Nathaniel Alvaro, pewaris muda salah satu perusahaan terbesar di negeri ini, hidup dalam bayang-bayang ekspektasi sang ibu yang keras: menikah sebelum usia 30, atau kehilangan posisinya. Saat tekanan datang dari segala arah, ia justru menemukan ketenangan di tempat yang tak terduga, seorang gadis pendiam yang bekerja di rumahnya, Clarissa.
Clarissa tampak sederhana, pemalu, dan penuh syukur. Diam-diam, Nathan membiayai kuliahnya, dan perlahan tumbuh perasaan yang tak bisa ia pungkiri. Tapi hidup Nathan tak pernah semudah itu. Ibunya memiliki rencana sendiri: menjodohkannya dengan Celestine Aurellia, anak dari sahabat lamanya sekaligus putri orang terkaya di Asia.
Celeste, seorang wanita muda yang berisik dan suka ikut campur tinggal bersama mereka. Kepribadiannya yang suka ikut campur membuat Nathan merasa muak... hingga Celeste justru menjadi alasan Clarissa dan Nathan bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nitzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Celeste, Peri Tanpa Sayap
Sudah hampir tiga bulan sejak misi itu dimulai, misi yang diberikan ayahnya sebelum Celeste dipaksa masuk ke rumah keluarga Alvaro. Waktu berjalan cepat, dan hanya tersisa tiga bulan lagi untuk menyelesaikan segalanya.
Namun Celeste tak lagi menghitung hari dengan cemas seperti dulu. Ia justru mulai takut... kalau semua ini akan berakhir.
Pagi itu, suasana rumah sibuk dan ramai. Nathan mendapat undangan ulang tahun dari salah satu kolega bisnis pentingnya, dan tentu saja, karena sedang menjalani hubungan yang masih rahasia, ia mengajak Clarissa sebagai pasangan pesta saja.
"Aku bingung harus pakai baju apa," keluh Clarissa sambil membolak-balik isi lemari kamarnya. “Gaunku hanya ini saja.. ”, padahal gaun cantik yang dia beli pakai kartu Nathan ada banyak.
Celeste yang sedang lewat di lorong sempat melirik ke dalam. “Ada yang bisa kubantu?”
Clarissa menoleh, lalu tersenyum manja. “Kamu tahu, aku nggak punya gaun yang cocok buat acara itu. Dan aku tahu kamu punya satu gaun hitam panjang yang elegan itu, yang waktu itu kamu pakai pas ibu Madeline mengajakmu makan malam...”
Celeste terdiam. Itu satu-satunya gaun yang ia punya dari peninggalan mendiang ibunya. Tapi ia tak menunjukkan keraguan.
“Oh... yang itu,” jawabnya akhirnya, tersenyum tipis. “Kalau kamu mau, aku bersihkan dulu. Mungkin butuh sedikit disetrika.”
Clarissa langsung memeluknya, manja. “Kamu penyelamat banget! Serius, kamu tuh kayak peri!”
Celeste tersenyum kecil. “Aku nggak punya tongkat sihir, tapi... semoga cukup membantu.”
Setelah memastikan gaunnya bersih dan harum, Celeste menggantungnya di pintu kamar Clarissa. Gaun itu memang sederhana, tapi elegan. Dengan potongan bahu terbuka, bahan satin ringan, dan detail renda halus di bagian pinggang.
Seolah untuk malam itu, Celeste telah menyihir Clarissa menjadi Cinderella yang siap ke pesta.
*
Sore harinya, Nathan turun dari lantai atas dengan jas rapi dan sepatu kulit hitam mengilap. Wajahnya segar, tapi sorot matanya tampak letih, entah karena pekerjaan, atau karena isi kepala yang tak pernah berhenti memikirkan banyak hal.
Clarissa muncul tak lama kemudian. Ia memutar satu putaran kecil di depan Nathan.
“Gimana? Keren, kan?” tanyanya dengan senyum penuh percaya diri.
Nathan mengangguk. “Kamu cantik.”
Clarissa menoleh ke arah Celeste, yang berdiri di pojok ruang tamu sambil membawa map pengingat agenda Nathan untuk esok hari.
"Semua berkat Celeste," kata Clarissa bangga. "Dia yang nyihirin aku hari ini."
Celeste hanya tersenyum dan menunduk pelan. “Semoga acaranya lancar.”
Mata Nathan sempat menatap Celeste sejenak. Ada rasa aneh di sana. Ia ingin berterima kasih, tapi tak tahu bagaimana. Ucapan biasa rasanya tidak cukup untuk seseorang yang memberi... dan terus memberi, tanpa pernah menuntut apa-apa.
Mereka pun pergi, meninggalkan Celeste sendiri di rumah besar yang kembali sepi.
*
Malam itu, Celeste duduk di kamar sambil menatap jendela. Di luar, langit cerah bertabur bintang. Ia bisa membayangkan bagaimana Clarissa dan Nathan berdansa di bawah lampu gantung kristal, makan malam dengan musik lembut dan tawa ringan.
Celeste tersenyum kecil, lalu membuka buku catatannya:
Hari ke-82. Aku meminjamkan gaun terbaikku untuk orang yang dia sayangi. Aneh, ya? Tapi aku senang dia tersenyum. Aku senang bisa membantu, meski hanya dari jauh.
Lalu, di bawahnya, ia menulis lagi:
Kadang, aku ingin bertanya... apa aku akan tetap jadi peri penolong, atau akan berubah jadi sesuatu yang dia lihat? Tapi mungkin... pertanyaannya terlalu egois.
Ia menutup bukunya pelan. Kemudian berdiri dan berjalan ke dapur, membantu Tati menyiapkan teh hangat untuk Madeline, ibu Nathan, yang baru saja pulang dari reuni arisannya.
Madeline memperhatikan Celeste dari balik cangkir tehnya. ia sadar ketika pulang Celeste jadi lebih pendiam. Tapi di matanya, justru di situlah letak pesona gadis itu. tak menuntut, dan selalu tahu waktu. Berbeda jauh dengan Clarissa, yang meskipun cantik dan luwes, kadang terlalu... mencolok akhir-akhir ini.
“Tati,” gumam Madeline pelan saat Celeste pergi ke dapur.
“Iya, Bu?”
“Kamu suka Celeste?”
Tati tersenyum. “Suka banget, Bu. Orangnya lembut, rajin, dan nggak pernah ngomongin orang.”
Madeline mengangguk, menyesap tehnya lagi. “Aku juga.”
Lalu, tanpa menjelaskan lebih lanjut, ia berdiri dan melangkah ke kamarnya. Tapi dalam hati, ia sudah menyimpan satu rencana. Rencana yang diam-diam berbeda dari harapan anaknya.
*
Di acara ulang tahun, Nathan merasa aneh.
Semua orang tampak bercanda, tertawa, menyapa satu sama lain. Tapi pikirannya tak lepas dari bayangan Celeste. Ia membayangkan bagaimana gaun itu terlihat saat dipakai Celeste dan bukan Clarissa.
Sungguh, kenapa pikirannya terus mengarah ke situ?
Clarissa tampak menikmati sorotan.
“Kenapa kamu murung?” tanya Clarissa saat mereka duduk di balkon restoran.
“Nggak, cuma... capek,” jawab Nathan singkat.
Clarissa menggenggam tangannya. “Kamu pasti stres. Aku ngerti. Tapi malam ini, lupakan semua. Fokus sama aku.”
Nathan mengangguk pelan. Tapi ia tahu, fokusnya sudah tersedot entah ke mana.
*
Sementara itu, di rumah, Celeste membantu Ezra menata ulang ruang kerja Nathan yang sempat diminta dibereskan.
“Ngapain kamu kerja malam-malam gini?” tanya Ezra, menatap heran.
“Biar besok pagi nggak ganggu dia,” jawab Celeste, lalu tersenyum. “Lagipula, aku nggak bisa tidur.”
Ezra diam sebentar, lalu berkata pelan, “Kamu tahu kan... kamu terlalu baik.”
Celeste terdiam.
Ezra menatapnya dengan sorot mata yang berbeda. “Dan kadang, orang yang terlalu baik malah disakitin duluan.”
Celeste hanya tersenyum. Tapi di balik senyumnya, hatinya terasa sesak. Dan untuk malam itu, ia tak menulis apa pun di bukunya.
Hanya diam.
Karena kadang... peri pun lelah.