Memiliki Bayi Bersama Pria Yang Kubenci

Memiliki Bayi Bersama Pria Yang Kubenci

Bab 1 - Pelarian

“Lo serius mau di sana seminggu? Sendirian? Gue jadi ngerasa bersalah karena lo gini gara-gara Abang gue. Kenapa nggak ajak gue aja, sih?”

Jenar Masayu, perempuan yang sedang patah hati itu mengembuskan napas berat saat sahabatnya menelepon ketiga kalinya hari ini untuk memastikan keadaannya. Sejujurnya ia berada di sini untuk melarikan diri alih-alih healing. Jenar terlalu sakit menghadapi kenyataan jika cinta pertamanya—Hanif—yang merupakan kakak Hana bertunangan kemarin.

Sudah lama ia mengincar Hanif, dan sering pula memberikan kode pada lelaki itu. Jenar pikir kodenya berbalas. Nyatanya, Hanif hanya menganggapnya tidak lebih dari teman adiknya. Jenar tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Hanif karena dari awal ia yang memendam perasaan dan tidak berani jujur pada lelaki itu. Sekarang, giliran Hanif tunangan dengan wanita lain, remuk suda hatinya. Tidak bisa ia menghadapi kenyataan pahit ini jika terus berada di dekat Hana.

“Iya, Han. Gue mau refreshing dulu. Ntar deh kalau suasana hati gue udah pulih, baru gue balik. Gue lagi mau sendiri. Nggak mau ditemenin siapa-siapa,” jawab Jenar lesu.

“Bener nggak apa-apa? Ini ... bukan semacam percobaan bunuh diri ‘kan? Lo nggak bakal lakuin itu ‘kan?”

Mata Jenar membulat mendengarnya. Hei! Sepatah-patah apa pun hatinya, amit-amit ia mengakhiri hidup hanya karena masalah percintaan. Jenar masih waras untuk tidak melakukan itu!

“Gila lo ya! Nggak mungkin gue begitu. Jangan mikir aneh-aneh, deh, Han. Atau gue sumpahin lo kayak gue nyumpahin Abang lo!”

“Buset, udah mau sumpah-sumpahin aja. Gitu-gitu Abang gue serius sama tunangannya. Dia—“

“Bye, Han! Gue tutup dulu!”

Tanpa basa-basi, Jenar langsung menutup telfon dari sahabatnya itu. Terlalu malas membahas Hanif. Jenar terlihat seperti perempuan paling sakit hati sedunia. Seakan Hanif mengkhianatinya. Padahal di sini masalahnya hanya tentang cinta bertepuk sebelah tangan. Ah, hidup wanita itu sangat kacau hanya gara-gara cinta pertamanya itu.

Teriknya matahari di pagi hari membuat Jenar merasa perlu keluar penginapan untuk menikmati waktu liburannya. Sayang jika ia hanya rebahan di kamar. Jauh-jauh ke pantai Pangandaran, ia rasa dirinya harus melakukan sesuatu hari ini untuk menghilangkan Hanif dari pikirannya.

Oleh karenanya Jenar pun keluar dari boncabin Madasari—sebuah penginapan bertajuk rumah kayu—yang ia sewa untuk seminggu ke depan. Jenar sengaja memilih tempat homestay seperti ini karena sangat cocok untuk orang yang ingin me time. Tempatnya asri, tidak terlalu besar, dan sekeluar dari tempat itu langsung disambut pemandangan alam. Suasana yang sebenarnya sangat Jenar sukai ....

Pantai Madasari tidak jauh dari penginapannya itu. Jenar dengan keberaniannya pun pergi ke pantai tersebut. Terkadang ia menertawai dirinya sendiri. Demi apa ia nekad me time untuk mengobati patah hati?! Percobaan yang sangat ekstrem untuk anak gadis yang biasa manja sepertinya.

Saking bingungnya mau ke mana, Jenar hanya plonga-plongo setibanya di bibir pantai. Kamera dan tripod yang ia bawa seakan tidak ada gunanya karena mood-nya masih juga belum membaik meski melihat keindahan alam sekali pun.

“Apa gue foto di bebatuan itu aja, ya? Kayaknya bagus di sana.” Jenar melihat ke arah bebatuan karang yang terletak tak jauh darinya.

Banyak wisatawan yang mengambil foto di sana. Dan Jenar pun tertarik karena batu tersebut dikelilingi langsung oleh ombak putih yang bentuknya sangat cantik.

Maka Jenar pun berlari-lari kecil ke sana. Susah payah ia menyeimbangkan langkahnya karena tangannya sekaligus memegang tripod. Setibanya di sana, Jenar langsung merangkak menaiki batu tersebut. Ia akan berfoto di atas bebatuan itu agar saat pengambilan gambar tampak estetik, pikirnya.

Namun sayang, malang sekejap mata, Jenar terlalu ceroboh karena tidak berhati-hati. Alhasil, kakinya tergelincir dan ia pun jatuh ke bawah berserta tripod-tripodnya yang kini terapung di ombak.

“Aaaa! Sakit!” pekik Jenar.

Suara Jenar menggema ke udara, membuat banyak mata tertuju padanya. Terkhusus pada seorang lelaki yang juga sedang mengambil gambar—tak jauh dari tempat Jenar berdiri.

Lelaki berparas tampan, mengenakan baju kemeja lengan pendek dan celana selutut dengan kamera yang menggantung di lehernya. Gena, lelaki itu datang ke sini juga untuk menjernihkan pikiran karena baru ditipu oleh partner usahanya.

Refleks, melihat seorang perempuan terluka, insting Gena bergerak cepat. Ia pun menolong gadis yang tidak ia ketahui namanya itu tanpa ragu.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Gena seraya mengulurkan tangan dan membantu gadis itu berdiri.

Jenar, gadis yang barusan terkilir itu menerima uluran tangan Gena. Ia biarkan pria itu membopongnya ke bibir pantai.

“Agak sakit. Tapi makasih udah nolongin, ya,” kata Jenar mengulur senyum segan.

Perlahan Gena mendudukkan Jenar. Beberapa kali pula perempuan itu meringis seraya mengusap kakinya. Gena tentu peka jika perempuan itu sedang kesakitan. Ia bercelingak-celinguk kiri kanan, memastikan teman atau kerabat dari perempuan itu datang ke sini melihat keadaannya. Namun sepertinya tidak ada yang akan datang. Hal itu membuat Gena memberanikan diri bertanya—

“Kamu ke sini sama siapa? Di mana keluarga kamu?”

Maka Jenar menjawab, “Aku ke sini sendiri. Nggak sama siapa-siapa,” ujarnya memelas.

Mata Jenar memerah menahan rasa sakit di tumit kakinya. Rasanya tulang Jenar ada yang patah, atau mungkin ada pendarahan di dalam. Agak berlebihan memang. Padahal kakinya cuma terkilir biasa. Namun reaksi Jenar, ditambah bibirnya yang bergetar-getar itu membuat Gena jadi tidak tega. Akhirnya lelaki itu berjongkok di depan Jenar dan perlahan menyentuh kaki gadis itu.

“Aku izin periksa kaki kamu, ya?”

Jenar tersentak saat merasakan tangan lelaki itu mengambil kakinya. Mendadak canggung menguasai suasana. Mata Jenar tak lepas dari wajah tampan yang berada di depannya ini. Defenisi pesona pria matang. Lelaki itu terlihat berwibawa, tampangnya juga tidak kalah jauh dengan Hanif.

Jenar menggeleng cepat saat pikirannya berkelana ke mana-mana. Gue kenapa sih? Lihat yang segar dikit langsung melek. Padahal jelas posisinya gue lagi patah hati! Setidaknya itulah isi hati Jenar saat ini.

“Kaki kamu terkilir. Aku carikan es batu dulu ya? Bagusnya dikompres biar darahnya nggak beku di dalam,” tawar lelaki itu. Suaranya yang berat membuat bulu kuduk Jenar berdiri.

Alhasil, sebagai refleks salah tingkah, Jenar memainkan rambutnya. “Apa kamu nggak ngerasa direpotin?”

“Lho, sama sekali nggak. Aku juga lagi sendiri di sini. Kebetulan lagi healing.”

Ih, kok bisa samaan?!

“Oh, ya udah kalau gitu. Makasih sebelumnya.”

Dan setelah itu, lelaki tersebut tampak berkeliaran mencari es batu di kedai-kedai kelapa di bibir pantai itu. Selang lima menit, lelaki itu kembali. Ia mulai mengompres kaki Jenar. Diletakkannya kaki gadis itu ke pahanya, dan Jenar spontan memegang bahu Gena kala kakinya ditekan-tekan.

“Aakh—sakit!”

“Tahan, ya. Dikit lagi....”

Jenar terus meringik. Berkali-kali pula Gena berhenti sampai akhirnya Jenar diam. Hal itu berlangsung lima belas menit lamanya. Dan setelah selesai proses pengompresan itu, Gena berpindah duduk di samping Jenar.

"Mudah-mudahan kakinya cepat pulih ya? Nggak parah, kok. Cuma nanti dibiasain jalan aja.”

“Iya. Thank you. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tau mesti gimana di tempat ini. Maklum, aku datang sendiri ke sini,” kekeh Jenar.

Sejenak Gena memerhatikan wajah Jenar. Satu kata yang berkutat di kepala Gena; cantik. Ya. Gena akui gadis di sampingnya ini cantik, dan terlihat dari wajahnya, usia gadis itu juga lebih muda darinya. Gena tidak sadar senyumnya terbit kala menatap wajah mulus nan manis itu.

“Oh, ya, aku Jenar. Jenar Masayu.”

Gena berkedip saat Jenar mengulurkan tangan ke arahnya. Ia pandangi kuku-kuku lentik yang dihiasi nail itu. Tangan perempuan itu mulus dan hangat ketika ia menyentuhnya tadi. Membuat Gena tidak ragu mengulurkan tangannya.

“Aku Gena. Gena Pratama.”

Mereka pun berjabatan. Kulit tangan keduanya terasa hangat dan lembab. Jemari Jenar pun tenggelam dalam tangan Gena yang kokoh dan besar.

Dan entah siapa yang memulai, obrolan ringan di antara mereka pun terjadi. Tentang Jenar yang baru saja lulus kuliah, dan Gena yang memiliki usaha kedai kopi. Termasuk rentan usia mereka yang berjarak lima tahun. Ya. Gena saat ini berusia 27 tahun, sementara Jenar baru 22 tahun. Mereka pun tersenyum saat saling menceritakan diri masing-masing.

“Jadi kita beda lima tahun, ya? Salah berarti aku manggil aku kamu. Harusnya Mas,” kekeh Jenar.

“Sebenarnya manggil nama pun nggak apa-apa. Biar lebih akrab gitu.”

“Bener nih? Takut nggak sopan.”

“Justru aku yang agak aneh kamu manggilnya Mas-Mas. Emang aku tukang cilok, apa?”

Lantas mereka sama-sama tertawa seolah sudah kenal lama. Padahal genap satu jam pun belum ....

Berhubung kaki Jenar sedang sakit, niatnya untuk mengelilingi pantai hari ini pun sirna. Ia berniat kembali ke penginapan dan mengistirahatkan diri sebentar untuk memulihkan kakinya. Jadi, ia pun berpamitan pada Gena.

“Aku ke penginapan aja deh kayaknya. Minimal sehari ini istirahat dulu. Ah, padahal cuaca lagi bagus. Sayang ke sini cuma buat tiduran. Aku kesel banget,” celetuk Jenar bawel.

Gena tertawa kecil mendengar cara bicara Jenar yang menyerocos itu. Entah kenapa bawelnya Jenar terasa menyenangkan di telinganya.

“Aku antar, ya?” tawar Gena.

“Eh, serius? Ngerepotin nggak nih? Atau malah nanti ada yang marah karena kamu nolong cewek di sini,” kata Jenar seraya tertawa.

Gena menggeleng. “Siapa yang marah? Pacar maksud kamu?”

“Ya gitu. Pasangan. Kan nggak enak aku dicakar sama pacar kamu kalau tahu kamu di sini dekat-dekat sama aku.”

Sumpah, demi apa seorang Jenar seberani ini sama cowok asing? Jenar memuji keberaniannya sendiri. Ini sangat di luar dugaannya sendiri.

“Nggak ada yang marah. Aku nggak punya pacar.” Gena menerangkan, membuat senyum lega terbit di bibir Jenar.

“Jadi, mau aku antar?” Gena menawarkan diri kembali.

Tentu saja Jenar tidak menyiakan kesempatan ini. Ia sambut uluran tangan Gena, ia biarkan tangan lelaki itu melingkari bahunya. Sebelah tangan Jenar pun dengan berani menyelinap ke pinggang Gena.

Lantas, Gena pun melangkah dalam keadaan membopong Jenar menuju penginapannya.

“Kamu nginap di mana?” Gena bertanya.

“Nggak jauh dari sini. Nah, itu tuh! Di boncabin itu!” tunjuk Jenar ke arah penginapannya yang berjarak kurang dari 500 meter dari sini.

Gena tercengang mendengarnya. Katanya, “Lho, aku juga nginap di sana.”

“Eh, serius?!”

“Iya. Aku ke sini home stay, mau healing rencana untuk beberapa hari ke depan.”

“Wah, kok bisa samaan gitu ya? Kata orang kalau samaan .... hahah, nggak jadi deh.”

“Apa? Jodoh?”

Mereka pun tertawa lagi. Tentu saja obrolan seperti ini tidak ada maksud serius. Dua-duanya hanya ingin mencairkan suasana di antara mereka agar tidak terlalu canggung.

Setibanya di penginapan, Gena mengantarkan Jenar ke dalam dan membantu perempuan itu duduk di ranjangnya.

“Penginapan aku nggak jauh dari sini. Cuma jarak tiga rumah aja,” terang Gena, membuat mata Jenar berbinar, serasa mendapatkan teman baru di tengah kesendirian di tempat asing ini.

“Sumpah, kenapa kebetulannya banyak banget sih?” kata Jenar takjub.

Gena mengangkat bahunya. “Aku juga nggak ngerti. Kita sama-sama ke sini buat healing dan sama-sama sendiri juga,” sahutnya.

Jenar mengiyakan. Mau mengobrol lebih banyak, ia rasa terlalu cepat dan aneh untuk ukuran orang yang baru berkenalan. Lagi pula suasana hatinya belum membaik. Masih terasa sesak karena Hanif masih bertahta di sana.

“Aku lanjut jalan dulu ya? Mau cari spot foto hari ini. Semoga kamu lekas membaik,” kata Gena pamit.

Jenar mengangguk seraya tersenyum. “Makasih banyak ya, atas bantuannya.”

Dan setelah itu Gena benar-benar pergi. Sampai akhirnya lelaki itu menghilang dari pandangan, barulah Jenar merasa sedih seolah kehilangan teman sefrekuensinya.

“Dih, gue apaan sih? Kenapa gue ngerasa enggak rela Mas-mas itu pergi? Otak gue udah rusak kayaknya gara-gara Mas Hanif!” oceh Jenar sambil mengacak-acak rambutnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!