Di ruang tamu rumah sederhana itu, suasana yang biasanya tenang berubah menjadi tegang.
"Ummi, Abiy, kenapa selalu maksa kehendak Najiha terus? Najiha masih ingin mondok, nggak mau kuliah!" serunya, suara serak oleh emosi yang tak lagi bisa dibendung.
Wajah Abiy Ahmad mengeras, matanya menyala penuh amarah. "Najiha! Berani sekarang melawan Abiy?!" bentaknya keras, membuat udara di ruangan itu seolah membeku.
"Nak... ikuti saja apa yang Abiy katakan. Semua ini demi masa depanmu," suara Ummi Lina terdengar lirih, penuh harap agar suasana mereda.
Namun Najiha hanya menggeleng dengan getir. "Najiha capek, Mi. Selalu harus nurut sama Abiy tanpa boleh bilang apa yang Najiha rasain!"
Amarah Abiy Ahmad makin memuncak. "Udah besar kepala rupanya anak ini! Kalau terus melawan, Abiy akan kawinkan kamu! Biar tahu rasanya hidup tak bisa seenaknya sendiri!" ancamnya dgn nada penuh amarah.
mau lanjut??
yuk baca karya aku ini🥰🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Haidar?
Setelah selesai makan malam, Najiha duduk diam di kursi penumpang mobil. Ekspresinya dingin, namun sorot matanya menunjukkan rasa tidak nyaman.
Ia memandangi jalanan dari balik jendela yang dipenuhi gemerlap lampu kota.
“Om…” suara Najiha akhirnya terdengar, memecah keheningan.
“Kenapa om nggak bilang sih kalau kita bakal dinner sama keluarganya Haidar?” Nadanya terdengar seperti protes, tapi tetap berusaha menahan emosi.
Om Malik melirik ke arahnya sekilas sambil mengemudi. “Hmmm… Kalau om bilang, kamu pasti nolak, kan?” jawabnya santai, sedikit tersenyum.
Najiha mendengus. “Tapi tetap aja, om harus kasih tahu!”
Om Malik terkekeh pelan. “Lagipula, om nggak tahu kalau kamu satu kelas sama Haidar.” Ucapannya terkesan enteng, seolah masalah ini hal kecil.
Najiha memutar bola matanya. “Ihh… ngeselin banget sih, om!” keluhnya sambil menyilangkan tangan di dada.
Melihat reaksi Najiha, Om Malik hanya tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
Namun, Najiha memilih memalingkan wajah ke jendela, jelas menunjukkan kekesalannya.
Setelah beberapa saat, Om Malik bertanya dengan nada penasaran. “Kenapa, sih? Kok Najiha kayak nggak suka banget sama Haidar?”
Najiha menghela napas berat. “Bukan nggak suka, om. Tapi orang itu tuh ngeselin banget. Sok keren, usil
, dan sering banget bikin keributan di kampus,” jawabnya tegas, suaranya dipenuhi ketegasan dan sedikit rasa sebal.
Om Malik mengangguk pelan, bibirnya melengkungkan senyuman tipis. “Hmmm… Haidar-Haidar… Ternyata sikapnya masih sama kayak dulu,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Najiha yang mendengar itu langsung menoleh dengan tatapan curiga. “Apa maksudnya, om? Om kenal dia?” tanyanya, nada dinginnya mulai tercampur dengan rasa ingin tahu yang mendalam.
Om Malik tampak terkejut dengan reaksi Najiha. Ia berdeham gugup. “E-eh… Maksud om, ya nggak ada apa-apa. Cuma gitu aja,” jawabnya tergagap, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Tatapan Najiha semakin tajam. “Om ini ya, suka rahasia-rahasiaan sama aku. Oke, kalau gitu nggak usah cerita,” ucapnya ketus, menyandarkan punggung ke kursi sambil kembali memalingkan wajah.
Om Malik menggelengkan kepala, sedikit panik. “Enggak kok, Naj. Serius, nggak ada yang disembunyikan. Jangan mikir yang macam-macam,” bujuknya.
“Hmph… Om kira aku nggak tahu? Pasti ada sesuatu yang om nggak mau aku tahu,” balas Najiha dingin, membuat Om Malik terdiam.
Mobil berhenti di depan apartemen Najiha. Suasana hening sejenak sebelum Om Malik akhirnya berkata pelan, “Kita sudah sampai.”
Tanpa menoleh, Najiha membuka pintu mobil. “Assalamu’alaikum,” ucapnya singkat, suaranya dingin seperti es.
“Naj…” Om Malik mencoba memanggilnya, tapi Najiha sudah keluar dan berjalan cepat menuju apartemennya.
“Wa’alaikumsalam,” gumam Om Malik, menatap punggung keponakannya yang menjauh. Ia menghela napas berat sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Najiha… Najiha… Tetap sama keras kepalanya. Tapi ya, dia memang seperti itu dari dulu,” ucapnya pelan pada dirinya sendiri sebelum melajukan mobil menuju rumah.
......................
Setibanya di apartemen, Najiha langsung melepas kerudung dan mengganti pakaiannya dengan piyama panjang berwarna biru gelap.
Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai. Ia duduk di kursi dekat meja belajar, menatap bayangannya sendiri di cermin dengan ekspresi dingin.
“Ada sesuatu yang mereka sembunyikan dari aku. Aku harus tahu,” gumamnya dengan suara rendah, penuh tekad.
Ia membuka laptop yang ada di meja, jari-jarinya lincah mengetikkan kata kunci di kolom pencarian.
Matanya menatap layar penuh fokus. “Kalau mereka nggak mau cerita, aku akan cari tahu sendiri,” ucapnya, kali ini dengan nada lebih serius.
Setelah beberapa menit, ia berpikir keras. “Apa nama SMA Haidar dulu, ya?” tanyanya pada dirinya sendiri, mencoba mengingat. Lalu ia teringat sesuatu. “SMA Cakrawala,” jawabnya pelan sambil mengetik nama sekolah itu di mesin pencari.
Beberapa artikel lama muncul di layar. Salah satu judul artikel langsung menarik perhatiannya. “Tahun 2024… SMA Cakrawala diserang geng motor?” Najiha membaca judul itu dengan suara nyaris berbisik.
Ia mengklik artikel tersebut dan membaca dengan cepat. “Dua siswa SMA Cakrawala dibunuh… Siapa mereka?” bisiknya, matanya membesar.
Namun, setelah membaca lebih lanjut, ia merasa ada yang aneh. “Kenapa nggak ada nama mereka di berita ini?” keluhnya, nada kesalnya semakin terdengar jelas.
Ia mencoba menggali informasi lebih jauh. Artikel demi artikel ia buka, tapi jawabannya tetap tidak ia temukan.
Rasa frustrasi mulai muncul. “Kenapa semua informasinya nggak lengkap? Apa ini sengaja dihapus?” pikirnya keras.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, namun Najiha belum juga berhenti. Ia menahan rasa kantuk sambil terus mencari.
“Aku yakin ini ada sesuatu yang besar… sesuatu yang mereka sembunyikan,” ucapnya gigih, meski matanya sudah mulai berat.
Akhirnya, rasa lelah mengalahkan tekadnya. “Ya Allah, aku ngantuk banget…” katanya pelan sambil bersandar di kursi. Tak lama, Najiha tertidur di meja dengan kepala tertunduk dan laptop masih menyala di depannya.
Cahaya layar laptop menerangi wajahnya yang tampak kelelahan, namun tetap menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan.
Ada misteri besar yang ingin ia pecahkan, dan Najiha tahu ini baru permulaan.
......................
Keesokan harinya
Najiha bangun lebih pagi dari biasanya. Meski matanya terasa berat akibat begadang semalam, ia tetap bersiap ke kampus.
Sesampainya di sana, ia masuk ke kelas lebih awal, bahkan sebelum teman-temannya datang.
“Duh… masih ngantuk lagi nih mata,” gumamnya kesal pada dirinya sendiri. Ia melemparkan tasnya ke meja, duduk dengan malas, dan segera menyandarkan kepala ke lengan, berniat tidur sejenak.
Namun, belum sempat ia terlelap, terdengar suara ketukan di pintu kelas.
Tok tok tok…
Najiha mengernyitkan dahi, tapi tetap tak menoleh. “Ihh, ganggu aja,” ucapnya ketus, matanya masih terpejam.
Tok tok tok…
Kali ini lebih keras. Najiha mendengus kesal sambil mendongak sedikit. “Astaghfirullah… siapa sih?!” keluhnya dengan nada emosi.
Ketukan ketiga terdengar lebih keras, membuat darahnya mendidih.
“Berisik!!!” teriaknya sambil menatap tajam ke arah pintu.
Tiba-tiba, pintu terbuka dengan suara berderit pelan, dan muncul Haidar dengan seringai tengilnya.
“Whahahah… Lu ngantuk ya, Naj?” ucapnya sambil tertawa lebar, menikmati kekesalan Najiha.
Melihat wajah Haidar, Najiha langsung mendengus, mencoba menahan emosinya.
“Ih, dasar!” ucapnya dingin, menatap Haidar penuh rasa sebal.
Haidar melangkah masuk dengan santai, lalu duduk di kursi sebelah Najiha. Senyum jahilnya masih terpatri.
“Aduh… maaf ya, Ratu ku!” ucapnya sambil berpura-pura membungkuk, seolah meminta maaf seperti seorang pelayan kepada ratu.
“Ratu-ratu!!” balas Najiha ketus. Ia langsung membalikkan badan, membelakangi Haidar sambil memiringkan kepalanya ke meja. Ia menutup mata, mencoba mengabaikan kehadiran Haidar.
Namun, Haidar belum selesai mengganggunya. “Naj? Lo ngantuk, ya? Serius nih?” tanyanya, masih dengan nada jahil.
Najiha tetap diam, tak berniat menanggapi. Ia tahu, semakin ia merespons, semakin besar peluang Haidar untuk melanjutkan gangguannya.
Haidar mendekatkan wajahnya sedikit. “Naj? Masa ratu gue capek begini? Apa perlu gue bantu pijit?” ucapnya dengan nada pura-pura prihatin, sambil menahan tawa.
Najiha akhirnya membuka matanya sedikit, menatap tajam ke depan.
Dalam hati, ia bersumpah," Kalau aku nggak ngantuk, udah aku lempar kursi ini ke mukanya! " ,Tapi ia memilih tetap diam, berharap Haidar lelah sendiri.
Haidar tersenyum lebih lebar, merasa puas bisa mengusik Najiha pagi itu.
“Baiklah, Ratu. Tidur aja, biar gue jagain,” ucapnya dengan suara pelan namun penuh ejekan, sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.
Najiha menggigit bibirnya pelan, menahan diri untuk tidak terpancing. "Ya Allah, beri aku kesabaran menghadapi manusia ini"batinnya. Namun, ia tetap diam, menutup matanya, mencoba kembali ke niat awalnya untuk tidur.
Haidar hanya tersenyum sambil menatapnya. Ada sesuatu di balik sikap jahilnya, seolah menikmati momen kecil seperti ini bersamanya.