba menurunkan darah yang telah terasa di ubun-ubunnya. Sementara itu, di seberang panggilan Amora terlihat marah dan tak sudi untuk mencium kaki, wanita yang telah ia hina setiap hari.
"Besok kamu ikut aku ke warung itu, kamu bawa kue atau apalah, terus kamu minta maaf. Di depan dia. Kalau nggak mau, aku anggap kamu yang sengaja mau bikin aku dipecat!”
Terdengar suara barang dibanting oleh Amora di seberang.
“Dan satu lagi!” Dirli menambahkan cepat, “Hukuman itu belum cukup. Aku juga harus traktir para ojol buat makan di situ. Selama tiga hari menggunakan uang pribadiku! Kamu pikir, aku senang mengeluarkan uang buat dia?!”
“Mas, nggak bisa! Ini sungguh nggak adil. Masa gara-gara kejadian tadi pagi membuat kita rugi sebesar ini?"
"Ini semua karena ulahmu! Harusnya saat di luar, kau harus menjaga mulutmu. Jangan jadi istri b*doh begitu!"
"Mas, berhentilah mengh*na ku. Aku ini istrimu," isaknya mulai sesegukan.
“Apa? Masih bilang 'istri'? Kamu itu istri pe'a yang bikin aku hampir hancur!” desis Dirli. “Jadi tolong, kali ini, jangan bikin aku tambah muak!”
Klik.
Dirli memutus telepon tanpa menunggu jawaban dari istrinya di seberang panggilan.
Ia menghela napas berat, lalu bersandar di jok mobil sambil memejamkan mata. Hatinya sungguh bergemuruh seakan dunia bersiap runtuh.
"Ah, sial!"
.
.
Beberapa waktu kemudian, Dirli turun dari mobil dengan langkah tenang dan senyum hangat yang sudah dilatihnya beberapa kali. Ia melangkah mendekati para driver ojek daring yang sedang menunggu orderan di pinggir jalan.
“Hei, teman-teman. Sepertinya kalian terlihat capek, ya?" sapa Dirli memasang wajah seramah mungkin. Karena ini adalah keahliannya bekerja di bidang marketing.
"Iya nih, Bang. Makin hari orderan semakin terasa sepi. Jadi, ya ini kami udah nongkrong sejak pagi, tapi orderan baru satu atau dua yang dapat," curhat salah satu driver.
"Wah, yang sabar ya Abang-Abang. Saya sangat mengerti bagaimana perasaan kalian di masa ekonomi yang makin sulit ini. Oleh karena itu, saya ingin memberi kalian orderan non online. Bisa bang?"
Wajah sang driver tampak cukup bersinar. "Kami semua mau dikasi orderan bang?"
"Iya, satu, du, tiga, empat, lima ... Abang-abang di sini, nanti boleh memesan apa pun makanan dan minuman di warung kopi itu!" Dirli menunjuk warung kopi milik ibu tiri istrinya.
"Maksudnya? Ini kami order, terus bayarannya?"
Dirli mengeluarkan uang di kantong celana di belakangnya. Lalu mengeluarkan uang nominal lima puluh ribu diberikan pada masing-masing driver.
"Ah, sial! Kalau tidak terpaksa—"