Hidup Kian berubah drastis setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ibu Keira, putri dari sahabat dekat kakeknya. Di tengah keputusasaan, Kian harus menghadapi permintaan terakhir dari ayah Keira yang sedang kritis—sebuah permintaan yang mengguncang hatinya: menikahi Keira dan melindunginya dari segala ancaman yang mengintai. Terjebak di antara janji yang berat dan perasaannya yang masih tak percaya pada cinta karena Stella, mantannya yang mengkhianati.
Kian dihadapkan pada pilihan sulit yang
akan menentukan masa depan mereka berdua. Haruskah ia memenuhi janji terakhir itu atau mengikuti kata hatinya yang masih dibayangi cinta masa lalu? Di tengah kebimbangan dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan Kian akan mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penenang
“Sayang, jangan nangis, nanti aku ikut sedih loh,” Kian berbicara dengan lembut, suaranya penuh perhatian. Senyuman hangat menghiasi wajahnya saat dia menatap istrinya, Keira, yang masih terisak.
Namun, alih-alih berhenti, tangis Keira justru semakin deras. Ia merapatkan pelukannya pada Kian, seakan mencari perlindungan di dalam kehangatan tubuh suaminya. “Sayang, kok malah makin nangis sih?” tanya Kian dengan nada yang lembut namun penuh kebingungan.
Keira menarik napas dalam-dalam di antara isak tangisnya. “Aku... aku kepikiran tentang ke depannya,” ucapnya terputus-putus. “Sekarang aku udah nggak punya keluarga lagi...” Suaranya pecah di ujung kalimat, dan air matanya kembali tumpah.
Kian segera menempelkan telunjuknya di bibir Keira, menghentikan kata-kata penuh kesedihan itu. “Shh... jangan ngomong gitu, ya,” bisiknya lembut. “Sekarang kamu punya aku. Kakek, nenek, Bang Deren, Tasya... dan ingat, almarhum Papa dan Mama aku juga bagian dari keluarga kamu. Kita semua keluarga kamu sekarang.”
Keira terdiam sejenak, menatap suaminya dengan mata yang masih berlinang air mata. Kian tersenyum lembut dan menghapus sisa-sisa air mata di wajah Keira. Dia tahu, rasa kehilangan Keira begitu besar, tapi dia bertekad untuk menjadi sosok yang selalu ada untuknya.
“Jadi, jangan sedih lagi, ya? Kamu nggak sendirian. Banyak yang akan menemani kamu,” lanjut Kian, suaranya penuh keyakinan. Namun, ada satu titik air mata yang hampir jatuh dari sudut matanya. Ia mengusapnya cepat-cepat, berusaha menjaga ketegarannya di depan Keira. “Ayo kita pulang, Kak,” ajaknya, senyumnya tak pernah pudar.
Keira mengangguk pelan, terlihat begitu lelah, baik secara fisik maupun emosional. Energinya sudah terkuras habis oleh tangis dan duka yang berkepanjangan. Kian merangkulnya, menuntunnya dengan lembut ke arah mobil yang terparkir di luar area pemakaman. Di belakang mereka, Grace mengikuti dengan langkah perlahan, memastikan Keira tidak merasa sendirian.
Sementara itu, di dekat makam, Devin memberi perintah singkat kepada Kian. “Ian, ambil mobil. Bawa Keira pulang.” Kian hanya mengangguk, segera menjalankan tugasnya tanpa banyak bicara.
“Ayo, George,” Devin melirik ke arah George yang masih terdiam. Ia menunggu respons dari pemuda itu.
George menggeleng pelan, menatap makam yang kini tampak sunyi. “Nggak dulu deh, Om,” jawabnya tenang. “Aku mau ke rumah Om Norman sama Tante Wendy dulu. Bersihin rumah mereka.”
Devin menatap George beberapa saat, lalu mengangguk mengerti. “Baiklah, Der, temenin George ya,” ucapnya tegas.
“Iya, Yah,” jawab Deren, tanpa ragu. Bersama George, mereka berdua melangkah menuju mobil lain yang telah menunggu.
Devin berjalan menuju mobilnya dengan langkah perlahan. Sesampainya di sana, ia melihat Kian sudah duduk di kursi pengemudi, bersiap untuk pulang. Di kursi belakang, Grace memeluk Keira yang tampak lemah dan masih terpukul dengan kepergian ayahnya. Pelukan hangat nenek barunya itu adalah satu-satunya yang membuat Keira sedikit tenang di tengah duka yang mendera.
“Bang Deren mana, Kek?” tanya Kian dengan nada bingung, melirik ke cermin tengah mobil.
“Deren sama George. Mereka mau beresin rumah Norman dan Wendy,” jawab Devin dengan nada pelan, sedikit lelah.
Kian mengangguk memahami, lalu tanpa banyak bicara lagi, ia menyalakan mesin mobil dan perlahan melaju meninggalkan pemakaman yang sunyi.
Beberapa saat kemudian, mereka tiba di mansion besar yang terlihat kontras dengan hutan kecil yang mengelilinginya. Cahaya lampu menerangi seluruh bangunan, memberikan kesan megah di tengah kegelapan malam.
Grace dan Devin keluar lebih dulu dari mobil, dengan lembut merangkul Keira yang tampak kelelahan baik secara fisik maupun emosional. Tubuhnya terasa berat, seolah semua energinya habis terserap oleh rasa duka yang dalam.
Kian tersenyum kecil melihat pemandangan itu dari balik kemudi. “Gak nyangka gua, pulang-pulang bawa istri,” gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Ada sedikit keheranan, tapi juga kebanggaan di suaranya. Setelah menghela napas, ia pun menyusul mereka.
Belum jauh melangkah, terdengar suara ceria dari dalam rumah. “Neneeeek!” Teriakan kecil itu milik Tasya, yang berlari kecil menuju Grace dengan senyum mengembang. Gadis kecil itu baru saja selesai mandi, tubuhnya bersih dan wangi, membuat wajahnya terlihat semakin cerah.
Grace tertawa kecil sambil mengangkat Tasya ke pelukannya. “Ya ampun, cucu nenek yang lucu banget,” ucapnya, mencium pipi Tasya yang bulat. Wajahnya berbinar saat merasakan pelukan hangat dari gadis kecil itu.
Namun, seketika ekspresi Tasya berubah saat matanya menangkap sosok Keira di dekat neneknya. Ia mengerutkan kening, jelas terlihat ada ketidaksukaan di wajahnya. “Kok dia di sini?” tanyanya dengan nada tidak suka.
Suasana yang tadi hangat mendadak berubah canggung saat Devin angkat bicara, mencoba mengatasi kecanggungan itu. “Mulai hari ini, kak Keira akan tinggal di sini sama kita,” ucapnya lembut, berharap bisa meredakan situasi.
“What?! Kok bisa?” Tasya bertanya dengan nada terkejut, tatapannya melompat dari Keira ke Devin.
Devin berusaha tersenyum. “Ya bisa lah sayang. Kak Keira sekarang istrinya Bang Kian, jadi dia kakak ipar kamu,” jelas Grace dengan suara lembut, berharap bisa menenangkan cucunya yang tampak semakin tidak nyaman.
“Hah? Kenapa aku gak dikasih tahu?! Aku gak mau dia di sini!” Tasya tiba-tiba meledak, tubuhnya yang kecil penuh emosi, berusaha melepaskan diri dari pelukan Grace.
Sebelum siapapun sempat menahannya, Tasya berlari menuju tangga dan menghilang ke lantai dua, pintu kamarnya terdengar dibanting dari jauh. “Tasya Darmansyah!” panggil Devin dengan suara keras, namun tak ada jawaban selain keheningan yang terasa lebih berat.
Devin memandang Keira sejenak, merasa bersalah.
“Udah mas, jangan dimarahin,” kata Grace menenangkan, menepuk pundak suaminya. “Nanti dia makin gak suka sama Keira kalau dikerasi. Biar aku yang ngomong sama dia. Sebentar ya, Ra. Jangan dimasukin ke hati, ya,” lanjutnya sambil mengusap lembut bahu Keira.
Keira mengangguk pelan, namun wajahnya tampak lemah, hampir putus asa. “Kek, mungkin aku sebaiknya tinggal di rumah mama papa aja,” gumamnya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Devin menatapnya tegas namun penuh kasih. “Kamu harus di sini, sayang. Kakek gak akan biarin kamu tinggal sendiri.”
“Tapi ada kak George sama bang Deren, Kek. Mereka bisa jagain aku,” Keira mencoba mencari jalan keluar yang lebih nyaman baginya.
Devin menggeleng, matanya serius. “Nggak, sayang. Kamu tetap di sini. Ini rumah kamu sekarang. Tasya hanya perlu waktu untuk menerima. Nanti kakek dan nenek yang urus soal dia, ya?”
Keira membuka mulut untuk membantah, tapi sebelum sempat berkata apa-apa, Devin melanjutkan, “Tasya itu terlalu sensitif soal abangnya. Dulu, Kian pernah dekat sama cewek, tapi ujung-ujungnya dia disakiti. Sejak itu, Tasya jadi posesif sama Kian. Jadi, dia cuma butuh waktu buat terbiasa, ya?”
Keira terdiam, tak tahu harus berkata apa. Rasa lelah mengalahkan segala keinginan untuk melanjutkan percakapan itu. Saat itu juga, Kian datang mendekat dan dengan lembut meletakkan tangannya di pundak istrinya.
“Mau istirahat di kamar?” tanya Kian, suaranya rendah dan penuh perhatian. Ia tahu betul betapa berat hari ini bagi Keira.
Keira mengangguk tanpa suara, matanya bertemu dengan tatapan suaminya. Sejenak, ada keheningan di antara mereka, namun Kian cepat-cepat mengalihkan pandangan, mungkin karena tak sanggup melihat luka yang begitu dalam di mata Keira.
“Yuk, ikut aku,” lanjutnya, nada suaranya berusaha tetap tenang. Mereka pun berjalan bergandengan tangan menuju kamar.
Devin tersenyum tipis melihat keduanya. Ada kehangatan dalam tatapannya, meski ia tak bisa menghilangkan kegelisahan yang bersemayam dalam hatinya. “Semoga lu sadar sama perasaan lu, Ian,” gumamnya dalam hati, berharap cucunya bisa segera memahami apa yang sebenarnya ia rasakan.