Naila hanya ingin kuliah dan menggapai cita-cita sebagai jaksa.
Namun hidup menuntunnya ke rumah seorang duda beranak dua, Dokter Martin, yang dingin dan penuh luka. Di balik tembok rumah mewah itu, Naila bukan hanya harus merawat dua anak kecil yang kehilangan ibu, tapi juga melindungi dirinya dari pandangan sinis keluarga Martin, fitnah, dan masa lalu yang belum selesai.
Ketika cinta hadir diam-diam dan seorang anak memanggilnya “Mama,” Naila harus memilih: menyelamatkan beasiswanya, atau menyelamatkan keluarga kecil yang diam-diam sudah ia cintai.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Pulang ke Rumah Baru
"Pulang ke mana?" tanya Naila bingung.
"Ke rumah kita. Bobo sama-sama. Ada Lindu, adek, Mama, dan Papa," ucap Rindu bersemangat.
"Apa? Kamu menyuruh papamu tidur sama dia?" Marvel langsung memasang wajah konyol yang biasa ia tunjukkan untuk menggoda Rindu.
"Papaaa, Om Apel nakalin Lindu lagi," adunya pada sang ayah.
"Marvel? Kan sudah Mama bilang, jangan menggoda Rindu terus!" Bu Juwita menarik Rindu ke pangkuannya dengan lembut, mencoba menyelamatkan Naila dari tarikan si kecil.
Naila tersenyum kaku, merasa gugup karena jadi pusat perhatian. Namun, justru momen itu membuat Naila tanpa sengaja menangkap tatapan Martin dari kejauhan.
Tatapan itu tampak tak biasa. Dalam dan susah untuk ditebak. Cepat-cepat ia membuang muka, berpura-pura sibuk memperhatikan Reivan yang tertidur dalam gendongannya.
Rindu berhasil meronta dari pelukan neneknya dan kembali memeluk erat leher Naila. "Ayuk, Ma. Kita pulang aja ya. Lindu dan dedek udah ngantuk banget," bujuknya manja.
Melihat hal itu, senyum kecil tersungging di bibir Bu Juwita. "Waduh, bagaimana ini? Sepertinya Rindu benar-benar menempel terus sama Naila. Gimana, Nai? Kamu ikut mereka aja!"
"Ikut ke mana, Bu?" tanya Naila bingung, mengernyit pelan.
"Di rumahnya Martin, dong? Kan ini rumah saya," jawab Bu Juwita ringan, membuat Naila langsung menegang.
"Kok?" protes Naila, tiba-tiba ia dipaksa untuk bertukar lokasi lagi.
"Kamu kan pengasuh Rindu dan Reivan. Saya rasa mereka memang membutuhkanmu di sana."
"Ta-tapi saya—"
"Ma, jangan aneh-aneh, Ma!" sela Marvel, terlihat jelas ia keberatan dengan usulan ibunya.
"Aneh kenapa? Naila bakal kerja jadi pengasuh Rindu dan Reivan. Wajar dong dia tinggal di rumah Martin?"
"Tapiii, Maaaa..." Marvel menelengkan kepalanya tak setuju.
"Tak ada tapi-tapian! Kamu gak kasihan sama keponakanmu? Sepertinya, Mama suka sama dia," ucap Bu Juwita kembali setelah merasakan pijatan Naila.
"Ma, aku rasa, ini memang tak mungkin," ucap Martin yang sedari tadi diam. Akan tetapi, ini berkaitan langsung dengannya.
"Udah! Kamu diem aja. Bikin seneng anakmu juga gak dosa. Sekarang, kamu bawa saja Naila ke rumahmu. Biar dia bantu di sana aja."
Tanpa banyak basa-basi, Bu Juwita mengumpulkan barang milik Naila dan menyerahkannya kepada Marvel. "Masukin ke mobil kakakmu!"
"Hmmmfff." Marvel hanya mendengus panjang. Meski tak setuju, ia tetap mengambil mengikuti perintah. Tapi, saat hendak melangkah, ia berhenti. Wajahnya seketika berubah, senyuman kecil muncul di ujung bibirnya seolah mendapat sebuah ide.
Bukannya membawa barang itu ke mobil, ia malah meletakkannya kembali ke lantai dan berjalan cepat menuju kamarnya tanpa berkata sepatah kata pun.
"Marvel? Mau ke mana lagi? Kamu tidak dengar perintah Mama?"
Marvel hanya melambaikan satu tangan sambil berlalu masuk ke kamarnya. Naila menatapnya bingung, sementara Rindu terus menggenggam tangan Naila seakan takut hilang.
Martin sedikit bingung dengan rencana ibunya ini. Ia membawa Reivan menuju ke mobil.
Beberapa menit kemudian, Marvel muncul lagi. Tapi kali ini bukan tangan kosong. Ia membawa koper kecil miliknya.
Bu Juwita memicingkan mata. "Katanya kamu mau nginap di sini?"
"Gak jadi, Ma. Soalnya ponakanku nggak tidur di sini," jawabnya santai, lalu mencium tangan ibunya dan mengangkat kembali peralatan milik Naila.
"Kalau begitu, langsung pulang ke apartemenmu aja! Jangan keluyuran!" ujar Bu Juwita, masih mencoba menebak niat putranya.
"Mama tenang saja!" Marvel sudah melenggang menuju mobil Martin.
Di kursi kemudi, Martin mengerutkan kening saat melihat koper kecil itu. "Mau ke mana lagi si setan kecil itu?" gumamnya.
Marvel membuka pintu tengah, meletakkan tas Naila, dan memberi isyarat agar Naila memberinya tempat untuk duduk.
"Om Apel nakal ga bole ikut!" omel Rindu sambil memelototi Marvel.
Tak peduli, Marvel tetap duduk di samping Naila, menyempil di antara baby seat Reivan dan Naila yang sedang memeluk Rindu.
Martin yang duduk di balik kemudi menyipitkan mata, menatap bangku kosong di sampingnya.
"Kalau kau mau jadikan aku sopir, lebih baik turun saja! Kau kan punya mobil baru, minggu lalu?"
"Ah, males nyetir," jawab Marvel singkat, sambil menoleh ke Naila.
"Kalau begitu, duduk di sini!" Martin menepuk-nepuk jok kosong di sampingnya.
"Gak mau."
"Kalau tidak mau ditarik keluar, cepat duduk di situ!" Suaranya dingin, nadanya tegas. Membuat Naila ikut menegakkan badan.
Marvel sedikit tergidik. "Ck." Akhirnya, ia turun dan berpindah ke depan, duduk santai sambil menyandarkan tangannya ke headrest Martin, mengedip pada Naila dan menjulurkan lidah pada Rindu.
Martin hanya menghela napas pelan dan menyalakan mesin mobil.
Perjalanan pun dimulai. Suasana di dalam mobil hanya diisi suara gemerincing jemari Reivan dan ocehan Rindu yang setengah mengantuk. Sisanya hening. Tiga orang dewasa di dalam mobil saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Ketika akhirnya mobil berhenti di depan sebuah rumah modern berlantai dua yang dikelilingi pagar tinggi, Naila menahan napas. Rumah itu... mewah sekali. Jauh dari bayangannya. Gerbangnya terbuka otomatis, dan Martin masuk tanpa suara.
"Kenapa gak pakai security?" tanya Marvel asal.
"Kata Rianti, dia tak mau pria bukan mahram mondar-mandir di rumah ini," jawab Martin singkat.
Di kursi belakang, Naila masih terpana. Matanya membulat, napasnya tertahan. Ia bahkan tak sadar mobil sudah berhenti.
Marvel tertawa kecil, menggoyangkan tangannya di depan wajah Naila. "Dia benar-benar shock lihat rumahmu," bisiknya pada Martin.
Martin mengangkat Reivan dari baby seat, lalu membuka pintu belakang. Rindu menggoyang-goyang tangan Naila.
"Ayo tulun, Ma. Lindu udah ngantuk kali," ujarnya sambil mengusap matanya.
"Ah, iya. Maaf, Sayang. Kakak terlalu kagum dengan rumah ini. Di kampung halaman kakak, gak ada rumah seperti ini," jawab Naila gugup, lalu turun dan menggandeng Rindu.
Marvel menyusul dari belakang, tangan di saku. "Masa sih? Tuan tanah aja kalah sama rumah ini?"
"Beneran, Om. Tuan tanah aja gak segede ini. Mimpi apa aku kerja di rumah beginian?"
Marvel menyeringai. "Kalau kamu mau rumah seperti ini, aku bisa belikan juga lhoo. Tapi ada syaratnya."
Naila meliriknya cepat. "Syaratnya apa?"
"Jadi istri akuuuuu," bisik Marvel jahil.
"Om Apel! Gak bolee!"
^^^Revisi tanggal 16 Mei 2025^^^