Halimah, Seorang ibu muda yang tengah mengandung yang harus menerima kenyataan di gugat cerai oleh suaminya karena suaminya lebih memilih perempuan lain yang lebih cantik, lebih mudah dan lebih memperhatikan penampilan dari pada dirinya. dia pun menyetujui permintaan suaminya tersebut dengan syarat dia meminta waktu 40 hari kepada suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuri_Pen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Ke-6
Hari ke -6
Ridwan POV
Pagi-pagi sekali Limah menyuruhku pulang. Aku juga yang salah karena sudah terlalu agresif dengannya. Juga tidak memenuhi janjiku yang akan segera pulang pada malam kemarin. Mungkin dia tidak nyaman atau mungkin juga dia terpaksa dan tidak bisa menolak. Kini rasa bersalah bersarang di otakku meski aku tahu dia istriku sendiri.
Aku berangkat ke kantor dengan pikiran yang bercabang. Rasa tak enak atas sikapku semalam, membuat Limah tampak lebih mendiamkan ku.
Aku tak bisa berbohong, rasa rindu datang begitu saja, aku hanya ingin mengekspresikannya. Toh dia masih istriku.
"Ngelamun terus! Kalau ada masalah di rumah tuh ya beresin di rumah. Jangan dibawa-bawa ke kantor!" Pagi-pagi sekali Anto sudah nyinyir. Ia mengeluarkan sebuah berkas dari tas hitamnya.
"Kau ni bisa gak kalau masuk salam dulu atau permisi kek! Jangan tiba-tiba nyalip masuk seenaknya,” gerutuku. Sedekat-dekatnya teman bukankah harus tetap beradab?
"Wkwk ya maaf. Lagian dari tadi di panggilin diem mulu. Aku cuma mau anterin ini berkas-berkas keuangan yang tertinggal kemaren. Kemaren aku turun lapangan jadi tim audit di LKS-Non Bank,” tuturnya senang.
"Dah digarap bener nih? Yang bener kalau mau jadi tim audit." Aku menerima berkas darinya lalu mulai memeriksa lembar demi lembar. Namun entah mengapa pikiranku belum bisa fokus juga.
"Apa gak lihat sekarang kinerjaku selalu bagus? Jangan sampai jabatan kau diganti sama aku, hanya gegara kau sekarang lebih gegabah mengambil keputusan dan sering gak fokus, Wan!" cecarnya serius.
"Ku pastikan gak akan pernah itu terjadi!" tekan ku.
"Tapi jabatan kau jadi suami Limah bisa lah ya digeser sama aku, haha. sudahlah aku mau kerja keras dulu. Ada Neng manis yang mau dijadikan istri." Sial, ingin sekali aku bekap mulutnya itu. Sepagi ini dia sudah membuatku emosi.
[Mas, aku mau ke rumah Bapak. Bapak sakit.] Ponselku berderit.
[Ya Allah sakit apa? Nanti biar Mas antar, ya!] balasku cemas.
[Gak usah. Aku sama Jingga udah di Terminal. Udah dulu, ya!] Tidak biasanya dia pergi kemana-mana tanpa seizin dariku. Apalagi jarak dari rumah kami ke kampungnya sangatlah jauh.
[Hati-hati di jalan. Kabari Mas ya kalau sampai! Titip salam juga buat bapak.] Dengan semangat menggebu aku mengetik pesan, namun malah centang satu, ia mematikan data.
Ku lanjutkan aktifitas ku bekerja. Meski pikiran bercabang, aku harus tetap profesional di Kantor.
***
Ku lewati rumah Limah, lampu depannya menyala padahal masih sore. Dia benar-benar pulang kampung. Rasanya sepi ketika sosoknya tak ku jumpai di depan rumah ber-cat abu itu.
Bergegas ku lanjutkan laju mobil menuju rumah.
Rumah ini masih berantakan, meski tidak sehancur sebelumnya. Setidaknya aku sudah mengalami peningkatan dalam hal berbenah dan merapikan. Sekitar 5% kira-kira.
Tetap saja itu sebuah progres bukan?
Ku keluarkan HP, pesanku masih centang satu. 'Apa Limah belum sampai?' batinku khawatir.
Kucoba telpon, namun hpnya pun tak aktif. Ya ampun, bukannya perjalanan Jakarta- Kuningan hanya lima sampai enam jam? Lantas kenapa dia belum ada kabar juga?
Kucoba telpon ke nomor bapak mertua, panggilan tersambung namun tak kunjung diangkat. Apa Bapak mertuaku tahu aku akan menceraikan Limah? Sampai-sampai tak mau lagi mengangkat telpon dariku.
"Kruk..kruk.." perutku berbunyi. Duh, gak bisa diajak kompromi emang nih perut.
Kubuka tudung saji. Ada piring, aku mulai semangat. Nyatanya setelah dilihat jelas, hanya makanan yang aromanya mulai tak enak. Ish, andai saja kemaren aku pulang dulu menghangatkan temen nasi, mungkin hari ini masih bisa dimakan.
[Gimana caranya masak?] Ku ketik pesan untuk Limah. Centang satu terus.
Apa aku coba hubungi May, ya? Inikan darurat. Pasti Limah memaklumi.
[Assalamu'alaikum, Neng May.] Aku mengetik pesan dengan semangat juang. Rasa rinduku untuknya kembali tersulut.
[Waalaikumsalam, Eh Aa ko udah bisa chat, May? Udah selesai ya tugasnya?] May memang tak pernah telat membalas pesanku, tidak seperti Halimah sekarang yang sangat sulit dihubungi. Sepertinya pilihanku memang sudah tepat memilih May.
[Belum, May. Aa cuma mau nanya, gimana caranya masak? Ajarin Aa, dong!] Semenit, dua menit May tak kunjung membalas. Apa dia sibuk ya? Aku langsung tekan tombol Vidio Call. Rasanya perutku sudah sulit diajak berdamai.
Berdering lama.
"Assalamu'alaikum, A. Maaf tadi habis ke belakang dulu," sapanya gugup.
"Oh iya, maaf ya Aa gangguin." May nampak semakin cantik saja. Aku jadi tak sabar menikahinya.
"May, ayo ajari, Aa masak!" Aku mulai mengeluarkan sayuran dari kulkas.
"Oh, eum, I-iya, A." Kulihat May gelagapan. Mungkin dia grogi video call dengan pria tampan sepertiku.
"May, di kulkas cuma ada wortel sama kol. Aku harus masak apa?" Aku menunggu jawaban darinya.
"Eum … Aduh masak apa ya, A? May bingung. Soalnya banyak si masakan dari bahan itu mah." Matanya selalu melihat ke atas. Mungkin dia memajang resep masakan di langit-langit.
"Duh ayo, May. Aa lapar. Apa aja lah yang mudah." Aku mulai kesal dibuatnya.
"Oh iya, A. Kita tumis aja, ya, biar mudah." Akhirnya May mengambil keputusan. Aku hanya mengangguk.
"Ini wortelnya diapain?" tanyaku sambil memperlihatkan bentuk wortel yang sudah agak layu.
"Itu dipotong-potong aja langsung, A." titahnya.
"Potong gimana?" Aku menggaruk kepala yang tak gatal.
"Eum, miringkan saja motong nya, A." Aku langsung memotong miring semua bagian wortel.
"Itu kolnya juga dipotong miring ya, A." Dia semakin percaya diri sekarang. Aku segera memotong miring semua bahan.
"Terus bawang merah, bawang putih, jahe, kunyit, sama sereh, A!"
ku perhatikan dia semakin lihai membimbing. Memang ia senang merendah di awal, padahal kemampuannya luar biasa. Ibunya saja senang memasak, pasti May juga jago dalam hal memasak.
"Jahe bentuknya kayak gimana, May?" Aku kebingungan melihat bumbu dapur. Maklumlah, aku tidak pernah membantu Halimah untuk memasak.
"Itu, A. Yang agak merah muda warnanya." Tunjuknya. Aku segera mengambil jahe yang dimaksud May. Rasa-rasanya sedikit aneh dari baunya. Aku biasa meminum wedang jahe, tapi kenapa baunya seperti berbeda, ya?
"Itu di cuci terus di masukan semua ke wajan, A." Ucapan May membuyarkan lamunanku.
"Apa dulu yang harus di masukan?" tanyaku heran.
"Kolnya dulu direbus terus wortel. Terus jahe, kunyit sama bawang dipotong dua terus dimasukin kalau wortel sama kolnya udah lembek."
Sambil menunggu wortel lembek, aku ngobrol ngalor ngidul dengan May.
Aku seperti remaja lagi sekarang. May selalu memberi energi positif kepadaku.
"May udah lembek nih sekarang wortel sama kolnya." Ku aduk semua bahan yang ada di wajan.
"Oh iya, A sekarang masukin jahe, kunyit, sereh sama Bawangnya!" Ah May ku memang mahir memasak. Jadi tak sabar rasanya ingin segera meminang.
"Terus gimana lagi, May?" tanyaku semangat.
"Masukkan garam sesendok!" titahnya penuh percaya diri.
"Gak kebanyakan, May?" tanyaku ragu.
"Enggak, A. Itukan ada airnya. Jadi emang harus sesendok." May pasti sudah jago, aku tidak mau meragukan keahliannya dan memilih mengikuti saja kemauannya nya. Kumasukkan sesendok garam ke masakanku.
"Terus gimana lagi?"
"Udah, A. Selamat makan, ya." Duh, manis banget si Neng May ini. Aku jadi membayangkan jadi suami siaga untuknya. Kami memasak bersama lalu makan bersama. Pasti manis sekali rasanya.
Kami langsung mematikan sambungan video call. Aku tak sabar ingin segera memakan tumis sehat ala Neng May.
Ternyata memasak itu sangat mudah sekali ya. Nanti aku bisa masak sendiri kalau semudah ini caranya.
Aku memasukkan masakanku ke atas piring, lumayan jadi dua piring. Bisa aku makan lagi nanti malam.
Dengan percaya dirinya aku memulai memasukan satu sendok masakan yang ku masak bareng May.
"Hue, May! Makanan apa ini?" Aku muntah-muntah tak tahan. Bau bawang yang menyengat, keasinan, rasa kol yang lembek seperti bubur, dan entah rasa aneh apalagi yang tak bisa ku deskripsikan sekarang.
Kepalaku mendadak pusing, lantai sudah berceceran dengan muntahan ku. Terlebih aku begitu mual dengan rasa bawang yang menyengat. Hampir saja aku pingsan seketika jika tidak menguatkan diri sendiri.
"May.... Kamu mau meracuni Aa, ya?" teriakku lemas karena semua isi perutku keluar.