Andai .... kata yang sering kali diucapkan di saat semua sudah berlalu. Di saat hal yang kita ingin gapain tersandung kenyataan dan takdir yang tidak bisa terelakan. Kadang aku berpikir andai saja waktu itu ibuku tidak meninggal, apakah aku masih bisa bersamanya? ataukah justru jika ibuku hidup kala itu aku bahkan tidak akan pernah dekat dengannya.
Ahhh ... mau bagaimana lagi, aku hanyalah sebuah wayang dari sang dalang maha kuasa. Mengikuti alur cerita tanpa tau akhirnya akan seperti apa.
Kini, aku hanya harus menikmati apa yang tertinggal dari masa-masa yang indah itu. Bukan berarti hari ini tidak indah, hanya saja hari akan terasa lebih cerah jika awan mendung itu sedikit saja pergi dari langitku yang tidak luas ini. Tapi setidaknya awan itu kadang melindungiku dari teriknya matahari yang mungkin saja membuatku terbakar. Hahaha lucu sekali. Aku bahkan kadang mencaci tapi selalu bersyukur atas apa yang aku caci dan aku sesali.
Hai, aku Ara. Mau tau kisahku seperti apa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamah Mput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
manipulatif
Ini hari ketiga aku dirawat di rumah sakit, selama itu pula Alan tidak memberi kabar atau menjengukku sekalipun. Aku sendiri enggan untuk menghubungi nya lebih dulu, karena aku tahu dia sedang marah.
Sebenarnya bukan karena takut dia sedang marah, aku hanya memang tidak ada niat untuk menanyakan kabar lebih dulu padanya. entahlah.
Saat sore tiba, mungkin sekitar pukul 15.40 wib, aku kedatangan tamu yang justru tidak pernah terduga. Angela, dia datang menjenguk saat mama dan Bryan ada di sana.
Mereka nampak terkejut atas kedatangan Angela. Bahkan mama terdiam seribu bahasa saat melihat wanita cantik itu.
"Kakak? Tahu dari siapa aku di sini." aku bertanya, mengawali obrolan karena sejak tadi Bryan dan Mama hanya diam.
"Alan yang memberitahu."
"Oh, begitu rupanya. padahal gak usah repot-repot, kak. Aku udah sehat kok."
"Gak repot sama sekali kok, Ra. Ini, kakak bawakan kue buat kamu."
"Malah bawa buah tangan segala, padahal kakak ke sini aja aku udah seneng."
Angela tersenyum begitu manis. Dia menggerakkan penggerak kursi roda yang ada di dekat tangannya. Dia menjauh dariku untuk menghampiri Mama.
"Tante, apa kabar?"
"Baik, Angela." Mama menjawab dengan terbata-bata.
"Kalian kenal di mana?" tanya Bryan dingin.
"Sama Ara?" Angela balik bertanya.
Bryan tidak menjawab.
"Kami kenal lewat Alan. Kebetulan Alan waktu itu membawa Ara ke studio, kami bertemu di sana."
"Oh, begitu rupanya." Bryan mendekatiku, lalu mencium kepala sisi kanan. "Abang pamit ya, kalau butuh apa-apa, kasih kabar aja."
"Iya, Bang. Hati-hati di jalan ya."
Bryan hanya tersenyum sambil mengusap pundakku.
"Ara, mama juga ke bawah sebentar ya. Mau beli makanan dulu."
"Loh, kok mama pergi? Mau ke mana?"
"Beli makanan sebentar," ujarnya dan langsung pergi begitu saja.
Angela menundukkan kepala seraya tersenyum getir.
"Kakak, makan kue nya barengan yuk."
Angela mengangkat kepalanya, lalu mendekat. Wajah yang semula ramah, kini berubah sangat jauh berbeda. Terlihat sorot kebencian di netra nya yang indah.
"Kamu bahkan bukan darah daging keluarga Adnan, tapi mereka ... Terutama Alan sangat menyayangi kamu."
"Kak, maksudnya apa?"
Angela menarik nafas dalam. Dia memindai seluruh tubuhku dari ujung kaki hingga kepala.
"Apa bagusnya kamu dibandingkan denganku?" ujarnya sinis sambil menatapku seakan merendahkan. Hal yang membuat aku terkejut adalah ....
"Kakak? Kakak bisa berdiri?" tanyaku gagap.
"Ya, ya, ya, selera Alan memang buruk belakangan ini. Pertama iren, sekarang kamu? Bahkan kamu masih anak bau kencur. Seberapa besar payudara kamu? Bahkan itu sangat memalukan jika dibandingkan dengan milikku."
"Gak sopan tau gak sih, Kak."
Dia berjalan santai sambil memegang ujung ranjangku. Mengetuk-ngetuk dipan besi itu.
"Ara ... Nama kamu terdengar kampungan dan pasaran. Astagaaa, Alan ada apa dengan otak kamu, sayang!"
Sayang?
"Kenapa? Kamu terkejut aku panggil dia sayang?"
Aku segera menggelengkan kepala cepat.
"Wajar, karena kakak pernah menjalin hubungan dengan kak Alan."
"Pernah? Hahahaha." dia tertawa sangat renyah dan menakutkan.
"Dia hanya untukku, dulu, sekarang ataupun nanti. Dia penyebab aku kecelakaan sampai ... Ya, semua orang tahu kalau aku ini lumpuh. Mau tidak mau, dia harus bertanggung jawab atas hidupku bukan?"
"Bukanya ...."
"Ku yang meminta putus dari Alan? CK CK CK, kamu itu masih anak kecil. Tidak tahu apa-apa sama sekali."
Dia kembali berjalan menuju kursi rodanya, lalu duduk dengan tumpang kaki sebelah.
"Jadi, Ara. Jaga sikap kamu, oke. Alan bukan kakak kamu, jadi kamu gak usah berlaga menjadi adik perempuannya. Aku ... Tidak suka."
"Apa kak Alan tahu kalau kakak bisa berdiri dan berjalan?"
"Jika dia tahu, itu pasti kamu yang membocorkan nya. Satu hal lagi, Ara. Jika sampai rahasia ini terbongkar, maka aku pun akan membongkar hubungan kamu dengan Alan seperti apa pada Lusy dan Adnan. Oh, iya, aku akan mengatakan hal ini pada eyang. Kamu tahu akibatnya apa? Alan yang akan diusir dari keluarga itu. Oke lah, jika kamu yang diusir, toh kamu memang bukan anak Lusy, tapi Alan?"
"Kok ada ya wanita selicik kakak di dunia ini. Ara terkejut bukan main. Rasanya seperti sedang melihat adegan sinteron."
"Kalau begitu, berakting lah yang baik Ara. jangan sampai peran kamu sebagai seorang anak bungsu keluarga Adnan, hancur."
"Oke, Ara gak akan bilang apa-apa sama kak Alan, toh kebohongan akan terungkap cepat atau lambat."
Angela mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum tipis.
"Ara, jangan lupa jika Adnan punya riwayat jantung. Bayangkan saja jika dia tahu kamu dan Alan pernah melakukan apa."
Deg!
"Kak, mau kakak apa?"
"Jauhi Alan. Jika status kamu adalah adiknya, maka bersiaplah sebagai seorang adik. Tidak lebih."
"Oke."
"Tu tu tu, anak baik." dia mengelus kepalaku.
"Lekas sembuh ya, Ara. Papay." wanita itu keluar dari ruang rawat inapku. Sungguh diluar dugaan bahwa wanita secantik Angela memiliki perangai yang sangat jauh berbanding terbalik.
"Jadi, selama ini kak Alan dibohongi sama dia? Bukan hanya kak Alan, tapi semua orang. Kalau dia memang masih cinta sama kak Alan, kenapa dia meminta putus waktu itu? Apa itu hanya sebuah kamuflase untuk menarik simpati semua orang?"
Kepalaku kembali berdenyut. Rasanya sangat berat dan sakit. Pikirku, jika aku berbaring dan tidur sebentar, maka rasa itu akan hilang. Nyatanya kepalaku semakin terasa sakit.
"Ra, ini mama bawakan makanan kesukaan kamu."
"Mah ...," panggilku dengan suara lirih.
"Sayang, kenapa? Apa yang sakit?" tanya Mama mendekat. Dia terlihat cemas melihat air mataku menetes.
"Kepala Ara sakit, Mama."
"Kepalanya sakit? Ara tunggu sebentar, ya, mama panggilkan dokter dulu."
Mama kembali meninggalkan aku sendiri di kamar.
"Bukan hanya kepala, Mama. Tapi hati Ara yang sakit. Hari Ara sakit membayangkan jika Ara harus putus sama kak Alan, hati Ara juga sakit jika mama dan papa tahu Ara dan kak Alan pacaran. Ara juga sakit jika terus mempertahankan hubungan ini, eyang akan mengusir kak Alan. Mama, Ara harus bagaimana? Ara minta maaf."
Dokter dan mama datang, mama semakin panik melihat tangisanku yang semakin menjadi.
"Dokter apa yang terjadi sama anak saya? tolong periksa dia dokter."
Mama begitu mencintaiku layaknya anak kandung sendiri. sementara aku? Aku malah berkhianat dengan menjalin hubungan kotor dengan Alan. Anak pungut tidak tahu diri.