Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.
Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.
Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.
Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Masa Lalu Pilihan Mertua
Malam itu hujan rintik turun membasahi pekarangan rumah. Diva duduk di ruang tamu dengan lampu redup, secangkir teh hangat di tangan, dan ekspresi yang begitu tenang tenang dalam cara yang membuat udara terasa menggigil.
Pukul delapan lewat lima belas, pintu pagar diketuk perlahan. Diva bangkit, membuka pintu, dan mendapati Reno berdiri disana, sedikit basah namun membawa satu amplop besar dan flashdisk kecil yang disimpan dalam kantong jaketnya.
“Semua ada di sini, Mbak,” ucap Reno pelan, menatap Diva dengan sedikit ragu.
Diva mengangguk, mengambilnya tanpa sepatah kata pun. Ia kembali ke dalam, duduk, lalu membuka amplop itu. Foto-foto bermunculan satu per satu Arman sedang fitting jas, tertawa kecil, Bu Susan tampak begitu bahagia menunjuk-nunjuk detail renda, dan tentu saja, Raya dalam gaun putih yang belum selesai dijahit, tersenyum malu-malu di depan cermin.
Diva tersenyum miring, meletakkan foto-foto itu di atas meja dengan tenang.
“Wow… luar biasa kamu, Man. Seperti bujang saja,” bisiknya lirih, senyumnya tak menjangkau matanya yang kini memerah.
Ia memandang keluar jendela. Waktu sudah larut, tapi Arman dan ibunya belum juga pulang.
“Paling juga sedang bersama… ulat bulu,” gumam Diva sambil terkekeh kecil. Tapi tawa itu bukan tawa bahagia itu tawa yang getir, tajam, seperti bilah pisau yang baru diasah. Matanya menyala. Nyalang. Penuh dendam yang terbungkus rapi oleh ketenangan luar biasa.
“Malam ini milik kalian. Tapi besok… tunggu giliranku.”
Malam makin larut ketika suara mobil terdengar berhenti di halaman. Arman dan Bu Susan turun sambil membawa beberapa tas kecil, wajah mereka tampak puas meski sedikit lelah. Mereka sempat saling pandang sebelum masuk ke dalam rumah.
Diva sedang duduk di sofa, mengenakan piyama sederhana dengan rambut digerai. Di tangannya masih ada buku yang tadi ia baca, sementara televisi menyala tanpa suara. Saat pintu terbuka dan mereka masuk, Diva hanya menoleh sebentar lalu tersenyum tipis.
“Sudah pulang?” suaranya tenang, hampir terlalu tenang.
Arman mengangguk, menaruh tas di sisi meja. “Iya… maaf agak malam.”
“Tidak apa-apa,” jawab Diva sambil kembali menatap televisi. “Capek?”
“Iya, tadi ibu…,” Arman mulai berbicara, tapi Diva memotong pelan.
“Pasti seru ya arisannya. Ibu senang?”
Bu Susan sempat terlihat kaku sebelum mengangguk. “Oh, iya… senang banget. Banyak yang datang.”
“Baguslah.” Diva berdiri, membenahi cangkir di meja. “Aku ke kamar duluan, kalian pasti butuh istirahat juga.”
Arman hanya bisa menatap punggung istrinya yang perlahan menghilang di lorong. Ia menggigit bibir, ada rasa tak enak di dadanya. Biasanya Diva akan bertanya lebih, akan cerewet sedikit soal acara atau baju baru. Tapi malam ini… terlalu tenang.
“Iya… kok Diva biasa saja ya, nggak tanya-tanya…” gumam Arman pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Bu Susan menatapnya cepat, lalu berbisik, “Bagus kan, nggak bikin ribet. Besok kita lanjut beli cincin, ya.”
Tapi hati Arman mulai tak tenang. Ia merasa seperti berdiri di tepi jurang… dan Diva, seolah sedang menarik tanah dari bawah kakinya, pelan-pelan, tanpa suara.
Arman membuka pintu kamar perlahan. Lampu kamar sudah diredupkan. Diva duduk di tepi ranjang, membelakangi pintu, rambutnya tergerai jatuh ke bahu. Ia tampak tenang, terlalu tenang.
“Sayang…” panggil Arman pelan.
Diva tidak menoleh, hanya diam. Arman mendekat dan duduk di sisi ranjang.
“Kamu kenapa?” Arman mencoba menyentuh pundaknya, tapi Diva sedikit bergeser.
“Tidak,” jawab Diva singkat, suaranya datar. “Kenapa?”
Arman menelan ludah. Ia tahu itu bukan jawaban biasa dari Diva. “Tadi kamu nggak tanya-tanya… biasanya kan kamu… cerewet.”
Diva menoleh perlahan, menatap Arman dalam diam beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Bang Arman, aku bukan anak kecil. Aku tahu kapan harus bertanya, dan kapan harus diam.”
“Aku cuma… khawatir kamu marah atau”
Diva memotong cepat, “Kenapa aku harus marah? Toh katanya hanya nganter ibu arisan, kan?”
Arman terdiam. Ia merasa jantungnya mulai berdetak lebih kencang. “Iya, iya… bener kok. Nggak ada apa-apa.”
Diva mengangguk sekali, lalu berdiri dan berjalan ke meja rias. “Kalau nggak ada apa-apa, ya sudah. Aku capek. Mau tidur.”
Arman tetap duduk, matanya mengamati gerak-gerik istrinya. Tapi dari cara Diva mematikan lampu, menyibak selimut, dan memunggunginya… ia tahu. Ada sesuatu yang tidak beres.
Dan ia semakin yakin… Diva tahu sesuatu.
Pagi itu, Arman bangun lebih awal dari biasanya. Ia melirik ke sisi tempat tidur kosong. Diva sudah bangun lebih dulu. Ia menghela napas panjang, lalu duduk di tepi ranjang, menatap lurus ke lantai.
"Ada yang berubah..." gumamnya.
Sepanjang pagi, Diva bersikap biasa. Terlalu biasa. Ia menyeduhkan kopi untuk Arman, menyiapkan sarapan, dan bahkan sempat bercanda ringan dengan Ibu hal yang jarang ia lihat
Tapi justru itulah yang membuat Arman semakin gelisah. Diva tidak sehangat biasanya, tapi juga tidak dingin. Dia... netral. Terlalu netral.
Usai sarapan, saat Diva keluar ke halaman menyiram bunga, Arman diam-diam masuk ke kamar. Ia mencoba mencari sesuatu apa saja yang bisa memberinya petunjuk. Laci-laci dibuka perlahan, lemari di cek satu-satu. Tidak ada yang aneh. Semuanya rapi, seperti tidak ada yang disembunyikan.
Ia lalu memeriksa ponsel Diva yang tergeletak di atas meja. Terkunci.
“Yah… jelas dia bukan orang bodoh,” gumam Arman, sedikit kesal. “Dia tahu cara menyembunyikan sesuatu.”
Arman berjalan mondar-mandir sebentar di kamar. Pikirannya semakin kalut. Ia tidak suka perasaan ini. Ia terbiasa mengendalikan situasi. Tapi sekarang? Ia seperti terjebak di permainan yang ia buat sendiri dan Diva... mulai bermain lebih halus.
Arini mulai merasakan ada sesuatu yang tidak biasa antara Bang Arman dan Kak Diva. Meski di hadapan keluarga mereka tampak tenang, bahkan terlalu tenang, justru itulah yang membuat Arini makin curiga.
“Ibu dan Abang bilang Kak Diva sudah kembali seperti biasa… tapi kenapa rasanya semua itu terlalu rapi, terlalu sunyi?” pikir Arini dalam diam.
Merasa ada yang perlu ia cari tahu lebih jauh, Arini pun memutuskan untuk kembali pulang ke kotanya. Lagipula, libur kuliahnya masih panjang. Ia memilih tinggal lebih lama di rumah dengan alasan ingin membantu Ibu, padahal diam-diam, Arini ingin mengamati lebih dekat. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik diam nya kakak iparnya itu dan ia yakin, waktu akan membongkarnya.
Bu Susan menatap Arini dengan tatapan setengah curiga, setengah kesal. Ia tahu betul gelagat anak bungsunya yang satu itu terlalu peka, terlalu peduli, dan kadang terlalu ikut campur.
"Aduh, kamu ini pulang-pulang malah bikin rencana ibu bisa gagal, Rin," ucapnya pelan tapi tajam.
Arini hanya tersenyum samar. “Arin cuma kangen rumah, Bu. Lagipula kan libur kuliah masih panjang.”
Tapi Bu Susan tak semudah itu percaya. Ia tahu, Arini tak pernah datang tanpa alasan kuat. Dan sekarang, kehadirannya di rumah justru terasa seperti ancaman bagi rencana yang sedang ia susun dengan rapat.
Arman mulai memperhatikan perubahan kecil yang tak biasa dari adik bungsunya. Arini yang biasanya ramai dan cerewet, kini lebih banyak diam, matanya sering mengamati, seolah menyimpan sesuatu.
Pagi itu, saat sarapan, Arman melirik Arini yang duduk sambil memainkan sendoknya, tak menyentuh makanan.
"Rin, kamu kenapa? Ada yang kamu pikirin?" tanya Arman, mencoba terdengar biasa.
Arini tersenyum kecil. "Nggak kok, Bang. Paling cuma jet lag dari kampus kesini," jawabnya ringan, tapi Arman bisa merasakan sesuatu yang lain.
Gerak-gerik Arini makin membuatnya gelisah. Kadang ia melihat adiknya itu bicara pelan di telepon lalu buru-buru menghindar ketika ia lewat. Bahkan semalam, Arman sempat melihat Arini berdiri cukup lama di depan kamar Diva, hanya berdiri, diam.
"Jangan-jangan Arin mulai tahu sesuatu," gumamnya pelan sambil menatap gelas kopinya.
Arini duduk di tepi ranjangnya, memandangi layar ponsel yang gelap. Pikirannya penuh tanda tanya sikap kak Diva terlalu tenang, terlalu damai, seperti orang yang menyimpan sesuatu.
"Kalau memang kak Diva sudah tahu semuanya… dia pasti butuh bantuan. Dan kalau belum tahu, aku harus jadi orang yang pertama kasih tahu sebelum semuanya semakin rumit," gumamnya pelan.
Ia melirik jam di dinding. Sudah hampir siang, dan seperti kebiasaan, Bu Susan akan pergi ke pengajian atau arisan hari itu. Saat rumah mulai sepi, Arini bersiap dengan rencananya.
"Nanti pas ibu pergi, aku bakal cari cara buat ngobrol langsung sama kak Diva. Nggak bisa cuma menebak-nebak. Aku harus tahu," bisiknya yakin.