Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.
Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.
“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”
Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.
Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?
Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.
Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ibu dan anak perempuan nya
Esok harinya, butik milik Bu Ratna tampak tak seperti biasanya. Tirai setengah tertutup. Lampu dimatikan. Papan bertuliskan "Tutup Sementara" tergantung lesu di balik kaca jendela, seolah turut merunduk dalam duka yang belum reda.
Hari itu, tak ada desain baru, tak ada suara mesin jahit berdengung. Hanya ada ruang kosong yang sedang dipersiapkan: untuk menerima luka pulang ke pangkuan.
Dari balik kaca, Bu Ratna melihat sesosok perempuan berhenti di depan pagar. Ia turun dari ojek online, langkahnya gontai. Wajahnya pucat, mata sembab. Tapi bukan itu yang paling membuat hati Ibu Ratna runtuh.
Yang paling menyayat adalah: Alisya datang tanpa Rasya.
Tak satu pun dari keduanya menanyakan di mana anak itu. Tapi diam mereka cukup berkata: ada yang sedang patah, ada yang sedang menjauh.
“Assalamu’alaikum, Bu…” suara lirih itu pecah begitu pintu dibuka.
“Wa’alaikumsalam, Nak…” jawab Bu Ratna, langsung memeluk putrinya, memeluk seluruh luka yang ikut pulang bersamanya.
Pelukan itu bukan pelukan sambutan. Tapi pelukan penguat. Pelukan dari seorang ibu yang tahu: anaknya tidak baik-baik saja.
Tangis pun pecah tanpa aba-aba. Alisya merosot ke pelukan ibunya, dan Bu Ratna memeluknya lebih erat. Tak ada kalimat panjang, hanya hembusan napas yang saling menguatkan. Air mata keduanya luruh, membasahi bahu dan dada yang saling bertautan.
Bu Ratna membawa putrinya duduk di kursi rotan tua di sudut butik. Tapi tak satu pun dari mereka melepaskan pelukan. Seolah jika dilepas, luka itu akan tumpah dan tak bisa ditampung oleh siapa pun.
“Bu…” Alisya akhirnya bicara. Suaranya pecah. “Aku terluka... Apa yang harus Lisya lakukan?”
Tangisnya makin keras. Dada yang ia tahan selama berhari-hari akhirnya jebol juga.
“Aku bingung, Bu... Aku... aku nggak ngerti salahku apa…”
Bu Ratna tak menjawab. Ia hanya mengusap kepala putrinya yang dibalut kerudung—kerudung yang kini basah oleh air mata.
“Kamu nggak salah, Sayang...” bisik Ibu lirih. “Kadang hidup bukan soal benar atau salah. Tapi tentang orang-orang yang tak bisa menjaga kepercayaan kita.”
Alisya menggenggam tangan ibunya, erat. “Aku takut, Bu... Takut Rasya tumbuh dengan luka yang sama. Takut aku nggak kuat…”
Bu Ratna menarik napas dalam-dalam, lalu menunduk menyentuhkan dahinya ke dahi anaknya. “Rasya akan baik-baik saja... selama kamu tetap jadi pelindungnya. Kamu boleh jatuh, Nak. Tapi jangan biarkan anakmu ikut terjatuh. Karena kamu adalah tembok terakhirnya.”
Alisya menangis lagi. Tapi kali ini dalam diam. Tangis yang tak lagi meledak, tapi justru lebih menyakitkan karena tertahan.
Di luar, langit mulai mendung. Angin pagi menuju siang membawa aroma tanah yang sebentar lagi hujan. Dan di dalam butik yang senyap itu, seorang ibu kembali menjadi pelabuhan untuk anak perempuan yang hatinya patah, tapi tak bisa sembunyi selamanya.
...****************...
Setelah beberapa saat hanya hening dan detak jam yang berbicara, Bu Ratna menghela napas panjang. Tatapannya menerawang ke dinding, seolah sedang menembus waktu ke masa yang jauh.
“Lisya…” bisiknya, “Ibu pernah bilang soal perempuan yang dibawa ayahmu pulang dulu, kan?”
Alisya mengangguk pelan. Luka lama itu memang masih tersimpan rapi, meski jarang dibuka.
“Tapi kamu belum tahu semuanya…” lanjut Bu Ratna. “Yang belum Ibu ceritakan adalah — bagaimana Ibu menjahit ulang hidup yang robek setelah ayahmu benar-benar pergi.”
Alisya menoleh. Tangisnya mulai reda, tapi matanya tetap sembab, hatinya masih gamang.
“Waktu itu kamu baru kelas dua SD. Ayahmu memutuskan pergi — tanpa kata perpisahan, tanpa pesan. Seperti membalik halaman dan melupakan bahwa pernah ada cerita di baliknya. Dan Ibu... Ibu harus bertahan.”
Suara Bu Ratna melembut, hampir bergetar. “Ibu jual baju, jahit dari rumah, antar-jemput kamu sendiri. Kalau kamu tidur, Ibu nangis diam-diam. Kalau kamu sakit, Ibu pinjam uang ke teman. Tapi Ibu nggak pernah berhenti. Karena di wajahmu, Ibu lihat alasan kenapa Ibu harus kuat.”
Alisya mengatupkan bibir. Ada air mata baru yang menggenang.
“Ibu nggak cerita ini untuk membuatmu merasa kasihan,” lanjutnya. “Tapi agar kamu tahu... bahwa perempuan memang bisa patah, tapi bukan untuk selamanya.”
Lalu ia menggenggam tangan putrinya.
“Kamu boleh menangis, Nak. Boleh jatuh, marah, kecewa, bahkan merasa ingin hilang sejenak dari semua ini.”
Suara Bu Ratna mulai parau. “Tapi setelah itu, berdirilah lagi. Bukan demi siapa-siapa… tapi demi dirimu sendiri. Dan demi Rasya yang butuh kamu lebih dari siapa pun.”
Alisya menggigit bibirnya. Tangis yang tadi mereda kembali pecah. Namun ia tak lagi bicara. Ia hanya memeluk ibunya—erat, seperti anak kecil yang akhirnya tahu: bahwa dirinya tak sendirian.
Beberapa saat kemudian, Bu Ratna menatap mata putrinya, lalu menyampaikan pesan yang ia simpan paling dalam.
“Kalau laki-laki itu memang ditakdirkan untukmu, Lisya… maka lewat jalan apa pun, Tuhan akan memulangkan dia padamu. Tak peduli berapa jauh dia pergi. Tapi kalau tidak… maka sekuat apa pun kamu bertahan, dia tetap akan menjadi orang yang hanya numpang singgah.”
Alisya terisak.
“Untuk sekarang…” lanjut Bu Ratna, mengusap kepala putrinya, “menangislah. Sampai rasa sakitnya sedikit reda. Karena tidak ada luka yang benar-benar sembuh. Tapi kita bisa belajar hidup bersama luka itu… tanpa harus berdarah setiap hari.”
Dan pelan-pelan, hujan turun di luar jendela. Seperti ikut menghapus jejak yang tak sanggup diucapkan, membasuh luka yang belum tentu hilang… tapi akhirnya bisa diterima.
"Hati Ibu lebih hancur, Sayang… percayalah. Bahkan Ibu tak mampu marah pada siapa pun. Ibu hanya ingin memeluk semua lukamu…
Lirih itu tak pernah terucap, hanya bergema dalam batin Bu Ratna—seorang ibu yang terlalu pandai menyimpan luka demi menjaga anaknya tetap utuh.
Pelukan mereka masih erat, seperti dua jiwa yang sama-sama mencari sandaran. Tangis yang tadi sempat reda kembali pecah, membuka luka-luka lama yang belum sempat sembuh.
Perlahan, Bu Ratna mengusap wajah Alisya dengan kedua tangannya yang hangat. Ia menatap lembut, lalu bertanya,
“Sayang… di mana kamu sekarang tinggal? Kamu sama Rasya, kan?”
Alisya mengangguk pelan, namun suaranya gemetar.
“Untuk saat ini… aku hanya ingin berdua dulu sama Rasya, Bu. Bukan karena nggak percaya sama Ibu… bukan itu.”
Matanya menunduk, takut menyakiti, takut ditafsir tak berbakti.
Tapi Bu Ratna tersenyum tipis. Bukan senyum bahagia, tapi senyum penuh pengertian dari hati yang sudah kenyang luka dan kehilangan. Ia menggenggam tangan Alisya, lalu menjawab dengan suara tenang yang justru membuat dada sesak:
“Iya, Sayang… Ibu mengerti. Kadang kita memang perlu ruang untuk bisa berdiri lagi. Tapi di mana pun kamu sekarang… tolong, jangan putuskan kabar untuk Ibu, ya? Meski hanya satu pesan singkat. Ibu cuma ingin tahu kamu dan Rasya baik-baik saja…”
Alisya tak sanggup membalas, hanya mengangguk pelan dengan tangis yang kembali merebak.
Dan Bu Ratna, sekali lagi, memeluk putrinya. Kali ini lebih erat—seolah ingin menyampaikan semua doa yang tak bisa diucapkan, dan semua cinta yang tak pernah berkurang meski dunia sedang runtuh.
dan g sabar melihat hidup lisya bersinar & bahagia di tangan laki" yg tepat... setia..
dasar valakor sok baik semoga karma mu cpt sampai bunga Bangkai.
keknya emang sengaja mnegaskn klo dia satu"nya istri rendi....
pelakor di mn" tetaplah jiwanya serakah....
selamat bunga... km brhasil merampas suami orang... kelak tak mnutup kmungkinan... km jga akn khilangan hasil curianmu...
trus rendi bawa bunga jemput rasha.
penulisnya bner bner berpihak ma pelakor.
Sekarang alisha saja di bikin hamil kan.
sungguh penulis pemuja pelakor. penderitaan alisha terus di tambah tp gk Ada balesan untuk rendi dan bunga.
gedek banget.
lebih semangat Thor.
lebih gereget biar pembaca nya ngk bosan.