NovelToon NovelToon
CINTA Di Ujung PISAU

CINTA Di Ujung PISAU

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Mengubah Takdir / Fantasi Wanita
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Nona Rmaa

Elina Widiastuti, dengan rambut sehitam malam yang terurai lembut membingkai wajahnya yang cantik jelita, bukanlah putri seorang bangsawan. Ia hidup sederhana di sebuah rumah kecil yang catnya mulai terkelupas, bersama adik perempuannya, Sophia, yang masih belia, dan kedua orang tuanya. Kehidupan mereka, yang tadinya dipenuhi tawa riang, kini diselimuti bayang-bayang ketakutan. Ketakutan yang berasal dari sosok lelaki yang menyebut dirinya ayah, namun perilakunya jauh dari kata seorang ayah.

Elina pun terjebak di pernikahan tanpa dilandasi rasa cinta, ia pun mendapatkan perlakuan kasar dari orang orang terdekatnya.

bagaimana kelanjutannya?

silahkan membaca dan semoga suka dengan ceritanya.

mohon dukung aku dan beri suportnya karena ini novel pertama aku.
jangan lupa like, komen dan favorit yah 😊
kunjungan kalian sangat berarti buat aku. see you

selamat membaca


see you 😍

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Rmaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13

Sepanjang perjalanan pulang, Elina bersandar pada kursi mobil Ryan, matanya masih sembab. Luna duduk di sampingnya, sesekali menggenggam tangan Elina, memberikan dukungan diam-diam. Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya diiringi alunan musik lembut dari radio. Ryan sesekali melirik ke spion, memastikan Elina baik-baik saja. Ia tahu Elina masih merasa lelah dan butuh istirahat.

Sesampainya di rumah Elina, Ryan membantu membawakan tas dan barang-barang Elina dari mobil. Luna membantu Elina masuk ke dalam rumah, menuntunnya ke kamar tidur. Ryan menunggu di ruang tamu, menawarkan bantuan jika dibutuhkan. Ia merasa lega melihat Elina sudah berada di rumah dengan aman.

Kehadiran Ryan dan Luna sungguh berarti bagi Elina. Dukungan mereka berdua memberikan Elina kekuatan untuk melewati masa pemulihannya. Ryan, dengan perhatiannya yang tulus, membuat Elina merasa dihargai dan diperhatikan, bukan hanya sebagai karyawan, tetapi juga sebagai seorang manusia. Perhatian Ryan yang tulus ini semakin mempererat ikatan persahabatan mereka. Luna, sahabat karibnya, selalu ada di sisi Elina, memberikan semangat dan dukungan tanpa henti.

.

.

Keesokan harinya, Ryan kembali mengunjungi Elina. Ia membawa makanan kesukaan Elina dan beberapa buku bacaan untuk menemani Elina selama masa pemulihannya. Elina merasa sangat beruntung memiliki teman dan bos sebaik Ryan dan Luna. Perhatian dan kepedulian mereka berdua menjadi penyemangat baginya untuk segera pulih dan kembali beraktivitas seperti sedia kala.

Senyumnya yang ramah dan hangat masih terbayang jelas di benak Elina. Namun, di balik senyum ramah itu, Luna dan Sophia merasakan sesuatu yang janggal.

Ryan, yang dikenal ramah dan murah senyum kepada semua orang, terlihat memberikan perhatian berlebih kepada Elina selama dirawat. Perhatiannya yang tulus dan seringkali datang tanpa diminta, membuat Luna dan Sophia merasa ada yang tidak beres. Bukannya Ryan selalu sibuk mengurus restoran? Mengapa ia meluangkan begitu banyak waktu untuk menjenguk Elina?

"Dia terlalu… perhatian, Lin," bisik Luna setelah mobil Ryan menghilang. Sophia mengangguk setuju, matanya masih tertuju pada pintu gerbang. Perhatian Ryan yang berlebihan, berbeda dengan sikapnya yang biasanya ramah namun menjaga jarak profesional.

"Mungkin dia memang baik hati," kata Elina, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun, keraguan masih menghantuinya.

"Tapi, Lin," Luna melanjutkan

"perhatiannya itu… berbeda. Rasanya… dipaksakan, atau ada tujuan tersembunyi di baliknya."

Sophia menambahkan,

"Aku juga merasakannya, Kak. Terlalu sempurna. Senyumnya terlalu… manis."

Ketiga perempuan itu saling bertukar pandang. Kecurigaan mereka bukan didasarkan pada ketidaksukaan terhadap Ryan, melainkan pada perubahan perilaku yang tidak biasa dari seorang bos yang biasanya ramah namun menjaga batasan profesional. Perhatian Ryan yang berlebihan, justru menimbulkan kecurigaan yang terselubung.

Mereka sepakat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Malam itu, kegelisahan menggantikan ketenangan di rumah kecil Elina. Petualangan untuk mengungkap misteri Ryan pun dimulai, bukan dengan tuduhan, melainkan dengan penyelidikan yang hati-hati.

.

.

.

Sinar matahari sore menerobos celah-celah kayu jendela yang lapuk, menyorot debu yang beterbangan di udara rumah kecil Elina. Rumah itu, saksi bisu kehidupan sederhana mereka, kini terasa lebih dingin daripada biasanya. Bau tanah basah masih tertinggal setelah hujan pagi tadi, bercampur dengan aroma obat-obatan yang masih melekat pada tubuh Elina yang masih lemah. Ia baru saja keluar dari rumah sakit, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, namun kelemahan fisiknya tak sebanding dengan kelemahan hatinya yang tercabik-cabik oleh kecemasan.

Elina duduk di kursi kayu tua, tubuhnya terbungkus selimut tipis. Di depannya, sebuah meja kecil tempat mangkuk sayur asem yang belum tersentuh. Sayur asem kesukaan Sophia, yang kini hanya menambah rasa pahit di tenggorokannya. Di dinding, foto-foto keluarga usang dan lukisan-lukisan Sophia menjadi pengingat akan kehidupan yang mungkin tak akan pernah sama lagi.

Langkah kaki berat terdengar dari luar, menghancurkan kesunyian yang rapuh. Bunyi pintu kayu tua yang berderit, seperti suara hati Elina yang teriris. Hendra, ayahnya, datang lagi. Kehadirannya bukan membawa kelegaan, melainkan bayangan gelap yang semakin mencengkeram.

Kali ini, Hendra tampak lebih dingin dan menakutkan. Tidak ada sedikit pun kelembutan di wajahnya, hanya ada ketegasan yang mematikan. Tatapannya langsung menuju Sophia yang sedang duduk di sudut ruangan, membaca buku komik kesayangannya. Sophia, yang masih polos dan belum memahami sepenuhnya kejahatan ayahnya, tampak tidak menyadari bahaya yang mengintai.

"Sophia, kita pergi," kata Hendra, suaranya datar dan tanpa emosi. Tidak ada basa-basi, tidak ada penjelasan. Hanya perintah yang tegas dan tak terbantahkan.

Elina, dengan sisa-sisa kekuatannya, mencoba berdiri. Tubuhnya masih lemah, kepalanya terasa pusing, namun ia harus melindungi Sophia.

"papa… jangan," racau nya, suaranya lemah dan terbata-bata.

Namun, permohonan Elina tak diindahkan. Hendra meraih tangan Sophia, menariknya paksa. Sophia terkejut, buku komiknya jatuh. Ia mencoba melawan, namun tenaga ayahnya jauh lebih kuat. Tangis Sophia pecah, namun suara tangisnya tenggelam oleh langkah kaki Hendra yang semakin menjauh.

Elina hanya bisa terduduk lemas, menyaksikan adiknya dibawa pergi untuk kedua kalinya. Rumah sederhana itu, yang seharusnya menjadi tempat berlindung, kini terasa seperti penjara yang mengurungnya dalam kesedihan dan keputusasaan. Kelemahan fisiknya tak sebanding dengan hancurnya hatinya. Ia harus menemukan Sophia, menyelamatkan adiknya dari cengkeraman ayahnya yang kejam, meskipun tubuhnya masih lemah dan hatinya terluka.

Kegelapan menyelimuti Elina. Rumah kecil itu terasa lebih dingin dan kosong daripada sebelumnya. Bau sayur asem yang belum tersentuh, kini terasa seperti racun yang menyesakkan dadanya. Tubuhnya masih lemah, namun beban di hatinya jauh lebih berat daripada sakit fisiknya. Sophia, adiknya, telah dibawa pergi lagi oleh ayahnya yang kejam. Kali ini, Elina merasa putus asa. Bagaimana caranya membebaskan Sophia? Dari mana ia harus memulai?

Air mata mengalir deras di pipinya. Ia terduduk lemas di kursi kayu tua, menatap foto-foto keluarga usang yang tergantung di dinding. Kenangan indah bersama Sophia berputar-putar di kepalanya, semakin memperparah rasa sakit dan putus asanya apalagi ia melihat foto mama nya yang tersenyum manis dan lembut padanya. Ia merasa sendirian, terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung.

Di tengah keputusasaan itu, sebuah nama terlintas di benaknya, Luna. Sahabatnya, satu-satunya orang yang bisa ia percaya dan andalkan. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, Elina menghubungi Luna.

Suara Luna di seberang telepon seperti setetes air di padang pasir yang gersang. Ia mendengarkan cerita Elina dengan sabar, sesekali menyeka air matanya sendiri. Luna tahu, Elina membutuhkan bantuan, bukan hanya fisik, tapi juga mental.

Tak lama kemudian, Luna datang. Ia membawa serta secangkir teh hangat dan beberapa kue kecil. Kehadiran Luna seperti secercah cahaya di tengah kegelapan. Ia duduk di samping Elina, memeluknya erat. Sentuhan Luna memberikan Elina kekuatan yang tak pernah ia duga.

"Tenang, Lin," bisik Luna, suaranya lembut dan menenangkan.

"Kita akan menyelamatkan Sophia. Kita akan menemukannya."

kejadian mengerikan saat Hendra membawa pergi Sophia. Luna mendengarkan dengan saksama, matanya berkaca-kaca. Ia tak menyangka Hendra tega melakukan hal sekejam itu. Mereka berdua merencanakan langkah selanjutnya. Luna berjanji akan mencari informasi tentang keberadaan Hendra dan Sophia. Elina, meskipun masih lemah, bertekad untuk membantu semampunya.

Malam itu, di rumah kecil yang dingin dan penuh kenangan pahit, Elina merasa sedikit lebih tenang. Kehadiran Luna, dukungan dan rencana yang mereka buat, memberikannya secercah harapan di tengah keputusasaan. Perjuangan untuk membebaskan Sophia masih panjang dan berat, namun Elina tidak sendirian. Ia memiliki Luna, sahabat yang selalu ada di sisinya.

.

.

.

Lanjut yah

See you 😍

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!