Sea adalah gadis yang selalu menemukan kedamaian di laut. Ombak yang bergulung, aroma asin yang menyegarkan, dan angin yang berbisik selalu menjadi tempatnya berlabuh saat dunia terasa menyesakkan. Namun, hidupnya berubah drastis ketika orang tuanya bangkrut setelah usaha mereka dirampok. Impiannya untuk melanjutkan kuliah harus ia kubur dalam-dalam.
Di sisi lain, Aldo adalah seorang CEO muda yang hidupnya dikendalikan oleh keluarga besarnya. Dalam tiga hari, ia harus menemukan pasangan sendiri atau menerima perjodohan yang telah diatur orang tuanya. Sebagai pria yang keras kepala dan tak ingin terjebak dalam pernikahan tanpa cinta, ia berusaha mencari jalan keluar.
Takdir mempertemukan Sea dan Aldo dalam satu peristiwa yang tak terduga. Laut yang selama ini menjadi tempat pelarian Sea, kini mempertemukannya dengan pria yang bisa mengubah hidupnya. Aldo melihat sesuatu dalam diri Sea—sebuah ketulusan yang selama ini sulit ia temukan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Humairah_bidadarisurga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Sea tidak bisa tidur malam itu. Kata-kata Aldo terus berputar di kepalanya.
"Apa kamu mulai goyah, Sea?"
Ia menarik selimut hingga menutupi wajahnya. Hatinya benar-benar kacau. Jika ini hanya perjanjian, kenapa ia merasa semakin terikat? Kenapa setiap tatapan Aldo terasa seperti menelanjangi pikirannya?
Sea menggigit bibirnya. Ia tak boleh seperti ini. Jika ia mulai goyah, semuanya akan berantakan.
Tapi bagaimana cara menghentikannya?
***
Keesokan paginya, Sea memutuskan untuk pergi keluar sendirian. Ia butuh udara segar, butuh menjauh dari Aldo untuk sementara waktu.
Ia menghabiskan waktu di sebuah taman kota, duduk di bangku sambil menikmati es kopi. Dari kejauhan, ia melihat pasangan-pasangan berjalan beriringan, tertawa, dan menikmati kebersamaan mereka.
"Apa aku bisa merasakan cinta seperti itu?"
Ia terkekeh pelan. Pertanyaan bodoh. Bahkan ia sendiri tak yakin apakah ia percaya pada cinta.
Sea mengeluarkan ponselnya dan tanpa sadar membuka kontak Riko. Teman masa kecilnya itu masih sering mengirim pesan, meski Sea jarang membalas.
Tepat saat ia ragu apakah harus menghubungi Riko atau tidak, ponselnya bergetar. Nama Aldo muncul di layar.
Ia menghela napas sebelum menjawab. "Halo?"
"Di mana?" Suara Aldo terdengar datar, tapi ada sedikit nada otoritatif di sana.
Sea melirik sekelilingnya. "Keluar."
"Sendirian?"
"Ya."
Aldo terdiam beberapa detik sebelum berkata, "Aku jemput."
Sea membelalakkan mata. "Tidak usah! Aku bisa pulang sendiri."
"Aku jemput," ulang Aldo, kali ini lebih tegas.
Sambungan terputus sebelum Sea bisa membantah lebih jauh.
Ia mendesah, merasa seperti seorang remaja yang diawasi oleh orang tuanya.
Lima belas menit kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di tepi jalan. Jendela turun, memperlihatkan wajah Aldo yang dingin seperti biasa.
"Masuk," katanya singkat.
Sea menurut. Ia masuk ke mobil tanpa berkata-kata.
Aldo tidak langsung menjalankan mobil. Ia menatap Sea sejenak sebelum berkata, "Lain kali, beri tahu aku kalau mau pergi."
Sea melipat tangan di dada. "Aku bukan anak kecil."
"Dan aku suamimu," sahut Aldo. "Aku punya hak untuk tahu di mana kamu berada."
Sea menoleh, menatapnya tajam. "Kita menikah bukan karena cinta. Kenapa kamu harus begitu peduli?"
Aldo terdiam.
Lalu, alih-alih menjawab, ia menjalankan mobil tanpa berkata apa pun.
Sea menghela napas, bersandar di kursi, dan menatap keluar jendela.
Kenapa ia merasa semakin sulit memahami pria itu?
***
Malamnya, Sea duduk di balkon apartemen, menikmati semilir angin. Ia mencoba mengosongkan pikirannya, tapi semuanya terasa terlalu rumit.
Tiba-tiba, pintu balkon terbuka. Aldo keluar, membawa dua gelas anggur. Ia menyerahkan satu pada Sea sebelum duduk di kursi di sebelahnya.
"Aku tidak minum," kata Sea.
Aldo mengangkat bahu. "Ambil saja. Kalau tidak mau, biarkan di meja."
Sea mengambil gelas itu, tapi tidak berniat menyesapnya. Ia hanya mengamatinya dalam diam.
"Kamu terlihat gelisah," kata Aldo tiba-tiba.
Sea menoleh, menatap Aldo yang duduk santai dengan lengan bersandar di kursi.
"Kamu juga terlihat aneh hari ini," balas Sea.
Aldo menoleh padanya, lalu tersenyum tipis. "Aneh bagaimana?"
Sea menggigit bibirnya. Ia ingin menghindari tatapan itu, tapi entah kenapa, matanya tetap terkunci pada Aldo.
"Kamu seperti..." Sea berhenti, mencari kata yang tepat.
"Aku seperti apa?" Aldo mengangkat alis.
"Seperti seseorang yang mulai peduli."
Tapi Sea tidak mengatakannya. Ia tahu kalau ia mengatakannya, semuanya akan menjadi semakin sulit.
Jadi, ia hanya menggeleng. "Tidak ada."
Aldo menatapnya lama sebelum akhirnya menyesap anggurnya.
Dan Sea, untuk pertama kalinya, merasa bahwa ia benar-benar dalam masalah.
Karena ia takut jatuh.
Dan kali ini, ia tidak yakin apakah bisa menghindarinya.
***
Sea terbangun dengan perasaan aneh.
Semalam, setelah percakapan singkat di balkon, ia langsung masuk ke kamar dan mencoba tidur. Tapi pikirannya terus saja memutar ulang setiap tatapan, setiap kata yang Aldo ucapkan.
"Aku suamimu."
Kalimat itu terus terngiang. Kenapa Aldo mengatakannya dengan begitu serius?
Sea menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran itu. Ini hanya pernikahan kontrak. Tidak lebih.
Ia bangkit dari tempat tidur, mengenakan baju santai, lalu berjalan ke dapur untuk membuat kopi. Namun, langkahnya terhenti saat melihat seseorang di ruang tamu.
Seorang wanita.
Cantik, berambut panjang, dan mengenakan gaun merah elegan.
Sea berdiri kaku di ambang pintu dapur, menatap wanita itu yang tengah duduk santai di sofa.
Aldo berdiri tak jauh darinya, dengan ekspresi dingin seperti biasa.
Wanita itu melirik Sea sekilas sebelum tersenyum. “Oh, ini istrimu?”
Sea merasakan jantungnya berdebar tidak nyaman.
Aldo tidak langsung menjawab. Matanya bertemu dengan mata Sea, seolah menunggu reaksinya.
“Aku Nadine,” wanita itu memperkenalkan diri. “Teman lama Aldo.”
Sea mencoba tersenyum, meskipun ada sesuatu dalam dirinya yang menegang.
Nadine lalu bangkit, berjalan mendekatinya. “Aku tidak menyangka Aldo akhirnya menikah,” katanya sambil meneliti Sea dari ujung kepala hingga kaki. “Dan menikahi gadis muda seperti kamu… menarik.”
Sea bisa merasakan tatapan tajam terselubung di balik senyuman manis itu.
“Berapa lama kalian sudah menikah?” tanya Nadine tiba-tiba.
Sea membuka mulut, tapi Aldo lebih dulu menjawab, “Baru beberapa bulan.”
Nadine tersenyum miring. “Begitu.”
Sea tidak tahu kenapa ia merasa seperti sedang dihakimi.
Nadine kembali menatapnya sebelum akhirnya melirik Aldo. “Kalau begitu, aku akan menunggu kabar darimu.”
Lalu, tanpa mengucapkan apa pun lagi, wanita itu pergi.
Sea masih berdiri diam di tempatnya, tidak tahu harus berkata apa.
Aldo menatapnya. “Kamu kenapa?”
Sea mengerjapkan mata. “Siapa dia?”
“Sudah dibilang, dia teman lama.”
Sea menatap Aldo, mencoba membaca ekspresi wajahnya. “Mantan kekasih?”
Aldo mengangkat alis, lalu menyeringai kecil. “Cemburu?”
Sea mendengus. “Tidak juga. Aku hanya penasaran.”
Aldo menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Dulu, dia orang yang hampir aku nikahi.”
Sea terdiam.
Lalu Aldo menambahkan, “Tapi itu sudah lama sekali.”
Sea tidak tahu kenapa hatinya terasa sedikit… nyeri. Ia tidak punya hak untuk merasa seperti ini, kan?
***
Hari itu, Sea mencoba mengabaikan segala sesuatu yang berhubungan dengan Aldo. Tapi semakin ia mencoba, semakin pikirannya dipenuhi oleh pria itu.
Sial.
Sea akhirnya memutuskan pergi keluar untuk menghirup udara segar. Ia memilih berjalan ke tepi laut, tempat yang selalu membuatnya tenang.
Namun, ketenangannya tak berlangsung lama ketika ia melihat sosok yang sangat familiar—Riko.
Lagi-lagi, pria itu muncul di saat pikirannya kacau.
"Sea?"
Sea tersenyum kecil. "Hai."
Riko menatapnya lama sebelum akhirnya bertanya, "Kamu baik-baik saja?"
Pertanyaan itu… membuat Sea ingin tertawa. Ia bahkan tidak tahu apa yang harus ia jawab.
"Ya," katanya akhirnya.
Riko tidak langsung percaya. "Kamu yakin?"
Sea mengangguk, mencoba tersenyum.
Tapi entah kenapa, matanya terasa panas.
Ia cepat-cepat mengalihkan pandangan, tapi Riko lebih cepat.
"Tunggu," katanya. "Sea, ada apa?"
Sea menggeleng. "Aku hanya... lelah."
Riko masih menatapnya dengan khawatir.
"Aku bisa membantumu," kata Riko tiba-tiba. "Jika kamu merasa tidak bahagia—"
"Riko," potong Sea pelan. "Aku baik-baik saja."
Tapi bahkan ia sendiri tidak yakin dengan kata-katanya.
***
Malam itu, Sea pulang ke apartemen dengan perasaan yang lebih kacau.
Ia ingin tidur dan melupakan semuanya, tapi saat ia masuk ke kamar, Aldo sudah ada di sana.
Ia berdiri di dekat jendela, menatap pemandangan kota yang dipenuhi cahaya.
Sea menghela napas, lalu berkata, “Aku lelah.”
Aldo berbalik, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Aku juga.”
Sea mengerutkan kening. “Kenapa?”
Aldo berjalan mendekatinya. “Karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan denganmu.”
Sea menahan napas.
Aldo menatapnya dalam-dalam sebelum berkata, “Aku pikir aku bisa menjaga batas antara kita. Tapi ternyata… aku mulai melupakan batas itu.”
Sea merasa dadanya sesak.
Aldo menundukkan kepala, wajah mereka hanya berjarak beberapa inci.
“Sea,” bisiknya, suaranya rendah dan berbahaya. “Aku takut… aku mulai menginginkanmu lebih dari seharusnya.”
Dan Sea… tidak tahu apakah ia harus lari atau tetap tinggal.