Naila baru saja turun dari bus dari luar pulau. Ia nekat meninggalkan keluarga karena demi menggapai cita-cita yang terhalang biaya. Naila lulus jalur undangan di sebuah kampus negeri yang berada di ibu kota. Namun, orang tuanya tidak memiliki biaya hingga melarangnya untuk melanjutkan pendidikannya hingga memaksanya menikah dengan putra dari tuan tanah di kampung tempat ia berasal.
Dengan modal nekat, ia memaksakan diri kabur dari perjodohan yang tak diinginkan demi mengejar mimpi. Namun, akhirnya ia sadar, biaya perguruan tinggi tidak bisa dibayar hanya dengan modal tekad.
Suatu saat Naila mencari pekerjaan, bertemu dengan balita yang keluar dari pekarangan tanpa penjagaan. Kejadian tak terduga membuat ia bekerja sebagai pengasuh bagi dokter tampan yang ditinggal mati oleh istri yang dicintainya.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Pulang ke Rumah Baru
"Aaah? Ti-tidur bersama siapa?" Naila jadi gelagapan oleh rajukan putri sulung dokter Martin itu. Rindu mengangguk mantap, matanya berkaca-kaca seolah tak menerima penolakan.
"Apa? Kamu menyuruh papamu tidur sama dia?" Marvel langsung memasang ekspresi aneh, wajah konyol yang biasa ia tunjukkan saat ingin menggoda Rindu.
"Papaaa, Om Apel nakalin Lindu lagi," adunya pada sang ayah dengan suara manja, membuat suasana ruang tamu berubah menjadi lebih riuh.
"Marvel? Kan sudah Mama bilang, jangan menggoda Rindu terus!" Bu Juwita menarik Rindu ke pangkuannya dengan lembut, mencoba menyelamatkan Naila dari tarikan si kecil.
Naila tersenyum kaku, merasa gugup karena jadi pusat perhatian. Namun, justru momen itu membuatnya tanpa sengaja menangkap tatapan sang ayah dari kejauhan. Tatapan itu... seolah tak biasa. Dalam dan susah untuk ditebak. Cepat-cepat ia membuang muka, berpura-pura sibuk memperhatikan Reivan yang tertidur dalam gendongannya.
Tak disangka, Rindu berhasil meronta dari pelukan neneknya dan kembali memeluk erat leher Naila. "Ayuk, Ma. Kita pulang aja ya. Lindu dan dedek udah ngantuk sekali," bujuknya manja.
Melihat hal itu, senyum kecil tersungging di bibir Bu Juwita. "Waduh, bagaimana ini? Sepertinya Rindu benar-benar tak mau jauh dari Naila. Gimana, Nai? Kamu bisa tinggal dan menjaga mereka di sana?"
"Di sana di mana, Bu?" tanya Naila bingung, mengernyit pelan.
"Di rumahnya Martin, dong? Kan ini rumah saya," jawab Bu Juwita ringan, membuat Naila langsung menegang.
"Ta-tapi..."
"Lho? Kenapa? Kamu keberatan?" desaknya, kali ini nadanya terdengar lebih serius.
"Ta-tapi saya—"
"Ma, jangan aneh-aneh, Ma!" sela Marvel, terlihat jelas ia keberatan dengan usulan ibunya.
"Aneh kenapa? Naila bakal kerja jadi pengasuh Rindu dan Reivan. Wajar dong dia tinggal di rumah majikannya?"
"Tapiii, Maaaa..."
"Tak ada tapi-tapian! Kamu gak kasihan sama keponakanmu? Mereka butuh sosok yang bisa mengisi kekosongan setelah kepergian Rianti. Dan Naila... dia kebetulan mirip—"
"Ma, aku tahu apa yang dipikirkan Marvel," sela Martin yang sedari tadi diam namun mendengarkan keributan mereka.
"Udah! Kamu diem aja. Bikin seneng anakmu juga gak dosa. Sekarang, kamu bawa saja Naila ke rumahmu. Dia bisa bantu jaga anak-anak sampai jadwal kuliahnya datang."
Tanpa banyak basa-basi, Bu Juwita mengumpulkan barang milik Naila dan menyerahkannya kepada Marvel. "Masukin ke mobil kakakmu!"
"Hmmmfff." Marvel hanya mendengus panjang. Meski tak setuju, ia tetap mengambil barang-barang itu. Tapi, saat hendak melangkah, ia berhenti. Wajahnya seketika berubah, senyuman muncul di ujung bibirnya seolah mendapat sebuah ide.
Bukannya membawa barang itu ke mobil, ia malah meletakkannya kembali ke lantai dan berjalan cepat menuju kamarnya tanpa berkata sepatah kata pun.
"Marvel? Mau ke mana lagi? Kamu tidak dengar perintah Mama?"
Marvel hanya melambaikan satu tangan sambil berlalu masuk ke kamarnya. Naila menatapnya bingung, sementara Rindu terus menggandeng tangan Naila seakan takut ditinggal.
Martin, dengan ekspresi tenang namun bingung, menggendong Reivan menuju mobil di luar.
Beberapa menit kemudian, Marvel muncul lagi. Tapi kali ini bukan tangan kosong. Ia membawa koper kecil miliknya.
Bu Juwita memicingkan mata. "Katanya kamu mau nginap di sini?"
"Gak jadi, Ma. Soalnya ponakanku nggak tidur di sini," jawabnya santai, lalu mencium tangan ibunya dan mengangkat kembali peralatan milik Naila.
"Kalau begitu, langsung ke apartemenmu aja! Jangan singgah ke mana-mana!" ujar Bu Juwita, masih mencoba menebak niat putranya.
"Mama tenang saja!" Marvel sudah melenggang menuju mobil Martin.
Di kursi kemudi, Martin mengerutkan kening saat melihat koper kecil itu. "Mau ke mana lagi si setan kecil itu?" gumamnya lirih.
Marvel membuka pintu tengah, meletakkan tas Naila, dan memberi isyarat agar Naila memberinya tempat duduk.
"Om Apel nakal ga bole ikut!" omel Rindu sambil memelototi Marvel.
Tak peduli, Marvel tetap duduk di samping Naila, menyempil di antara baby seat Reivan dan Naila yang sedang memeluk Rindu.
Martin yang duduk di balik kemudi menyipitkan mata, menatap bangku kosong di sampingnya.
"Kalau kau mau jadikan aku sopir, lebih baik turun saja! Kau kan punya mobil baru minggu lalu?"
"Ah, males nyetir," jawab Marvel singkat, sambil menoleh ke Naila.
"Kalau begitu, duduk di sini!" Martin menepuk-nepuk jok kosong di sampingnya.
"Gak mau."
"Kalau tidak mau ditarik keluar, cepat duduk di situ!" Suaranya dingin, nadanya tegas. Membuat Naila ikut menegakkan badan.
Marvel mendesah. "Ck." Akhirnya, ia turun dan berpindah ke depan, duduk santai sambil menyandarkan tangannya ke headrest Martin, mengedip pada Naila dan menjulurkan lidah pada Rindu.
Martin hanya menghela napas pelan dan menyalakan mesin mobil.
Perjalanan pun dimulai. Suasana di dalam mobil hanya diisi suara gemerincing jemari Reivan dan ocehan Rindu yang setengah mengantuk. Sisanya hening. Tiga orang dewasa di dalam mobil saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Ketika akhirnya mobil berhenti di depan sebuah rumah modern berlantai dua yang dikelilingi pagar tinggi, Naila menahan napas. Rumah itu... mewah sekali. Jauh dari bayangannya. Gerbangnya terbuka otomatis, dan Martin masuk tanpa suara.
"Kenapa gak pakai security?" tanya Marvel asal.
"Kata Rianti, dia tak mau pria bukan mahram mondar-mandir di rumah ini," jawab Martin singkat.
Di kursi belakang, Naila masih terpana. Matanya membulat, napasnya tertahan. Ia bahkan tak sadar mobil sudah berhenti.
Marvel tertawa kecil, menggoyangkan tangannya di depan wajah Naila. "Dia benar-benar shock lihat rumahmu," bisiknya pada Martin.
Martin mengangkat Reivan dari baby seat, lalu membuka pintu belakang. Rindu menggoyang-goyang tangan Naila.
"Ayo tulun, Ma. Lindu udah ngantuk kali," ujarnya sambil mengusap matanya.
"Ah, iya. Maaf, Sayang. Kakak terlalu kagum dengan rumah ini. Di kampung halaman kakak, gak ada rumah seperti ini," jawab Naila gugup, lalu turun dan menggandeng Rindu.
Marvel menyusul dari belakang, tangan di saku. "Masa sih? Tuan tanah aja kalah sama rumah ini?"
"Beneran, Om. Tuan tanah aja gak segede ini. Mimpi apa aku kerja di rumah beginian?"
Marvel menyeringai. "Kalau kamu mau rumah seperti ini, aku bisa belikan juga lhoo. Tapi ada syaratnya."
Naila meliriknya cepat. "Syaratnya apa?"
"Jadi istri akuuuuu," bisik Marvel jahil lalu tawanya meledak menghapus kesunyian di rumah itu.
"Om Apel! Gak bolee!" Rindu mencubit tangan pamannya yang sedang tertawa dengan sangat keras.