Biasanya, perceraian dilakukan antara dua orang atas kesadaran masing-masing diantaranya.
Retaknya rumah tangga, hubungan yang sudah tidak harmonis lagi, dan perihal pelik sebagainya.
Namun berbeda yang dirasakan seorang model sekaligus Aktris cantik yang benama Rania. Tepat satu tahun di hari pernikahanya, Rania mendapat kejutan perceraian yang di lakukan suaminya~Pandu.
Tanpa memberi tahu Rania, Pandu langsung saja membuat konferensi pers terhadap wartawan, bahwa Rania adalah sosok wanita yang begitu gila karir, bahkan tidak ingin memiliki seorang anak pada wanita umumnya.
Rania yang saat itu tengah melakukan pemotretan di Amerika, tidak pernah tahu menahu, bahwa suami yang begitu dia cintai menceraikannya secara hina. Rania sendiri sadar, saat melihat berita dari televisi internasional.
Dan setelah kedatangn Rania ke tanah air. Dia baru tahu, jika gugatan cerai yang dia terima, semata-mata hanya untuk menutupi perselingkuhan Pandu dengan sahabatnya sesama model~Laura.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18~PPH
Aston terbangun saat mendengar ponselnya sejak tadi bergetar di atas meja ruang tengah. Dan benar saja, pria itu semalaman tidur diatas sofa ruang tengah, setelah hal yang dia perbuat semalam.
Perlahan, Aston mulai bangkit untuk duduk. Badanya terasa remuk saat tidur di sofa sempit seperti ini. Dia memegangi kepalanya, yang kini masih terasa sedikit berdenyut, akibat banyaknya alkohol yang dia minum semalam.
"Hem, ada apa?"
"Maaf Taun! Anda sudah di tunggu pak Pandu di kantor! Dia ingin bertemu anda pagi ini," ujar Angela sambil melirik benci kearah Pandu.
Mata Aston seketika terbuka lebar, dan langsung tersadar dari rasa malasnya bangun tidur.
"Baik!"
'Brengsek! Berani-beraninya dia menginjakan kaki di perusahaan Papah!'
Setelah itu Aston mematikan ponselnya. Dia langsung bergegas menuju lantai dua dengan langkah cepat.
Nadia yang baru saja menyajikan menu sarapan diatas meja, tanpa sengaja kedua matanya melihat Tuan mudanya, yang kini tampak tergesa saat menapaki anak tangga.
Seketika Nadia mengingat perbuatan Aston tadi malam, yang hampir merenggut harga dirinya. Ya, walaupun bibir Nadia yang menjadi korban kejahatan Aston.
'Ya ALLAH Gusti ... Bibirku sudah tidak suci lagi' batin Nadia sambil memegang bibirnya sendiri.
"Nad, kenapa dengan bibirmu? Perasaan sejak tadi pagi, simbok lihat selalu kamu sentuh? Apa ada yang sakit?" tegur mbok San, karena dia merasa aneh dengan sikap temannya itu.
Nadia tersenyum kuda, sambil menurunkan tanganya, "Ndak Mbok! Tukan nda kenapa-kenapa! Cuma tadi pagi rasanya gatal, kaya abis digigit semut gitu."
Mbok San hanya percaya saja, dan langsung mengangguk.
"Oh ya Nad ... Kamu kasih tahu Aden, kalau sarapannya sudah siap!"
"Simbok saja deh! Entah den Aston marah-marah kalau kamarnya saya masuki. Kalau sama Simbok kan nda berani! Nadia mau mencuci piring saja!"
Setelah itu Nadia langsung berlari kebelakang, mencoba menghindar tatap mata dengan Aston untuk sementara.
.
.
.
.
Sesampainya di perusahaan, Aston langsung bergegas menuju lantai 4, dimana ruanganya berada.
Sudut bibirnya sejak tadi sedikit terangkat keatas, sudah tidak sabar ingin menumpahkan segala kalimat keji kepada mantan iparnya itu. Entah mendapat mental dari mana, sehingga pria berusia 28 tahun itu berani menemuinya didalam perusahaan.
"Suruh dia langsung menemuiku kedalam!" bisik Aston kepada sang sekertaris.
Angela hanya menunduk sopan, lalu segera beranjak menghampiri kesebuah ruang, yang sejak tadi mantan suami Rania sudah menunggu disana.
"Tuan Aston sudah datang. Anda sudah ditunggu diruangan beliau!"
Pandu hanya melirik, lalu segera bangkit sambil menarik kerah jasnya. Entah terbuat dari apa wajah pria itu, seolah terasa tebal tanpa perasaan malu sama sekali.
KLEK!
mendengar suara pintu terbuka. Aston yang semuka dudui menghadap belakang, kini perlahan berputar kedepan sambil bertepuk tangan pelan.
Plok! Plok!
"Selamat datang di Perusahaan Ramos Group, tuan Pandu terhormat!" kata Aston sambil memperagakan sikap hormat, layaknya tamu besar yang datang.
'Brengsek!' umpat Pandu tertahan ditenggorokan saja.
"Tidak perlu basa basi! Kedatanganku kesini, aku meminta kau untuk menghentikan penyebaran videoku dengan Laura sekarang juga!"
BRAK!
Geram Pandu, yang kini menggebrak meja kerja Aston. Kedua matanya terhunus dalam, menyiratkan kebencian yang sudah mengakar hingga merambah sampai keujung darah.
"Tebal sekali wajahmu, hingga berani menginjakan kaki di perusahaanku! Apa kau sudah menggadaikan rasa malumu atas perintah Tua bangka, Mohan?" cibir Aston yang kini duduk kembali, sambil menumpuk kakinya diatas meja.
BRAK!
Pandu yang merasa geram karena sang kakek dihina, sontak saja menggebrak meja kerja Aston kembali. Emosinya sudah mulai terpancing, hingga deru nafasnya terlihat tak beraturan.
"Jangan pernah menyangkutkan apapun itu pada Eyangku! Sekarang hapus video itu, atau ku-"
"Atau apa?" Aston langsung saja menyela ucapan Pandu, dengan suara yang menggelegar kuat.
Pandu sedikit memajukan kepalanya, berharap nanti apa yang dia ucapkan akan membuat pria didepanya pesimis, dan merasa terkalahkan.
"Atau aku akan mengatakan kepada semua orang, jika kau hanyalah ANAK ANGKAT DALAM KELUARGA RAMOS!" balas Pandu menekan akhir kalimatnya.
Bukanya merasa terdebat, atau merasa kalah. Aston malah tertawa puas mendengar kalimat Pandu, seakan sedang mendengar sebuah lelucon garing.
"Dasar bodoh! Tidak punya otak! Pantas saja kau selalu dimanfaatkan oleh Tua bangka itu. Ternyata otakmu sama sekali tidak berfungsi!" cibir Aston menatap tajam.
"Aku tidak peduli kau mau berkata apa, Aston! Yang jelas, cepat lakukan apa yang aku ucapkan menyangkut video itu!" gertak Pandu mengunci tatapan tajam Aston.
"Mudah saja bagiku, jika kau dan gundikmu itu bersedia mencium kakiku, dihadapan para wartawan!"
"Brengsek-"
BUGH!
Niat hati mengumpat sambil menarik kerah Aston. Belum sampai, Aston lebih dulu memukul wajah Pandu dengan kuat.
"Cepat kalian keruangan saya!" ujar Aston kepada penjaga didepan.
Pandu hampir tersungkur, sambil menyeka darah diujung sudut bibirnya.
"Kau berani datang kesini, itu berarti kau sudah ingin mengantarkan nyawamu kepadaku, Brengsek!"
Ceklek!
"Seret ANJING ini keluar! Cepat!" teriak Aston kepada sang penjaga, setelah masuk kedalam.
"Ingat, Aston! Aku akan membalaskan semua ini pada Rania! Dan akan kupastikan hidupnya lebih menderita," balas Pandu menggeram, "Lapaskan! Saya dapat jalan sendiri."
"Silahkan keluar, mari!" ujar salah satu penjaga dengan wajah datarnya.
Aston kembali menjatuhkan tubuhnya diatas kursi kebesarannya, sambil menghela nafas dalam-dalam. Bisa saja dia langsung membunuh Pandu, namun untuk saat ini bukan waktu yang tepat.
Pikiranya saat ini langsung tertuju pada sang adik, yang sudah 2 hari belum juga dia hubungi. Dan hal itu membuatnya semakin cemas.
Sementara di Desa~Rania saat ini tengah dalam perjalanan kepasar tradisional bersama sang Nenek. Setelah tadi mengantarkan uang titipan dari Nadia, mereka langsung menuju pasar Banyumanik, dengan naik angkutan umum.
Malangnya Rania, karena sudah lama sekali tidak menaiki alat transportasi umum tersebut, dia terlihat resah sambil menaikan kerah kaosnya keatas, untuk menutupi sebagian wajahnya. Biasa angkot umum, ada yang membawa ikan, bawaan lainnya, bahkan rempah-rempah, yang kini baunya bercampur menjadi satu dalam mobil tersebut.
"Buk, buk ... Mbak itu kaya artis yang biasane tampil ning Tv ya?" ujar remaja perempuan sambil menepuk pelan paha ibunya.
Si ibu yang sedang membawa tas belanja anyaman itu, sempat melirik sekilas, namun mencoba dia enyahkan karena dia juga diajak ngobrol dengan ibu-ibu disebelahnya.
"Uwis diam nduk! Kasian mbaknya sejak tadi kamu lihatin, jadi ndak nyaman!"
"Lho bener, ini mbaknya kaya bule, ya? Atau memenag bule. Ini cucunya, mbah?" tanya salah satu ibu-ibu yang duduknya dekat Nek Fatonah
Mbah Fatonah hanya mengangguk sambil berkata, "Iya nduk! Kemarin dari kota. Tapi kalau Asrtis, ya ndak to! Cucune siMbah orang biasa," selak mbah Fatonah menghindarkan cucunya dari fans.
Sementara Rania, dia hanya tersenyum hangat sambil menunduk. Wajahnya masih dia tutupi dengan ujung kerahnya, hingga mereka berdua sampai di Pasar Tradisional.
"Walah Nek Uti ... Rania lupa ndak bawa masker! Kepiye iki?" ujar Rania merasa cemas.
Dia hanya takut jika beberapa orang masih mengenali wajahnya, walaupun penampilanya sekarang berbeda.
"Ada toko. Kita kesana wae, ayo ... Siapa tahu ada masker wajah!"
Mereka berdua ke ruko kecil terlebih dahulu untuk mencarikan Rania masker wajah.
Dari kejauhan, Raden dapat melihat Nek Fatonah bersama sang cucu, saat pria itu mengantarkan pekerjanya untuk belanja juga.
Raden yang saat ini tengah membawa motor, langsung saja menghentikan kendaraanya, sambil melepaskan helm dari kepalanya.
"Loh kok berhenti ning kene, cah Bagus!" tegur pekerja Raden yang seusia buleknya.
"Hehe ... Maaf ya buk! Bu Dini jalan sedikit ndak papa to! Saya mau beli karet gelang dulu. Ya wis, ya!"
Pekerja wanita itu mendesah dalam, lalu segera jalan menuju pasar, yang memakan waktu 5 menit dari pusat daerah parkir.
'Karet gelang? Gawe apa mas Raden mencarinya? Apa untuk mainan lompat gelang ya? Lha masak wis gede mainan lompat gelang! Ah mbuh lah'
.
.
Bersambung~
semangat ya tor🌹🌹
awal baca suka ceritanya 😍
ra dong aku !!!