Kehidupan Hana baik-baik saja sampai pria bernama Yudis datang menawarkan cinta untuknya. Hana menjadi sering gelisah setelah satu per satu orang terdekatnya dihabisi jika keinginan pemuda berdarah Bali-Italia itu tidak dituruti. Mampukah Hana lolos dari kekejaman obsesi Yudis? Ataukah justru pasrah menerima nasib buruknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pisau Bermata Dua
"Ini nggak bener, Kevin! Lo udah merusak cewek di rumah gue, dan sekarang lo ngajak yang lain buat ngelakuin hal serupa sama Alin. Apa otak lo udah eror?" sanggah Anwar dengan nada tinggi.
"Goblok!" Viktor menghajar wajah Anwar, lalu membiarkan Alin terlepas dari pangkuan temannya dan terjatuh ke lantai.
Anwar terhuyung-huyung, sambil memegangi rahangnya. Ditatapnya lagi pemuda bertato itu dengan tajam. "Viktor, lo berani ngehajar gue?!" sungutnya.
"Gue jijik sama orang sok suci kayak lo," kata Viktor memandang sinis dan meludah ke arah Anwar.
Sementara itu, Andra menyeret Alin masuk ke rumah. Adapun Yudis, menendang-nendang tubuh Alin yang sudah tak berdaya.
"Yudis, Andra, berhenti!" tegur Anwar sembari berbalik badan.
Yudis menoleh, lalu menghampiri Anwar dengan geram. "Mau lo apa, hm? Lo mau keluarga lo dibikin miskin?"
"Gue nggak takut miskin, Yudis. Yang gue takutkan itu nasib kalian," sanggah Anwar terengah-engah.
Alih-alih mengerti, pemuda blasteran Indo-Italia itu memukul wajah Anwar hingga meninggalkan luka lebam. "Nggak usah sok peduli! Sekali lagi lo menghalangi kesenangan kita, gue bikin keluarga lo miskin. Dan, lo tau apa yang lebih mengerikan? Gue bisa jual adik lo kapan saja ke luar negeri kalau lo sampai berani lapor ke polisi. Ngerti?"
Mendengar ancaman Yudis, Anwar tertunduk lesu. Pemuda itu berdiri di luar dengan tatapan nanar, menyaksikan keempat temannya berjalan menuju kamar dan kembali menyekap Alin. Sia-sia sudah penelusurannya untuk menyelamatkan teman satu kampusnya.
Kendati demikian, Anwar tak patah arang. Hana menjadi satu-satunya orang yang diharapkan bisa membantu melepaskan Alin dari keempat temannya. Sambil berjalan meninggalkan rumah tua itu, Anwar mengetik pesan untuk Hana dan mengirimkannya.
Sementara itu, Hana yang sedang sibuk menaruh pesanan pembeli ke nampan, merasakan ponselnya bergetar di saku celana. Diambilnya ponsel itu, kemudian membuka pesan dari nomor Anwar.
Anwar : Hana, Alin udah aku temukan.
Tercengang Hana membaca pesan yang diterimanya itu. Segera ia mengetik pesan balasan pada Anwar.
Hana : Yang bener? Di mana? Apa kamu berhasil selamatin Alin?
Anwar : Justru itu, aku ngabarin kamu karena gagal selamatin Alin.
Hana : Apa?! Terus, gimana keadaan Alin sekarang? Dia diculik sama siapa?
Anwar : Dia disekap di rumah lama teman aku. Namanya Kevin. Si Kevin ngajak tiga temen lainnya buat ngelakuin hal bejat sama Alin.
Sesak dada Hana membaca kalimat memilukan yang dikirim Anwar. Rasa was-was membelenggu jiwanya sehingga ia kesulitan berpikir jernih.
Hana : Kita harus gimana? Apa aku harus langsung lapor ke polisi?
Anwar : Sebaiknya begitu. Aku sekarang nggak berdaya. Mereka ngancam aku kalau aku sampai berani melapor ke polisi. Keluarga aku jadi taruhannya sekarang.
Hana : Iya, aku ngerti kok. Nanti aku cepat-cepat lapor polisi.
Anwar : Aku berharap banyak sama kamu, Hana. Keadaan Alin udah sangat menyedihkan.
Ketika hendak menutup ponsel, Santi menegur Hana untuk segera membawakan pesanan ke meja pembeli. Hana mengangguk cepat, lalu membawa nampan berisi dua cangkir kopi. Bagaimanapun juga, ia harus tetap profesional di tengah rasa cemas yang melanda batinnya.
Ingin sekali Hana segera pergi ke kantor polisi dan melaporkan penculikan Alin. Namun, kondisi kafe yang kedatangan banyak pengunjung, seakan tak memberinya kesempatan untuk pergi sebentar. Hana masih perlu bersabar sampai jam kerjanya usai.
***
Beranjak pukul sembilan malam, kondisi kafe perlahan sepi. Dari pintu masuk, tampak Yudis berjalan dengan santai menghampiri kasir dan memesan espresso. Pemuda itu lalu memilih kursi dekat jendela, sambil memandangi Hana yang begitu gelisah, meski kelihatannya sibuk di antara teman-teman seprofesinya.
Di sisi lain, Hana merasa geram mendapati Yudis begitu santai duduk di kursinya. Tangannya mengepal, seakan sedang menggenggam bara dendam.
Ketika kopi pesanan Yudis akan diantar oleh Santi, Hana segera merebut nampan dari tangan temannya. Dengan tergesa-gesa, ia menghampiri meja Yudis dan menaruh kopi espresso itu dengan kasar hingga menimbulkan riak di gelas.
"Katakan, apa yang sudah kamu lakukan pada Alin!" geram Hana menatap nyalang wajah tampan pemuda blasteran itu, sambil mengeratkan rahangnya.
"Kenapa kamu ingin tau, Hana? Apa kamu cemburu?" tanya Yudis, dengan tatapan mengejek.
"Aku nggak ingin berbasa-basi, Yudis. Apa kamu sudah menodai dia, ha? Katakan!" desak Hana, memelototi Yudis.
Yudis menyunggingkan senyum di satu sudut bibirnya, lalu menatap Hana lekat-lekat. "Kamu nggak perlu marah-marah begitu, Hana. Alin baik-baik saja."
"Tapi kamu sudah bersekongkol sama teman-teman kamu untuk menyekap dia. Aku tau itu!" tukas Hana.
"Kenapa kamu terus-terusan nyalahin aku? Semuanya terjadi secara kebetulan, sayang. Seandainya kamu menerima aku dari dulu, mungkin sekarang Alin tidak perlu menanggung hukuman dari keegoisan kamu. Iya, kan?" sanggah Yudis dengan tenang, lalu meneguk espresso hingga habis.
"Jadi, kamu menyalahkan aku atas perbuatan keji kamu itu?! Astaga!" sungut Hana, lalu mengembuskan napas berat.
"Kalau bukan itu, apa lagi? Aku nggak akan merusak pacar dan teman kamu jika kamu mau menerima aku," tegas Yudis menatap kedua mata Hana.
Hana membuang muka, sembari mendengus kuat. "Brengsek," umpatnya.
"Sekarang berhentilah menuduh aku sebagai penjahat. Kamu sendiri penyebab dari semua kejadian buruk ini. Bukankah itu sudah cukup jelas?" imbuh Yudis.
Hana menatap Yudis dengan tajam seraya mengancam, "Lihatlah apa yang akan aku lakukan sekarang juga! Aku akan melaporkan kamu sama teman-teman kamu ke polisi."
"Oh, jadi kamu berani melaporkan aku ke polisi? Oke. Berarti kamu bersedia melihat teman baik kamu mati sekarang juga dong, ya?" sanggah Yudis.
Terperangah Hana mendengar perkataan Yudis. "Apa?!"
"Berani melapor ke polisi sama saja dengan menyuruh aku menghabisi Alin. Apa perkataan aku ini kurang jelas?" tutur Yudis.
"Sudah cukup kamu menghabisi orang-orang yang aku sayang, Yudis! Kamu nggak boleh menghabisi Alin!" tegur Hana dengan suara gemetar.
"Oke. Kalau begitu, apa kamu bersedia jadi pacar aku dan menerima aku dalam hidupmu?" tanya Yudis sembari mengulas senyum.
Hana menghela napas dalam-dalam, lalu menatap Yudis dengan sinis. "Sampai kapan pun aku nggak akan pernah mau menerima pembunuh kayak kamu," tegasnya.
"Benarkah? Kamu masih belum mau menerima aku? Kamu nggak akan cemburu jika aku bermesraan dengan Alin?" tanya Yudis, berusaha menciptakan keraguan di hati Hana.
"Jangan macam-macam sama Alin!" bentak Hana.
"Aku nggak akan macam-macam, Hana. Aku hanya akan bermesraan dengan si cantik Alin saja," dalih Yudis.
"Sialan!" umpat Hana mengepalkan tangannya.
"Ah, atau begini saja. Bagaimana kalau kita habiskan malam ini berdua dan aku akan melepaskan Alin? Apa kamu setuju?" usul Yudis.
"Maksud kamu apa menghabiskan malam berdua? Sedikit pun aku tidak akan pernah menyerahkan diriku pada bajingan seperti kamu," tegas Hana menunjuk Yudis.
"Baiklah." Yudis mengangguk. "Sekarang, kamu mau gimana? Berusaha jadi pahlawan buat Alin?"
"Aku bakal lakuin apa pun buat bebasin Alin. Lihat saja nanti!" pungkas Hana, melengos ke dapur kafe.
Yudis memandang Hana dari jauh, lalu meninggalkan kafe membawa sejuta kecewa di dalam dada. Pria itu masuk ke mobil, lalu mengemudikan kendaraannya dengan cepat. Kekesalan masih menyelimuti hatinya setelah mendapatkan penolakan dari Hana.
Alih-alih pulang ke rumah untuk menenangkan diri. Ia mengunjungi rumah tua tempat Alin disekap. Dibukanya pintu kamar, lalu menyalakan lampu dan melihat Alin yang sedang meringkuk di sudut ruangan. Sontak, gadis itu menoleh dengan tatapan kosong.
"Teman kamu itu sangat payah. Nggak bisa diajak negosiasi," rutuk Yudis, sembari membuka kain yang menyumpal mulut Alin.
"A-Apa?! Jadi, kamu habis bertemu Hana? Di mana Hana?" tanya Alin sambil celingukan.
Yudis mencengkeram rahang Alin, seraya berkata, "Kamu masih berharap buat dibebaskan sama teman kamu, hm? Jangan harap!"
Berderai air mata Alin mendengar perkataan Yudis. Ia benar-benar putus asa semenjak Anwar gagal menyelamatkannya. Kini, Hana yang menjadi satu-satunya harapan, ternyata tak kunjung datang membawanya pergi dari sana.
Malam yang kejam masih belum berakhir bagi Alin. Penderitaan semakin panjang dengan menjauhnya harapan dari pelupuk mata gadis itu. Alin menghela napas dalam-dalam sembari memejamkan mata lebih kuat, seakan enggan menerima luapan nafsu Yudis yang gagal menjamah Hana.