Adara hidup dalam dendam di dalam keluarga tirinya. Ingatan masa lalu kelam terbayang di pikirannya ketika membayangkan ayahnya meninggalkan ibunya demi seorang wanita yang berprofesi sebagai model. Sayangnya kedua kakak laki-lakinya lebih memilih bersama ayah tiri dan ibu tirinya sedangkan dirinya mau tidak mau harus ikut karena ibunya mengalami gangguan kejiwaan. Melihat itu dia berniat membalaskan dendamnya dengan merebut suami kakak tirinya yang selalu dibanggakan oleh keluarga tirinya dan kedua kakak lelakinya yang lebih menyayangi kakak tirinya. Banyak sekali dendam yang dia simpan dan akan segera dia balas dengan menjalin hubungan dengan suami kakak tirinya. Tetapi di dalam perjalanan pembalasan dendamnya ternyata ada sosok misterius yang diam-diam mengamati dan ternyata berpihak kepadanya. Bagaimanakah perjalanan pembalasan dendamnya dan akhir dari hubungannya dengan suami kakak tirinya dan sosok misterius itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ANGGUN DIBALIK DENDAM
Adara berjalan dengan anggun sembari membawa segelas kopi hangat yang dia ajukan kepada pelayan di universitas itu. Dia meminta agar dia sendiri yang akan mengantarkannya ke ruangan dosen yang tidak lain adalah Leon. Dia akan memulai misinya sekarang. Langkahnya mantap, suara hak sepatu yang menapak di lantai keramik beresonansi pelan di sepanjang koridor kampus yang masih belum ramai. Adara tampak begitu percaya diri, meskipun di dalam hatinya dia sedang menata rencana dengan teliti.
Adara membuka pintu dengan sikunya, dengan gerakan yang terlihat sederhana tetapi penuh perhitungan. Dia masuk dengan santai namun anggun. Leon, yang sedang berkutat dengan komputernya, mendongak dan menatap seorang wanita yang semalam statusnya membuatnya terkejut. Ya, si Adara. Iparnya, mahasiswinya, sekaligus asistennya di kampus. Sebuah hubungan yang rumit, namun Leon tidak pernah berpikir jika wanita ini bisa bertindak serupa.
"Selamat siang, Pak!" tegur Adara tersenyum manis. Suaranya lembut, hampir seperti melodi yang menenangkan. Leon mengerutkan keningnya, benar-benar bingung dan heran menatap perubahan Adara. Semalam, sewaktu di rumah, Adara seperti wanita terdingin dan terseram yang pernah dia temui. Tetapi sekarang? Mengapa dia sangat manis? Leon merasa dirinya sedang berada di dalam permainan yang tidak dia mengerti.
"Ada apa, Adara?" tanya Leon, nadanya mencoba terdengar santai tetapi ada kerutan di dahinya yang mengisyaratkan kebingungannya.
"Saya hanya ingin mengantarkan kopi untuk Bapak!" jawab Adara lagi sembari meletakkan gelas itu ke atas meja Leon. Tangannya begitu tenang, tanpa ada gerakan yang menunjukkan gugup. Leon menatap kopi itu sejenak, lalu menatap Adara, mencoba mencari tahu apa maksud dari sikap ini.
"Jangan memanggilku seperti itu. Kita adalah ipar!" ujar Leon spontan, belum sadar jika mereka sedang berada di kampus. Nada suaranya terdengar seperti sebuah protes kecil, tetapi lebih kepada dirinya sendiri yang tidak sadar situasi.
Adara tersenyum tipis, senyuman yang tampak seperti kemenangan kecil. "Tapi ini di kampus. Kau tetaplah dosen pembimbing yang harus aku hormati, bukan?" sahutnya sambil menyipitkan matanya sedikit, ekspresi yang tampak seperti bercanda tetapi menusuk.
Leon tersadar. Ah benar! Dia harus profesional. Dia mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya yang sedikit terguncang oleh aura Adara yang tiba-tiba berbeda. "Ah, kau benar. Tapi, kenapa kau yang mengantar kopi ini? Ke mana pelayannya?" tanyanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Saya kebetulan melihat pelayannya ingin mengantarkan kopi ke ruangan Bapak. Namun, saya menawarkan diri untuk mengantarnya langsung karena saya ingin bertemu dengan Bapak!" jawab Adara dengan nada yang sangat lembut, membuat Leon semakin bingung dengan perubahan sikapnya.
"Bertemu dengan saya? Ada apa, Adara?" Leon merasa semakin penasaran, tetapi dia juga merasa ada sesuatu yang tidak sepenuhnya benar.
"Saya ingin meminta rekomendasi topik skripsi saya, Pak!" jawab Adara dengan nada penuh keyakinan, tetapi ada sedikit nada main-main yang mungkin hanya dia yang menyadarinya.
"Hmm, tapi bagaimana dengan temanmu itu?" tanya Leon, mencoba mengingat nama teman Adara yang sering terlihat bersamanya.
"Maksud Bapak Dean?" tanya Adara, memahami siapa yang dimaksud Leon.
"Ya, itu dia," jawab Leon sambil mengangguk pelan, matanya masih memerhatikan setiap gerakan Adara.
"Hm, sama saja, Pak. Kami ingin mendiskusikannya bersama Bapak!" Adara menjawab dengan nada yang sangat sopan, seperti seorang mahasiswi yang benar-benar ingin belajar.
"Boleh saja. Tapi kita akan mendiskusikannya saat pekerjaan saya sudah selesai," ujar Leon, mencoba memberikan jawaban yang profesional.
"Baik, tentu saja, Pak Leon!" Adara tersenyum sembari menekan kata terakhirnya. Leon terdiam tanpa sadar menatap lama wajah Adara yang semakin lama dilihat semakin terlihat jika dia sangat menawan. Kecantikan Adara bukanlah kecantikan biasa; ada sesuatu yang membuat Leon tidak bisa mengalihkan pandangannya.
"Kalau begitu, saya permisi. Sampai nanti, Pak!" Adara berujar dengan sangat lembut. Benar-benar sangat lembut. Dia membalikkan badan dengan anggun dan berjalan perlahan menuju pintu. Namun, saat hendak berjalan keluar...
Ahh...
Adara terpeleset, dan Leon dengan refleks menariknya sehingga Adara terjatuh di pangkuan Leon. Waktu seakan berhenti. Adara terjatuh dengan posisi yang sangat anggun. Dia memakai rok hitam span selutut, tetapi terbuka sedikit sampai di atas lutut. Kaki dan paha putihnya terlihat. Leon dan Adara saling tatap. Pandangan mereka bertemu dalam jarak yang sangat dekat. Adara menatap lembut bola mata Leon, sementara Leon merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa berpaling.
"Maafkan saya, Pak!" Adara langsung segera bangkit berdiri, begitupun dengan Leon. Suasana mereka berubah menjadi canggung. Leon merasa ada sesuatu yang tidak seharusnya terjadi, tetapi dia juga tidak bisa memungkiri bahwa ada rasa nyaman yang aneh ketika Adara berada sedekat itu dengannya.
"Ti-tidak apa-apa. Lain kali berhati-hatilah," jawab Leon, mencoba menguasai dirinya. Suaranya sedikit bergetar, tetapi dia segera menutupinya dengan nada yang lebih tegas.
"Baik, Pak. Saya permisi!" Adara langsung bergegas keluar dari ruangan Leon. Namun, saat dia berjalan keluar, ada senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya. Senyum yang menunjukkan bahwa ini adalah bagian dari rencananya. Hari ini cukup sekian, pikir Adara. Tapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi besok?
Namun, saat baru saja keluar dari ruangan, tangannya langsung ditarik oleh seseorang. Adara menatap cepat siapa yang menariknya, dan ternyata itu adalah Dean. Dean sudah melihat semua yang terjadi dari balik kaca luar yang transparan, walaupun hanya beberapa garis kecil. Tetapi semua yang terjadi di dalam tidak luput dari pandangan Dean.
"Apa sebenarnya maksudmu, Adara?" tanya Dean langsung setelah melepaskan genggamannya. Adara mengusap tangannya kasar sembari melirik Dean dengan tatapan tajam.
"Maksudku?" tanyanya balik dengan nada datar, tetapi ada sesuatu dalam nadanya yang membuat Dean merasa tertantang.
"Apa yang sebenarnya sedang kau rencanakan?" Dean tidak mau kalah. Dia menatap Adara dengan penuh selidik.
Adara tersenyum kecil, tetapi senyum itu lebih seperti ejekan. "Aku tidak tahu apa yang kau maksud, Dean. Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar."
Dean menghela napas panjang. Dia merasa ada sesuatu yang besar yang sedang terjadi, dan dia tahu bahwa Adara adalah pusat dari semua ini. "Adara, aku memperingatkanmu. Jangan bermain-main dengan orang seperti Leon. Ini bukan hanya tentang kau, tapi juga tentang kita semua," ujarnya dengan nada serius.
"Aku tahu apa yang aku lakukan, Dean. Kau tidak perlu khawatir," jawab Adara dengan nada dingin. Dia berbalik dan pergi, meninggalkan Dean yang masih berdiri di sana, menatap punggungnya dengan penuh kekhawatiran.