Btari harus menjalani pernikahan kontrak setelah ia menyetujui kerja sama dengan Albarra Raditya Nugraha, musuhnya semasa SMA. Albarra membutuhkan perempuan untuk menjadi istru sewaan sementara Btari membutuhkan seseorang untuk menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya mengajar.
Sebenarnya Btari ragu menerima, karena hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Apalagi Btari menikah hanya untuk menutupi skandal Barra dengan model papan atas, Nadea Vanessa yang juga adalah perempuan bersuami.
Perdebatan selalu menghiasi Btari dan Barra, dari mulai persiapan pernikahan hingga kehidupan mereka menjadi suami-istri. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan kedua manusia ini?
Bagaimana jika keduanya merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing?
Hingga peran Nadea yang sangat penting dalam hubungan mereka.
Ini kisah tentang dua anak manusia yang berusaha menyangkal perasaan masing
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MALAM PERTAMA?
"Iya, Nad, kenapa?" Tanya Barra dengan lembut. Kini ia sudah berada di teras samping. Menjauh dari keramaian karena Nadea menelpon.
"Kamu tanya kenapa? Bar, ini hanya nikah kontrak. Namun kenapa semuanya terlihat sungguhan. Seolah-olah ini adalah pernikahan impian kalian berdua." Nadea terdengar sangat marah.
Barra menghela napasnya. Ia sendiri memaklumi kecemburuan Nadea. Karena seperti itulah rasanya ketika ia melihat Nadea menikah dulu. Wajah kekasihnya itu terlihat sangat bahagia.
"Ini tidak seperti yang kamu bayangkan, Sayang. Itu hanya formalitas tambahan. Keluargaku bisa curiga jika kami menolak untuk foto berdua." Jelas Barra.
"Dari kemarin kamu selalu mengutamakan pendapat dan perasaan keluargamu. Tidak pernah kamu mementingkan perasaanku. Apa itu yang namanya cinta?"
Barra memijit pelipisnya. Amarah Nadea membuatnya pusing.
"Ketika kamu menikah pun fotonya lebih dari itu, Nadea. Kamu bahkan berciuman dengannya saat malam resepsi. Aku bahkan tidak kamu beri penjelasan apapun."
"Ooh jadi kamu ingin mengungkit itu? Kamu tahu sendiri aku menikah karena perjodohan orang tuaku. Aku tidak punya alasan untuk menolak ciuman itu." Suara Nadea masih meninggi.
"Aku tidak bermaksud mengungkit itu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku tidak melibatkan perasaan dalam hubunganku dengan Btari. Aku mencintaimu, Nad. Tolong maklumi semuanya. Ini aku lakukan agar kita aman."
"Tapi mengapa harus seperti itu? Tidakkah kamu memikirkan aku ketika kamu bahkan mencium kening gadis itu?"
"Namanya Btari, Nadea. Aku-"
Terdengar Nadea tertawa sinis. "Kamu bahkan marah ketika aku malas menyebutkan nama gadis itu. Aku tidak peduli dengan nama dan siapa gadis itu, Bar. Aku hanya ingin bisa memastikan bahwa kamu dan dia tidak akan macam-macam." Kata Nadea.
"Sudahlah, Nad. Aku capek. Akan ku jelaskan semuanya ketika nanti aku pulang."
"Nggak. Aku nggak mau, Bar."
"Selamat malam, Nadea. Aku akan selalu mencintai kamu."
Barra segera memutuskan panggilan. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Kemarahan Nadea membuatnya semakin pusing.
Sementara itu, Btari kini sudah berada di kamar Raka. Mata gadis itu masih tertegun melihat hiasan yang berada di kamar itu terutama tempat tidur. Terlalu banyak kelopak bunga disana. Btari bingung akan tidur dimana. Mungkin ini akan terlihat romantis, namun tidak untuknya dengan situasi seperti ini.
"Kamu belum tidur?" Barra yang baru masuk kamar merasa heran karena Btari kini hanya diam memandang tempat tidur.
"Ruangan ini seperti ruangan pengantin baru. Akan lebih romantis jika yang menempatinya adalah dua anak manusia yang saling mencintai."
Barra menggaruk tengkungnya. Ia juga bingung. Apalagi keduanya hanyalah pasangan yang menikah karena kondisi yang memaksa. "Tampaknya mereka memang serius mempersiapkan ini." Ucap Barra sambil tersenyum kaku.
Btari hanya mengangguk tanpa menjawab. Ia berjalan ke sisi sofa, sengaja menjaga jarak dari ranjang yang sudah dihiasi dengan begitu indah. Ia merapikan jilbab dan gamisnya.
"Saya akan tidur di sini. Kamu bisa pakai ranjangnya." Kata Btari sambil menepuk-nepuk sofa.
Barra menghela napas, mencoba memecah ketegangan. Mana bisa ia membiarkan Btari tidur di sofa sementara ia tidur di ranjang? Lagipula ranjangnya cukup untuk tiga orang.
"Hmmh, Bi. Bukankah lebih baik kita tidur disini? Tempatnya juga luas. Kita bisa taruh bantal di tengah. Aku tidak akan macam-macam." Ujar Raka yang kini duduk di ranjang.
Maya berbalik, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Sebenarnya Btari tahu bahwa Barra tidak akan melakukan hal buruk padanya. Namun menjaga dirinya adalah kewajibannya. Bagaimana pun ini tidak seperti pernikahan pada umumnya. Btari bahkan masih memakai jilbab dan kaos kakinya.
Btari menunduk, menggenggam ujung jilbabnya erat-erat. Ia tidak terbiasa berada dalam situasi seperti ini—berdua di ruangan yang penuh simbol cinta, tetapi tanpa cinta yang sebenarnya. Apalagi kini ia hanya berdua dengan Barra.
"Saya tidak terbiasa... dengan ini." Cicitnya.
"Aku juga....tidak. Bagaimana pun ini pernikahan untukku." Kata Barra tidak sepenuhnya berbohong.
"Kamu dan kekasihmu? Yakin tidak pernah berdua di ruangan yang sama?"
"Pernah. Tapi mau kau percaya atau tidak, aku dan Nadea tidak pernah melakukan hal di luar batas. Aku menghargai dan menghormatinya."
Btari mengangguk pelan. Iya percaya kali ini. Jawaban Barra terdengar tegas. Btari kagum akan hal itu. Apalagi dengan gaya hidup keduanya yang sangat glamor dengan lingkungan yang seperti itu pula.
"Bi,"
"Iya?"
"Kamu mau keluar, ya? Maksudku jilbab dan kaos kakimu itu bukankah tidak apa-apa jika dibuka di depanku? Walaupun ajaran agama yang ku dapatkan itu minim, tapi sepertinya aku tahu itu."
Btari tersenyum simpul. "Iya. Kalau keadaannya tidak seperti kita sekarang. Rasanya terlalu aneh, Bar. Mungkin ini karena pernikahan kita hanyalah pernikahan sementara."
"Lalu kamu akan tidur seperti itu setiap malam?"
Btari mencari posisi nyaman. Ia meletakkan bantal sofa di pangkuannya. Lalu menatap Barra dengan serius.
"Tergantung. Kalau kita akan sekamar mungkin iya. Tapi kalau nantinya kita beda kamar, ya tidak."
"Mengapa? Kita sudah sah di mata agama dan negara. Kita bahkan sudah berpelukan bahkan aku juga sudah mencium ke-" Bantal sofa dengan cepar mendarat di wajah Barra.
"Tutup mulutmu, Bar. Jangan ungkit itu lagi!" Btari malu jika ada yang mengungkit itu.
Melihat wajah Btari yang memerah seperti tomat, Barra tertawa pelan. Sesaat kemudian, keduanya hanya duduk di tempat masing-masing, tenggelam dalam pikiran mereka. Akhirnya, Barra mengangkat tangan seolah menyerah.
"Baiklah. Aku tidur di sofa, kamu di ranjang. Jadi tidak ada yang perlu merasa canggung lagi, kan?" Kata Barra yang lansung berdiri.
Btari mendongak, terkejut dengan usulannya. "Nggak, Bar. Lagipula ini kamarmu. Saya bahkan sudah terbiasa tidur di sofa. Bahkan ketika butuh banyak foto, saya sering tidur di tenda."
"Kali ini tidak, Btari. Mau bagaimana pun aku tidak mungkin membiarkan perempuan tidur di sofa sementara aku di ranjang."
"Ya sudah, kita berdua tidur di ranjang. Tapi dibatasi dengan guling." Usul Btari dan Barra langsung mengangguk setuju.
Akhirnya Btari beranjak dari sofa dan mengambil sisi kanan ranjang sementara Barra di sisi kiri. Btari segera meletakkan guling di tengah mereka.
"Ini batasnya, Bar. Jangan melewati ini." Kata Btari mengingatkan.
Barra mengangguk sambil tersenyum tipis. "Siap, Bos." Sahutnya.
Btari tertawa pelan. Mereka berbaring, masing-masing memunggungi satu sama lain. Tapi, setelah beberapa menit berlalu, tidak ada tanda-tanda kantuk menghampiri. Sunyi terasa menyesakkan, hanya diiringi suara napas mereka yang terdengar canggung. Hingga akhirnya Barra memilih mengubah arah tidurnya. Ia menatap langit-langit.
"Lucu ya, kita dulu saling benci di sekolah. Siapa sangka kita bisa sampai di titik ini?"
Btari menghela napas, teringat masa SMA mereka yang penuh persaingan.
"Iya, siapa sangka dulu jadi musuh sekarang malah jadi... suami." Btari merasakan hal aneh ketika menyebutkan Barra 'suami.
Barra tertawa kecil. Hidup memang penuh misteri. Dulunya malas berurusan dengan Btari sekarang malah meminta bantuannya.
"Kamu tuh terlalu ambisius waktu itu. Apa-apa mau jadi yang pertama. Aku hanya berusaha menyeimbangkan keadaan." Ucap Barra.
Btari memutar tubuhnya sedikit, menatap ke arah Barra yang kini telentang. "Saya? Ambisius? Kamu lupa siapa yang selalu minta remidi dulu cuma biar nilainya lebih bagus dari saya?"
Tidak terima dibilang seperti itu, Barra pun mengubah posisinya ikut menatap ke guling. Namun kini yang dilihatnya adalah wajah Btari yang juga menatapnya.
Barra terdiam sebentar. Mata bulat itu kini menatapnya dengan tatapan yang...lebih bersahabat dari kemarin-kemarin.
"Nah malah diam. Berarti memang benar. Dasar!" Kata Btari sambil tertawa kecil.
"Hei, itu strategi. Kalau aku langsung dapat nilai sempurna, kamu bakal kehilangan motivasi untuk bersaing. Aku cuma ingin kamu tetap semangat." Ujar Barra membela dirinya sendiri. Namun tawa tetap menghiasi obrolan nostalgia mereka.
Btari menatapnya dengan tatapan tidak percaya, tapi ia tidak bisa menahan senyum kecil.
"Strategi, katanya. Saya bahkan yakin kamu sebenarnya kesal karena saya selalu lebih unggul di beberapa mata pelajaran terutama lomba debat. Timmu bahkan kalah ketika seleksi Lomba Cerdas Cermat 4 Pilar."
"Oke, aku akui itu. Tapi itu hanya LCC. Jangan lupa aku selalu unggul darimu di matematika."
Btari tersenyum, mengingat betapa sengitnya mereka saat berdebat di depan kelas atau bahkan saat lomba sekolah.
"Iya kamu memang jagonya kalau soal hitung menghitung. Tapi tetap saja, saya yang pertama selama empat semester di angkatan kita."
Btari, gadis keras kepala itu tampaknya memang tidak membiarkan Barra menang "Kamu tuh keras kepala banget. Tapi mungkin itu yang bikin kamu menarik."
Raut wajah Btari berubah. Ia terdiam sejenak, merasa kata-kata Batra barusan sedikit melunak dibanding nada bercanda sebelumnya. Ia menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan rasa aneh yang tiba-tiba muncul.
"Karena saya memang lebih unggul darimu" Kata Btari yang langsung menepis rasa aneh itu.
Raka tertawa keras hingga kembali menatap mata bulat itu. "Ya ampun, Bi, kamu benar-benar nggak bisa biarkan aku menang sedikit pun, ya?"
Keduanya kini saling tertawa membayangkan bagaimana interaksi mereka dulu.Percakapan terus berlanjut hingga tengah malam. Suara tawa kecil mereka sesekali memenuhi ruangan, perlahan mengikis kecanggungan yang sebelumnya meliputi mereka. Meski masih ada batas berupa guling di antara mereka, malam itu terasa lebih ringan, seolah nostalgia masa lalu memberikan jeda dari kenyataan rumit yang kini mereka jalani.
Walaupun malam pertama mereka terlihat berbeda dengan malam pertama yang lainnya, namun setidaknya kini Btari sudah mulai melunak pada Barra.
ceritanya kayak beneran, jd senyum" sendiri