Perasaan mereka seolah terlarang, padahal untuk apa mereka bersama jika tidak bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Flaseona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Can We? Episode 02.
...« Habis nangis, Adek jadi mak comblang »...
Dengan percaya diri Arasya memesan semua makanan yang menurutnya enak. Tidak mungkin jika hanya makanan utama, Arasya juga memesan snack dan beberapa minuman untuk enam orang.
Gavan mengambil tempat duduk, Arasya yang menyuruh pria tersebut agar beristirahat sembari menunggu. Arasya yang hanya duduk saja merasakan lelah, apalagi Gavan yang menyetir.
“Di halaman piknik nomer berapa, Kak?” tanya sang kasir.
“Nomor lima. Langsung di bayar aja ya, Kak.” Ucap Arasya sembari menggeledah tas selempangnya.
“Hah, bentar...” Gumam Arasya, mencoba untuk mengatur nafas dan menekan kepanikannya.
“Kok gak ada...” Sudah berkali-kali ia mengecek tasnya, dari bagian depan hingga belakang. Tetapi hasilnya nihil. Baiklah, panik sudah tidak bisa ditekan Arasya. Mata gadis itu berkaca-kaca sembari mengumpati kebodohannya di dalam hati.
“Ih, kok bisa lupa sih...” Nada bicara Arasya bergetar tidak karuan. “Emm, Kak sebentar, ya...” Pamit Arasya pada sang kasir yang diangguki sopan.
Ia berlari kecil mendekati Gavan yang fokus menatap hamparan pantai dan pegunungan di sekitar.
“Mas Gavan....” Lalu tangis pecah detik itu juga.
Gavan yang mendengar isakan tangis Arasya dibuat terkejut setengah mati. “Adek? Kenapa, hei?”
Gavan bergegas beranjak untuk mendekati Arasya yang menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Kenapa ini, Dek?” tanya Gavan kebingungan, walaupun begitu dirinya menarik Arasya ke dalam pelukan.
Ini adalah pertama kalinya Gavan melihat Arasya menangis. Bahkan tangis yang harusnya mampir pada kematian kedua orang tua gadis itu, air mata tidak hinggap sama sekali di kedua mata Arasya. Lalu ini kenapa? Apa alasan di balik Arasya tiba-tiba menangis begini?
“Aku lupa bawa dompet, hiks.... Ketinggalan, padahal aku udah banyak pesennya... Hiks---hikss ini gimana, Mas...”
“Ya ampun....” Gavan menghela nafas panjang, lega. Sebab apa yang menjadi alasan Arasya menangis bukanlah hal yang berat.
Gavan menepuk pelan punggung Arasya, “cup-cup-cup... Udah gapapa. Pakai uang Mas dulu.”
Arasya semakin terisak, gosip yang didengarnya tempo lalu adalah tentang Gavan yang seorang pengangguran. Digadang-gadang akan menjadi perjaka tua pengangguran yang tidak laku. Apalagi didukung oleh adiknya yang sudah menikah dulu, Gavan di langkahi.
“Lho, kok tambah nangis? Nanti dikira Mas yang jahatin lho, Dek. Ayo, udah, Mas aja yang bayar.”
Akhirnya Gavan mengangkat Arasya, berjalan tertatih menuju kedai yang menjadi tempat Arasya memilih hidangan mereka.
“Cashless bisa, Kak?” tanya Gavan dan disetujui oleh sang kasir. Menerima kartu berwarna hitam yang tidak dilihat oleh Arasya. Gadis itu bersembunyi di pelukan Gavan.
“Terima kasih, Kak. Pesanannya akan di antar ke tempat, ya. Ditunggu.” Ucap kasir sangat ramah.
Gavan mengangguk sembari mengembalikan kartunya ke dalam dompet.
“Udah lho, Dek. Ayo balik, temen-temenmu nanti kecarian. Mau Mas gendong ini?”
Arasya menggeleng, lalu mengusap kasar wajahnya. Berusaha menghilangkan jejak air mata. “Kalau udah nyampe rumah, aku ganti ya, Mas. Makasih...” Ucapnya diselingi sesenggukan.
Arasya merasa tidak enak hati, pasti uang yang dipakai Gavan adalah uang tabungan pria tersebut. Arasya justru tanpa dosa meminjam dari Gavan. Ia Ingin menangis lagi rasanya.
Gavan yang diserang kegemasan hanya bisa mengacak rambut Arasya. “Kayak sama siapa aja. Yaudah, ayo.” Ajaknya, meraih tangan Arasya dan menggenggamnya.
Berjalan berdua menuju tempat yang sudah di pesan oleh teman-temannya. Kembali dalam keheningan, Arasya dan Gavan seakan hanya berbicara jika itu adalah hal penting. Selebihnya entah antara canggung atau nyaman.
“Wih, lama banget, Ra. Kamu pesen semua menu, ya?” tanya Elsa, ingin tahu.
“Hehehehe,” Arasya sudah berganti wajah. Kemurungan yang tadinya terlihat nyata kini sirna. Membuat Gavan tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya, merasa kagum.
Arasya mengambil duduk di samping Lina, dan Gavan menyusul. Duduk di belakang Arasya, seakan memberikan space kepada para perempuan untuk berbincang. Pria tersebut sibuk memainkan ponselnya.
Beberapa menit kemudian makanan datang, es kelapa yang harusnya adalah traktiran Arasya untuk Gavan hanyalah omong kosong. Mata Arasya kembali memanas, ingin menangis lagi.
Mereka memutuskan untuk fokus makan menu utama berupa ikan bakar. Arasya menghadap Gavan, menemani pria tersebut agar tidak merasa terasingkan.
“Sambelnya pedes, Dek. Jangan di makan banyak-banyak.” Peringat pria tersebut. Ia fokus melihat Arasya yang kesusahan memisahkan daging dan durinya.
“Kamu tuh, ya.” Gavan geregetan, kemudian mengambil alih pekerjaan Arasya. Dan dengan lancar tanpa kendala, Gavan berhasil membuat Arasya makan dengan nyaman.
Kenyang. Kondisi teman-teman Arasya kini seperti ikan terdampar di pesisir pantai, saking banyaknya makanan yang masuk ke dalam perut mereka.
“Mas tinggal dulu, ngerokok.” Pamit Gavan berbisik pada Arasya yang langsung di angguki oleh si empu.
“Mau kemana itu Masmu, Ra?” tanya Elsa lagi. Gadis itu memang ahlinya menggali informasi. Semuanya akan ditanyai hanya untuk menyuapi keingintahuannya.
“Ngerokok, El.” Jawab Arasya santai.
“Jomblo, Ra?” Dina berbisik, takut ketahuan.
Arasya mengangguk. “Iyaa, mau kah? Nanti aku bilangin.”
“Buat Kak Lina, Ra.. Sama-sama jomblo, sip, cocok itu mah.” Ujar Dina sambil mengacungkan kedua jempol.
“Ngawur kamu, Din. Gak ya, gak usah aneh-aneh.” Penolakan itu berbanding terbalik dengan wajah Lina yang bersemu merah.
Arasya yang melihatnya tertawa geli. “Tenang, Kak. Jalur dalam selalu menang, hihihihi.”
“Tapi beneran, Ra? Ganteng gitu masa jomblo...”
“Iya, Dina... Mami yang cerita sendiri, aku malah disuruh cariin siapa tahu kecantol sama seumuranku. Oh iya, Kak Lina umurnya berapa?”
“Aku mau jalan 29, Ra.”
“Lah, pas dong. Mas Gavan mau jalan 30 tahun ini. Ih, jangan-jangan ini beneran jodoh?” ucap Arasya kelewat girang. Ia harus cepat-cepat cerita pada Mami--- ibu dari dua bersaudara laki-laki, Gavan dan Devan.
“Wah, kayak cerita yang pernah aku baca, Ra. Kenalin aja udah, pasti berakhir bahagia.” Voni menimpali. Si gemar membaca. Apapun yang ada di dunia nyata, akan dikaitkan dengan alur dari sebuah novel yang ia baca.
Arasya mengangguk setuju. “Nanti dikenalin ya, Kak Lin.”
“Aduh, malu aku, Ra.” Ujar Lina sembari menepuk lengan Arasya.
“Ih, ngapain malu-malu segala. Trabas aja, Ra. Kalau butuh bantuan, tinggal panggil kita.” Dina justru yang lebih bersemangat, kasihan juga dengan kakaknya satu ini. Selalu menjadi bulan-bulanan keluarga besar karena belum juga menikah di usia yang sudah matang.
“Iya, Kak Lin. Biar kita bisa sering-sering mampir ke rumah Ara kalau Kakak lagi kencan sama Mas Gavan.” Elsa setuju, tetapi alasan yang diberikan sedikit tidak nyambung.
“Lah, apa hubungan Kak Lina kencan sama kita mampir ke rumah Ara?” Voni kebingungan.
“Kok kayak kamu bakalan ikut Kak Lina kencan ke rumah Mas Gavan. Tapi kitanya main ke rumah Ara deh, El.” Dina menepuk keningnya, merasa takjub dengan pemikiran Elsa.
Arasya tidak bisa menahan tawanya, sangat terhibur dengan tingkah teman-temannya yang kadang di luar nalar.
...« Terima kasih sudah membaca »...