Dominica Sophia Raviola Dexter, gadis cantik berusia 16 tahun itu merasa hidupnya tidak tenang karena selalu dipertemukan oleh seorang pria bernama Alexander Kai Devinter, pria yang berusia 12 tahun jauh di atas dirinya.
Alexander Kai Devinter, laki-laki berusia 28 tahun, pria single yang dingin dan menutup hati setelah kepergian sang kekasih, hingga orang tuanya nyaris kehilangan harapan memiliki menantu, mulai bangkit kembali dan mulai mengejar gadis yang membuatnya jatuh hati. Setelah pertemuan malam hari di sebuah pesta itu.
Bagai terikat sebuah benang takdir, keduanya selalu dipertemukan secara tidak sengaja.
Akankah Sophia menerima takdir cintanya, atau justru membuat takdir cintanya sendiri?
Don't Boom like!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Claudia Diaz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kunjungan Ke Sekolah
Kecanggungan dan keheningan masih menyelimuti tiga sahabat itu. Setelah kejadian itu mereka memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Akan tetapi, tidak dengan Jayden yang harus mengantar Bruzetta terlebih dahulu.
“Terima kasih sudah mengantarku pulang," kata Bruzetta saat sudah turun dari motor Jayden.
“Hmm ... itu sudah kewajibanku. Kau berangkat bersamaku, sudah pasti aku yang mengantarmu pulang, masa orang lain?" balas Jayden dengan sedikit bercanda.
Bruzetta tersenyum menanggapi, “Jay, kau baik-baik saja?"
“Maksudmu?"
“Aku tahu, luka yang telah tertutup lama kembali terbuka karena insiden tadi. Dan ... meski Soya sudah membalas semuanya, aku tahu kau masih sakit hati," Bruzetta berkata sembari meremas pundak Jayden yang kokoh. “Kapan kau akan menemuinya lagi?"
Sorot mata Jayden berubah sendu. Ia melepas helmnya kemudian menatap Bruzetta, “Aku belum tahu. Ini sudah hampir setahun berlalu dan dia masih belum baik-baik saja. Aku tidak sanggup melihat dia berteriak ketakutan, aku tidak sanggup melihat dia seperti orang linglung. Rasanya sakit, Bee."
“Bukan hanya dirimu yang merasakan sakit, tetapi juga aku dan Soya, dia sudah kuanggap seperti adikku sendiri, seperti halnya dirimu. Jika kau mau, kita bisa mengunjunginya bersama, Jay. Kau harus membuktikan padanya, bahwa kau selalu berada di sampingnya, selalu ada untuknya dan melindunginya," ujar Bruzetta.
Jayden menarik napas. Berusaha menghilangkan rasa sesak dalam dada, sembari menahan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk mata.
“Terima kasih. Kalau begitu aku pulang dulu, Bee. Kau masuklah dan beristirahatlah. Ini sudah malam. Tolong sampaikan pada Paman dan Bibi, jika aku pulang. Maaf tidak bisa mampir, selamat malam," ucap Jayden lalu men-starter motornya.
“Selamat malam, Jay," balas Bruzetta dengan suara lirih, “hah ... bersabarlah Jayden, aku yakin dia akan kembali tersenyum lagi, tidak lama lagi."
Lalu Bruzetta pun masuk ke dalam rumah.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Berbeda dengan Soya, setelah sampai di rumah, ia justru termenung di kamarnya. Menghadap sebuah cermin besar. Matanya memandang tangannya yang gemetar.
“Aku melakukannya lagi ... aku melakukannya lagi ... aku melakukannya lagi. Argh!" jeritnya ketakutan.
Tangannya semakin gemetar hebat. Membuat penghuni rumah menjadi panik dan lantas menghampiri.
“Sayang, ada apa?" tanya Zizi. Ia sedikit panik melihat putri bungsunya menjerit ketakutan.
Kevin langsung menarik putri bungsunya dan mendekap erat tubuh mungil itu, “Tenang, Honey. Semuanya baik-baik saja. Bicaralah pada kami. Tenang, Daddy dan Mommy tidak akan marah pada Soya."
“Daddy, aku ... aku melakukannya lagi. Aku menghilangkan nyawa seseorang lagi. Aku tidak sengaja, Dad," ucap Soya sambil meremas baju Kevin hingga kusut.
“Hei, Daddy tidak akan marah padamu, Sayang. Karena Daddy tahu, kau tidak akan melakukan itu tanpa alasan," Kevin menenangkan putri bungsunya, “karena Daddy sangat mengenal semua putri kesayangan, Daddy."
“Bajingan mana yang habis ditanganmu kali ini?" Lulu bertanya sejak diam sedari tadi.
“Dia yang membuat Tia masuk rumah sakit jiwa karena peristiwa setahun yang lalu," jawab Soya.
“Bukankah seharusnya kelompok itu sudah bubar karena kau berhasil menumbangkan ketuanya?" Lulu menatap adiknya heran.
“Memang benar. Akan tetapi, anak buah mereka masih ada dan menunjuk ketua baru dan aku menembaknya setelah terlibat pertarungan saat kami pergi tadi, kami bertemu di jalan," Soya menjelaskan dalam dekapan sang ayah.
“Itu bukan kesalahanmu, adikku. Mereka memang pantas mendapatkannya. Bukankah apa mereka lakukan pada Tia itu keterlaluan?"
Soya tak memberikan jawaban, ia merasa sangat buruk karena ia merasa melanggar perjanjian dengan sang ibu.
Zizi tersenyum lembut. Ia menarik lembut putri bungsu dengan wajahnya yang sudah memerah akibat menangis, “Mommy tidak akan marah pada Soya. Karena apa yang Soya lakukan adalah bentuk pertahanan diri. Andai dirimu tidak melakukan itu, pasti Soya sudah jatuh ditangan mereka dan putri kecil Mommy akan terluka."
“Ingat putri Daddy Kevin dan Mommy Zizi tidak boleh terjatuh di tangan orang jahat," lanjut Zizi.
Soya hanya menganggukkan kepalanya. Tak dipungkiri dirinya merasa sedikit tenang anggota keluarganya dapat mengerti keadaannya.
“Sekarang kau tidurlah. Jangan lupa sikat gigi, cuci kaki dan tanganmu sebelum tidur, Honey. Daddy tidak ingin kau terlambat ke sekolah," perintah Kevin pada putrinya.
“Good night, Honey. Jangan lupa berdoa sebelum tidur dan jangan pikirkan apa pun yang membuatmu gelisah serta tak nyaman," Zizi berkata sembari mengusap kepala putri bungsunya.
Soya menuruti perkataan kedua orang tuanya, ia lantas melakukan ritual malam sebelum tidur dan berharap perasaannya lekas membaik dan apa yang membuat hatinya tak nyaman hilang lenyap tersapu bersama angin malam.
“Maaf Tia, kalau saja waktu itu aku tidak mengajakmu pergi, kau pasti tidak akan berakhir di tempat itu," batin Soya menangis matanya memandang kosong ke arah cermin besar yang ada di kamar mandinya.
Selesai dengan ritual malamnya, kaki jenjang nan putih mulusnya ia langkahkan ke tempat tidur dan mulai berbaring serta menarik selimut guna membungkus tubuhnya dan menghalau udara dingin. Kelopak matanya perlahan terpejam dan ia mulai mengarungi lautan mimpi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hari baru telah dimulai, sinar matahari sudah menyusup melalui celah-celah gorden, membuat Soya melenguh pelan dengan sisa rasa kantuk yang masih bergelayut manja di dalam dirinya.
“Argh, kenapa pagi hari datang begitu cepat?!" kesalnya sambil mengusap kasar wajahnya. Dengan kesadaran yang belum seratus persen terkumpul, Soya terduduk di ranjangnya sambil menguap. “Hoam!"
Tubuh mungilnya segera beranjak dari ranjang dan bergegas menuju kamar mandi untuk melaksanakan ritual pagi.
Sementara di bawah sana Zizi sudah terbangun dan tengah disibukkan menyiapkan sarapan untuk anak dan suami tercintanya.
Tangannya dengan cekatan mengolah bahan-bahan untuk dimasak dan dijadikan menu sarapan pagi. Setelah selesai, ia menyuruh pelayannya untuk menata menu sarapan itu di meja, “Tolong, tata semuanya di meja makan. Aku akan membangunkan suami dan anakku!"
Pelayan itu menunduk dengan hormat dan segera melaksanakan perintah sang nyonya rumah, selaras dengan langkah Zizi yang terdengar menjauh menuju kamar ia dan suaminya.
“Gege," panggilnya. Ia berjalan mendekati ranjang dan membangunkan sang suami. “Bangunlah, ini sudah siang. Kau harus bekerja, bukankah kau ada janji rapat dengan klien?"
“Lima menit lagi, Honey," jawab Kevin disela lenguhannya, membuat Zizi mendengus.
“Sejak kapan Kevin Alfredo Dexter berubah menjadi sosok yang pemalas?" sindir sang istri. Kevin membuka matanya, mata yang tajam, tetapi tersirat akan kelembutan beradu pandang dengan mata tajam milik sang istri.
“Sejak aku belum mendapatkan vitamin pagi, dari Baby Panda kesayanganku," jawab Kevin. Perkataan Kevin, membuat wajah Zizi memerah, rasa hangat menjalar di sekitar wajahnya. Sial, suaminya ini sangat pandai membuat jantungnya jumpalitan, padahal ini masih pagi.
“A ... apa yang Gege katakan, Gege pikir sudah berapa umur Gege. Mengapa masih bertingkah seperti anak remaja yang sedang dimabuk cinta?!" Zizi mulai salah tingkah.
Kevin tersenyum, ia tahu jika istrinya mulai salah tingkah seperti saat pertama kali pacaran, “Wajahmu memerah, apa kau sakit, Baby Panda?"
“Su ... sudahlah. Cepat mandi dan berkemas. Gege harus bekerja dengan giat. Aku tidak ingin memiliki suami pengangguran!" marah Zizi berusaha menutupi kegugupannya.
“Ha-ha-ha ... baiklah-baiklah. Aku akan bangun dan bersiap. Manisnya istriku, jika sedang salah tingkah begini," ujar Kevin, kemudian mencuri kecupan di bibir sang istri. “Aku mencintaimu, dulu, sekarang, dan selamanya."
Kemudian Kevin melesat ke kamar mandi, meninggalkan sang istri yang terpaku, “Aku juga mencintaimu, Gege. Dulu, sekarang, dan selamanya."
Usai membangunkan sang suami, kini Zizi beralih ke kamar putri sulungnya. Dibukanya pintu yang tidak terkunci itu dan masuk ke dalam kamar yang di dominasi oleh warna pink dan putih. Zizi sudah menduga, bahwa putrinya itu masih meringkuk di bawah selimut dengan nyaman. Jika soal tidur, maka sang putri sulung adalah juaranya. Terkadang Zizi heran dengan perilaku Lulu. Ia memang cantik, bahkan sangat cantik. Akan tetapi, bagaimana bisa putrinya itu memiliki hobi tidur yang bahkan menyaingi seekor koala?
Nasib baik ada seorang pria yang begitu menyayangi putrinya dengan tulus.
“Bangun, atau Mommy akan membakar semua koleksi Hello Kitty milikmu itu, Sayang," ancam Zizi. Yang berhasil membuat gadis pemilik manik mata serupa musang itu terbangun.
Lulu mendengus dan terduduk di ranjangnya, “Oh, dasar Ibu Bawang Merah. Kejam sekali, ini bahkan masih malam!"
Zizi hanya memandang wajah putrinya dengan datar sambil menunjuk ke arah jendela, “Kau lihat matahari yang sudah menampakkan diri di sana, bagaimana bisa kau berkata ini masih malam, Anak Manis?"
Dengan wajah yang mendung, Lulu turun dari tempat tidur dengan terpaksa. Ia hanya tak ingin mendapatkan pidato pagi dari sang nyonya besar. Sementara Zizi hanya menggelengkan kepala, melihat tingkah putri sulungnya.
Beralih menuju kamar putri bungsunya, beruntunglah pagi ini tidak ada drama. Ia tahu jika putri kecilnya itu sudah bersiap.
“Cantiknya Princess Mommy. Segeralah bergabung. Oh, Soya ingin dibawakan bekal hari ini?" tanya Zizi, Soya menolehkan kepalanya. “Mommy buat bekal untuk Soya?"
“Tentu, kalau begitu Mommy siapkan dulu, ya!" ujar Zizi langsung turun ke bawah. Biarkan putrinya bersiap dan menyusul ke ruang makan sendiri, nanti.
Dan benar dugaan Zizi. Tak lama suami dan anaknya sudah bergabung di ruang makan dan mereka sarapan bersama.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Berbeda dengan keluarga Dexter yang menyantap sarapan dengan tenang, sarapan keluarga Devinter pagi ini justru dibumbui sedikit drama pagi ini. Pasalnya kejadian Kai yang menerobos lalu lintas kemarin sontak menjadi perbincangan hangat di kalangan kelompok masyarakat. Dan menghiasi headline news pagi ini.
“Kaupikir apa yang kau lakukan? Kau telah mencoreng nama baik keluarga Devinter dengan aksi konyolmu itu, kau tahu?!" marah Joseph.
“Ayolah, Pa. Aku tidak sengaja, aku sedang tidak fokus saat itu!" Kai berusaha membela diri.
“Memang apa yang membuatmu tidak fokus?" Julia bertanya pada putranya itu.
“Aku memikirkan hal lain. Dan hal itu, sialnya sangat mengganggu pikiranku!" jawab Kai, berharap sang ibu memahami dirinya.
Joseph mencibir, “Sejak kapan anakku ini bisa berpikir? Ini sungguh fenomena yang sangat luar biasa!"
“Sindir terus, Pa. Sindir saja, sampai Mama punya suami baru yang lebih tampan dan lebih kaya dari Papa," balas Kai sambil menyantap sarapannya, membuat Joseph mati kutu.
Julia hanya menggelengkan kepalanya, sedikit lelah melihat pertengkaran tak penting anak dan suaminya.
“Kai, jangan lupa nanti ada rapat dengan Mr. Dexter dan kau akan berkunjung ke sekolah hari ini sesuai janjimu," Joseph mengingatkan.
Bicara tentang Mr. Dexter membuat perasaan Kai mendadak panas-dingin. Ingatannya terlempar pada kejadian di restoran kemarin. Ingin rasanya ia menenggelamkan diri ke dalam samudera, berharap tak pernah melihat sosok calon mertuanya yang membuat ia merasa minder.
“Apakah harus Kai yang datang ke rapat itu, kenapa tidak Papa saja?"
Pertanyaan Kai membuat Joseph dan Julia mengerutkan kening.
“Kenapa kau tidak ingin hadir dalam rapat itu, bukankah ini kesempatan emasmu beramah- tamah dengan calon mertua?" tanya Julia.
“Seharusnya rapat ini kau jadikan kesempatan emas mengambil hati calon mertua. Kau sedang mengejar Sophia, kan?" timpal Joseph.
Kai menghela napas, “Iya sih. Akan tetapi, kejadian kemarin membuat Kai diselimuti api cemburu."
“Memang ada kejadian apa?" Joseph dan Julia mulai penasaran. Kai pun mulai menceritakan kejadian yang ia lihat bersama Raffi di restoran kemarin. Sontak saja membuat Joseph dan Julia ini tertawa, mereka tidak habis pikir bahwa anak mereka justru cemburu pada calon mertuanya sendiri.
“Astaga, itu hanya akting, Sayang. Lagipula hubunganmu dengan Sophia saja belum jelas, sudah main cemburu saja," ledek Julia. Kai hanya cemberut.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Saat ini Kai sudah berada di perusahaan milik Kevin Dexter. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 pagi. Dengan raut wajah datar andalannya, kaki jenjangnya menuju ruang rapat ditemani oleh Raffi sekretarisnya.
“Aku gugup, Kai. Rasanya seperti memasuki ruang ujian nasional, saja dan bertemu dengan pengawas killer," ujar Raffi.
“Apalagi aku yang akan bicara dengan Mr. Dexter. Pastikan presentasi kita tak mengecewakan beliau nanti!" peringat Kai pada sekretarisnya.
Sesampainya di ruang rapat, Kai menghela napas lega. Syukurlah dia tidak terlambat. Setidaknya ia memiliki waktu untuk mempersiapkan mental saat berhadapan dengan Kevin nanti.
Tak lama, pintu rapat kembali terbuka, tampaklah Kevin yang kali ini didampingi oleh Luvita yang mendampingi sang ayah rapat pagi ini.
“Selamat pagi, maaf atas ketidaknyamanannya karena keterlambatan saya pada pagi hari ini. Baiklah tanpa menunda waktu lagi. Kita mulai rapat hari ini," sambutan Kevin untuk memulai rapat hari ini.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Berbeda sekali suasana di sekolah, yang saya ini tengah ramai, pasalnya saat ini kelas Soya sedang pelajaran olahraga. Namun, guru olahraga sedang kosong.
Bruzetta menepuk pundak Soya, “Soya."
Soya menoleh, “Hmm ... kenapa?"
“Bagaimana jika kita nanti berkunjung ke suatu tempat?" ajak Bruzetta, ia berharap Soya mengiyakan ajakannya.
“Kau punya tempat menarik untuk bolos hari ini?" tanya Soya yang sibuk makan semangkuk mie ayam di kantin. “Aku tidak ingin jalan-jalan ke mall denganmu. Itu melelahkan!"
“Ihh ... aku janji tidak akan ke mall hari ini," rengek gadis bermata minimalis itu.
“Baiklah," Soya akhirnya menyetujui. Terlalu malas jika berdebat dengan gadis di depannya ini.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara itu, di sebuah restoran tampak Kai dan sekretarisnya, sedang menerima ajakan makan siang dari Kevin sehabis rapat.
Rasa dingin mulai menjalar di area punggungnya. Entah mengapa, Kai tidak berani menatap Kevin terlalu lama, pandangan calon mertuanya begitu menusuk dan sangat dingin. Meskipun disertai senyuman, Kai merasa bahwa senyuman itu memiliki arti.
“Sepertinya kau tampak gugup, apa ada yang ingin kau tanyakan, Kai?" tanya Kevin, sebenarnya ia hanya menebak saja, melihat gerak-gerik Kai yang terlihat gelisah saat duduk dan makan bersama ia dan putrinya.
“Tidak ada, Tuan," jawab Kai cepat. Oh, dia masih belum memiliki nyali yang cukup untuk bertanya lebih jauh mengenai hal yang sedikit ... pribadi.
“Apa kau sibuk hari ini? Apa agendamu setelah ini?" Kevin bertanya kembali.
“Eh?" Kai sedikit terkesiap mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kevin untuknya, “setelah ini saya masih harus melakukan kunjungan rutin ke sekolah di bawah naungan yayasan milik keluarga saya, Tuan."
Kevin menganggukkan kepalanya tanda mengerti, “Putriku bersekolah di sana."
Entah ini sebuah pancingan, atau bukan. Namun, perkataan Kevin mampu menarik atensinya. Dalam hati Kai merasa kegirangan, tetapi ia tak ingin begitu menunjukkannya.
“Maaf?"
“Ya, putriku bersekolah di sekolah milik keluargamu. Kau tahu, kan jika aku memiliki putri bungsu yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas?" Kevin meletakkan sendok dan garpunya sejenak. “Aku hanya ingin memastikan putriku baik-baik saja. Mengingat pemilik sekolah akan datang, nanti. Semoga ia tidak memberikan kejutan yang sedikit membuat pemilik sekolahan ini terkejut."
Ada apa ini, apakah ini semacam sinyal untuknya, untuk lebih berhati-hati?
“Bukankah anak Anda baik-baik saja? ... ah, maksud saya, ia adalah murid yang baik dan sangat cerdas. Saya sering mendengarnya dari Papa, bahwa putri Anda begitu berprestasi," Kai sedikit menyanjung Soya di depan calon mertuanya ini.
“Benarkah? Aku sedikit tersanjung dengan itu. Ya, sebagai seorang ayah aku sangat bersyukur, anakku sangat berprestasi dan menjadi bintang sekolah. Akan tetapi, ini bukan soal prestasinya yang membuat harum nama sekolah, Kai," Kevin membersihkan mulutnya dengan serbet, ia sedikit menjeda perkataannya, “Ini soal tingkah laku putriku. Meskipun putriku sangat cerdas, sebagai seorang ayah, aku tak menampik bahwa perilaku putriku itu sungguh ajaib dan terkadang mampu membuat orang lain kewalahan. Kuharap, dia tidak akan merepotkanmu, nantinya."
Kai sedikit terpaku, ia tidak menyangka bahwa Mr. Dexter mengakui bahwa tingkah putri bungsunya sangat luar biasa, dalam artian buruk, “Tenanglah, saya bisa mengatasi hal seperti itu. Dia masih remaja, saya bisa memakluminya, bukankah kenakalan remaja itu menjadi hal yang biasa?"
“Kau benar," Kevin menyetujui, “nah, kurasa pembicaraan kita terpaksa berakhir di sini. Aku tahu kau tak memiliki banyak waktu karena harus mengunjungi sekolahmu. Terima kasih telah menerima ajakanku, Anak Muda."
“Seharusnya kami yang berterima kasih, karena jamuan makan siang Anda," ujar Kai. Setelah itu mereka pamit undur diri. Kevin dan putri sulungnya hanya melempar senyuman.
“Aku yakin Daddy mengetahui sesuatu, termasuk perasaaan Paman itu ke adikku," tebak Lulu, Kevin hanya tersenyum, “ya."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di bawah teriknya sinar matahari, Kai sudah sampai ke tempat yang ia tuju, yakni sekolahnya.
Dengan langkah kaki yang tegas, raut wajah yang datar, dan tatapan setajam elang yang mampu membuat kepala sekolah dan guru tunduk padanya, Kai mengamati dan memeriksa keadaan sekolah, mulai dari fasilitas sekolah, memeriksa kompetensi guru dalam mengajar, dan juga memeriksa siswa sekolah tersebut.
Di temani oleh sang kepala sekolah dan juga sekretarisnya, Kai memperhatikan penjelasan kepala sekolah dengan seksama.
“Anda yakin tidak ada murid yang bermasalah di sekolah ini, apa semua siswa di sekolah ini menaati peraturan yang ada sebagaimana mestinya?"
“Ti ... tidak, Tuan. Semua siswa di sini sangat disiplin. Saya bisa pastikan tidak akan ada murid yang mencoreng nama baik sekolah kita," jawab kepala sekolah itu. Dalam hati, ia merutuk terpaksa berbohong demi nama baik dirinya juga. Oh, kepala sekolah ini ingin selamat dan kariernya ingin tetap aman.
Di sisi lain ada tiga orang siswa yang mengendap-endap menuju gerbang sekolah. Mereka tampak bahu-membahu satu sama lain agar kondisi tetap aman dan mereka tidak terkena hukuman.
Namun, sayangnya mata elang milik Kai melihatnya dengan jelas, sontak saja Kai berteriak hingga mengejutkan mereka, “Hei, kalian, kembali ke kelas dan jangan membolos!"
Kai mengejar tiga murid berandal itu. Dua di antaranya berhasil menaiki tembok sekolah. Dan satu orang lagi masih berusaha untuk naik.
“Bee, cepatlah. Ayo turun, kasihan Soya!" teriak Jayden yang sudah berada di luar halaman sekolah.
“Sebentar. Rokku tersangkut sialan!" Bruzetta mengumpat karena roknya mengalami kendala.
“Sobek saja rokmu itu, menyusahkan saja. Cepat, kita dikejar!" Soya sudah kepalang kesal. Soya yang melompat naik seketika terjatuh lantaran kakinya ditarik seseorang.
“Ahh!"
Bruk! Badan Soya terjatuh menimpa tubuh Kai, “Kena kau gadis nakal!"
Kai mengunci tubuh Soya, membuat gadis itu memberontak, berusaha lepas dari kuncian Kai.
“Lepaskan aku, dasar Paman predator anak!" siku Soya menghantam sisi tubuh Kai dengan keras hingga pria itu mengerang kesakitan. “Argh!"
Kuncian Kai sedikit longgar, Soya yang melihat celah untuk kabur berusaha bangun dan melepaskan diri dengan cepat. Sebelum kabur, ia sempatkan menghajar wajah Kai hingga sudut bibir pria itu berdarah.
“Sampai nanti Paman jelek!" ujar Soya lalu melompat pagar sekolah dan kabur bersama sahabatnya.
“Sialan, Argh!" Kai mengerang kesal. Sementara Raffi dan kepala sekolah hanya mampu terdiam, tak tahu harus berbuat apa.