"Jatuhkan mobilnya ke jurang sekarang juga!" Dalian mendorong pundak Ayah.
Jalanan licin membuat mobil tergelincir.
"Kyaaa!!!"
Semua orang menjerit saat mobil melaju liar menuju tepi jurang hingga ke dalam.
"Jedderr!! Jedderr!!" Petir menyambar.
Seakan meramalkan malapetaka yang akan datang.
Dan dalam kekacauan itu, terdengar suara di tengah hujan dan petir, suara yang hanya Dalian yang bisa dengar.
"Selamat datang, gadis berambut hitam."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gadis itu Bisa Bicara dengan Bijak
Di bawah terik matahari yang menerobos atap kantin sekolah, Dalian duduk di pojok meja bersama semangkuk mie ayam di depannya dengan ditemani sahabat sejatinya, Chelsey.
Sedotan sendok yang berulang kali ia lakukan tak sepenuhnya karena rasa lapar, melainkan lebih sebagai upaya mengalihkan pikiran.
Namun, setiap kali mie itu terangkat, bayangan Karel dari malam sebelumnya langsung menyergap pikirannya.
“Kenapa Karel bisa keren banget pas ngomong bijak gitu?” gumamnya tanpa sadar. "Jika dia ngomong gitu, dia kayak Kaya."
Bagi Dalian, meski Kaya terlihat sebagai kucing yang sangat menyeramkan, Kaya memiliki sisi lain yang membuat Dalian cukup terpesona. Sikap bijaksana dan cara dia menanggangi amarah Dalian dengan sikap tenang dan tidak mudah terpancing membuat Dalian merasa kagum.
Detik berikutnya, ia menggeleng keras hingga mie hampir tumpah dari mangkuknya. “Astaga, Dalian, lo mikir apa, sih?! Kaya itu cuma kucing jadi-jadian dan Karel hanyalah cowok culun yang menyebalkan. Gue jadi merasa terganggu. Huh!"
Sambil menepis pikiran konyol itu, matanya beralih ke Chelsey yang duduk di sampingnya. Dalian merasa ruwet sendiri sedangkan sahabatnya tenang-tenang saja menikmati makanannya.
"Elo kenapa, Dalian?" Tanya Chelsey.
Dalian diam.
"Dalian! Kok malah diem lihatin gue kek gitu? Serem tauk!" sinis Chelsey.
"Oh, enggak Chelsey. Aman kok."
"Beneran?" Kemarin, jelas-jelas Chelsey melihat sendiri bagaimana Dalian kehilangan inner child-nya saat proses pelepasan jiwa-jiwa itu.
Ia sempat khawatir bahwa kehilangan bagian penting dari diri sendiri itu akan meninggalkan luka mendalam. Tapi kenyataannya, Dalian terlihat begitu biasa saja meski sedang ruwet dengan pikiriannya sendiri.
Dalian menatapnya dengan tenang, meletakkan sendoknya di mangkuk. “Kenapa lo tanya gitu?”
Chelsey menggaruk bagian belakang kepalanya, canggung. “Maksud gue… lo baru aja kehilangan inner child lo. Bukannya itu hal besar?”
Alih-alih terlihat sedih, Dalian justru terkekeh kecil. “Chelsey, gue nggak ngerasa kehilangan. Justru sebaliknya, gue merasa lebih bebas.”
“Bebas?” alis Chelsey terangkat.
Dalian mengangguk, matanya bersinar cerah. “Inner child gue terjebak di situ karena ketakutan yang gue simpan sejak kecil. Tapi, pas ngelepas mereka… gue ngerasa kayak beban itu hilang. Sekarang gue bisa nerima diri gue apa adanya, tanpa perlu terlalu memikirkan masa lalu.”
Chelsey tertegun mendengar jawaban itu. Ia tak pernah memandang inner child dari sudut pandang seperti itu. “Jadi, lo nggak merasa kehilangan?”
“Enggak sama sekali,” jawab Dalian mantap. “Gue malah bersyukur. Gue tahu jiwa-jiwa itu kembali ke tempat yang seharusnya. Dan lo tahu apa yang bikin gue paling senang?”
“Apa?”
Dalian tersenyum lebar, penuh rasa syukur. “Melihat jiwa-jiwa inner child itu terbang bebas. Lo mungkin nggak ngerti, Chelsey, tapi rasanya kayak lihat harapan baru. Itu bikin gue percaya kalau gue juga bisa mulai sesuatu yang baru dalam hidup gue.”
Di dalam hati, Dalian merasa lega. Usahanya bersama Karel kemarin ternyata benar-benar membawa perubahan yang baik, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk jiwa-jiwa yang selama ini terperangkap.
Namun, sebelum ia bisa mengatakan apapun, suara Karel tiba-tiba muncul dari belakangnya. “Nah, lo lihat, Dalian? Seharusnya elo bisa lebih tenang, tapi selalu aja ngurus pikiran lo yang ribet itu?”
Dalian mendengus, menoleh dengan kesal. “Karel, lo ngikutin gue terus, ya?!”
Karel tertawa sambil menarik kursi dan duduk di sampingnya. “Bukan ngikutin, tapi gue tahu lo pasti bakal ngobrolin hal-hal mendalam lagi. Kayak biasa, gue datang buat nambahin dramanya.”
Chelsey hanya terkikik melihat interaksi keduanya, meski tahu Karel sering mengganggu.
Chelsey kembali mengernyit, bingung. “Dalian, tapi lo sendiri bilang kalau jiwa-jiwa inner child itu sepantasnya kembali ke pemiliknya. Kalau ada yang nggak mau, apa itu nggak melanggar aturan alam atau apalah itu?”
Dalian menghela napas panjang, memandang Chelsey dengan mata yang penuh ketenangan. “Kenyataannya, jiwa-jiwa inner child itu nggak bisa maksa balik kalau pemiliknya sendiri nggak siap. Mereka akan tetap berada di tempat yang aman, menunggu sampai pemiliknya siap menerima mereka lagi. Kayak sebuah buku diary yang lo sembunyikan di laci paling bawah. Lo nggak mau baca sekarang, tapi suatu hari nanti, mungkin lo akan.”
Chelsey termenung, mencoba mencerna kata-kata Dalian. “Jadi, lo pikir… mereka cuma ‘nunggu waktu’?”
Dalian mengangguk. “Iya. Dan lo tahu apa yang bikin gue yakin? Pas kita ngelepas mereka, gue sempat ngeliat salah satu jiwa itu nggak langsung terbang ke pemiliknya. Dia kayak melayang di udara, nunggu. Mungkin pemiliknya masih takut, atau bahkan lupa pernah punya inner child.”
Chelsey menatap mangkuk mie ayamnya, mendadak kehilangan nafsu makan. “Tapi kalau gitu… mereka kayak terjebak di limbo, dong? Bukan itu tujuan kita waktu ngelepas mereka.”
“Bukan,” Dalian menimpali dengan suara lembut. “Tapi itu bukan hal yang buruk juga. Inner child itu bagian dari mereka. Nggak akan pernah benar-benar hilang. Yang penting, kita udah ngelepas mereka dari tempat mereka terperangkap. Itu langkah pertama.”
Chelsey mengangguk pelan, meskipun pikirannya masih berkecamuk. “Tapi gimana kalau mereka nggak pernah siap? Kalau pemiliknya benar-benar menolak?”
Dalian tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. “Kalau gitu, mungkin mereka memang nggak butuh inner child-nya lagi untuk maju. Setiap orang punya cara sendiri buat sembuh atau melanjutkan hidup. Gue cuma percaya kalau jiwa-jiwa itu akan selalu mencari jalan terbaik, bahkan kalau itu berarti nggak pernah kembali.”
Chelsey menatap Dalian, merasa sedikit tenang, tapi juga bingung dengan kedalaman cara pikirnya. Di satu sisi, jawaban itu terasa masuk akal. Di sisi lain, ia masih merasa ada yang belum ia pahami sepenuhnya.
“Kadang, lo bijak banget, Dalian,” gumam Chelsey sambil meneguk es teh manisnya.
Dalian terkekeh kecil. “Hehe."
Karel, yang sedari tadi mendengarkan, tiba-tiba menyela dengan tawa lebar. “Nah, Dalian, ini kan yang gue bilang tadi malam. Lo suka ribet sendiri. Inner child kamu aja santai, kenapa lo nggak bisa?”
Dalian memutar bola matanya, meletakkan sendok di mangkuk. “Gue nggak butuh ceramah, Karel.”
“Tapi lo butuh gue buat nyelesein pikiran lo yang muter-muter,” sahut Karel sambil mengusap dagunya dengan gaya sok bijak.
Chelsey hanya tertawa kecil, membiarkan keduanya terlibat perdebatan ringan yang menghangatkan suasana kantin. Di dalam hatinya, ia merasa bersyukur bisa melewati hari-hari ini bersama Dalian dan Karel.
Meski inner child-nya telah ia lepas, Dalian merasa lebih utuh dari sebelumnya, seolah ada ruang baru dalam dirinya yang siap diisi dengan hal-hal baik.
Suasana di kantin yang semula riuh mendadak sunyi, seolah seluruh suara ditelan oleh kehadiran seseorang yang baru saja memasuki ruangan.
aku sudah mampir yah kak "Fight or Flight"