Bawa pesan ini ke keluargamu!
Teruslah maju! Walau sudah engkau tidak temui senja esok hari. Ada harapan selama nafas masih berembus.
Bawa pesan ini lari ke keluargamu!
Siapa yang akan menunggu dalam hangatnya rumah? Berlindung dibawah atap dalam keceriaan. Keset selamat datang sudah dia buang jauh tanpa sisa. Hanya sebatang kara setelah kehilangan asa. Ada batu dijalanmu, jangan tersandung!
Bawa pesan ini ke keluargamu!
Kontrak mana yang sudah Si Lelaki Mata Sebelah ini buat? Tanpa sengaja menginjak nisan takdirnya sendiri. Tuan sedang bergairah untuk mengejar. Langkah kaki Tuan lebih cepat dari yang lelaki kira. Awas engkau sudah terjatuh, lelaki!
Jangan lelah kakimu berlari!
Jika lelah jangan berhenti, tempat yang lelaki tuju adalah persinggahan terakhir. Tuan dengan tudung merah mengejar kilat.
Tuan telah mempersembahkan kembang merah untuk Si Lelaki Mata Sebelah.
Sulur, rindang pohon liar, sayupnya bacaan doa, lumut sejati, juga angin dingin menjadi saksi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Indy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Rumpang
..."Bagian mana yang sudah engkau buang dari dirimu sembari mengisi kekosongan hati dengan air agak tidak berlubang? Sucikan jiwa dan raga hanya dengan berdiri tegak manis didalam lingkaran." - Altar...
Melupakan sejenak wajah orang yang engkau lihat dalam detik terakhir. Kali ini ada seorang wanita berbentuk boneka, cantik wajahnya, namun, rusak badannya. Mendekam dalam kegelapan yang setia menemani. Dendam tersulut, namun, mengapa hanya meneteskan air mata mencoba melampiaskan.
Darah sedikit mengering dari bagian dalam roknya dibiarkan begitu saja.
Bibir merah yang terluka dibiarkan begitu saja.
Rambutnya yang acak-acakan begitu saja
Sepatunya jebol dia abaikan.
Kini hanya ingin diam tanpa melakukan pergerakan apa pun. Terkapar melihat lelaki gemuk sialan yang mengancingkan bajunya segera. Dinginnya udara menerpa diri gadis itu hanya dia abaikan. Hangat jelas tidak. Sorot matanya juga sudah nampak hilang, seakan mati adalah pilihan yang paling baik. Sumpah serapahnya dia rapalkan dalam hati. Awas! Menyakiti dengan tanganmu akan di benci sampai umur hidupnya.
Langkah kaki pergi meninggalkan, setelah berpuas bercinta dengan gadis yang selalu menggoda pandangan.
Merasa lega semenjak lelaki itu meninggalkan tubuhnya. Perlahan begerak sedikit demi sedikit menuju tepian jurang. Menatap terjun ke bawah dengan mata kosongnya.
Mati lebih baik.
Mati lebih baik.
Mati lebih cepat, lebih baik.
Mati terus saja akan menjadi pilihan yang baik.
Sorot lampu mengacaukan pandangan. Teriakan sang ayah memecah keheningan. Menyadarkan Liliana yang sudah kacau. Menganggu. Semua lelaki adalah penganggu.
Tetapi, kepada siapa jika bukan pada ayahnya dia akan mengadu Terseok mencari sang ayah. Menemukan lelaki dengan air mata terus mengalir. Memukul sang ayah kuat karena Liliana menyalahkan keadaan!
Gadis yang selalu dia gendong, timang-timang kini hanya tinggal seonggok sampah.
"Liliana!" teriak sang ayah parau. Melihat tubuh putrinya membuat sang lelaki kuat itu begitu lemah tidak berdaya. Berlutut meminta maaf sedalam-dalamnya kepada putrinya.
Jelas dosa mana yang tidak akan sang ayah maafkan.
Dosa tidak akan pernah termaafkan.
Sang ayah akan berjanji untuk membunuh lelaki bajingan itu!
...***...
Pagi tidak selalu menyapa dengan baik. Kadang penuh dengan angin dingin atau mendung sedikit menutupi sinar matahari hangat. Kadang juga, daun berguguran, dan bunga bermekaran mengundang kupu-kupu. Mereka tidak hanya sebentar mereka juga memberikan kenangan tidak menyampai satu tahun. Siklus yang lama itu hanya bisa dilihat secara singkat.
Tuan Muda menutup jendela setelah puas memandang langit. Suara dayang memanggil namanya untuk segera menikmati sarapan dengan teh hangat. Lelaki dengan berperawakan sedang mengambil jasnya lalu bergegas menuruni tangga.
Kedua orang tuanya sudah siap dengan meja makan mereka.
"Sudah lama kamu tidak pulang ke rumah."
Lelaki itu memberikan salam. "Aku akan menginap di rumah dinas kepolisian. Aku hanya merasa harus menangani kasus ini lebih serius dari kebanyakan kasus lainnya."
"Baiklah, ayah akan sering mengunjungimu." Tuan Besar Vegas mengangguk menyetujui permintaan putra semata wayangnya itu.
Setelah berpamitan dengan kedua orang tuanya juga menyimpan barang-barangnya dalam kereta mesin lainnya. Julian Vegas memutuskan untuk berdekatan dengan Tuan Zion juga Clause.
Kasus Mayat Kering telah menyebar dipenjuru negara. Dibicarakan dengan banyak orang, Dighibahkan oleh pedagang juga menyebar rumor mengerikan.
Ketakutan menyebar.
Kegelisahan akan kematian menjamur.
Menyebabkan muncul aliran agama yang mengatasnamakan pelindungan.
Julian bukan forensik yang terikat dengan satu kasus, ketika banyak yang membutuhkan bantuannya untuk meneliti mayat dia akan segra melakukannya. Hanya saja anak buahnya akan lebih sibuk sekarang. Tuan Muda Vegas akan memfokuskan diri.
Berhenti kereta mesinnya dalam rumah dengan pelataran luas. Pagi ketika matahari belum sepenuhnya menampakkan diri, Julian melihat Clause hanya mengenakan kaos oblongnya.
"Untuk apa kamu ke sini?"
"Aku akan tinggal di sini," jawab Julian dengan malas.
Keduanya memang tidak akur dalam pertemuan pertama, tetapi, keduanya tidak bisa dipisahkan secara alamiah. Tuan Zion pun mengangguk setuju perihal itu.
"Tcih, tidak punya rumah."
"Aku tidur di kamarmu."
"Tidak!" teriak Clause.
Sembari membenahi kemeja putihnya. Tuan Zion hanya mendengarkan keduanya berdebat selayaknya lebah yang mendengung. Menikmati sarapan yang tentu saja dibuat oleh Clause 10 menit yang lalu-masih dengan suara bising.
"Clause, ayo berangkat."
Suara keras Tuan Zion melerai keduanya setelah bedebat mengenai kamar mereka. Tuan Zion sudah menduga jika Clause tidak menelisik ke seluruh rumah dimana ada banyak kamar yang tersdia- setidaknya ada 5 kamar yang ada.
Kedua anak yang msih bertengkar bagaikan kucing keluar rumah dengan rasa kesal. Memilih kereta mesin yang berbeda. Tuan Zion mengunci pintu kamar setelah membawa jas untuk Clause yang cerobohnya masih dia tinggalkan di sofa.
Seseorang berlari menyambut kedua kereta mesin yang terparkir rapi di halaman depan kantor kepolisian utama. "Tuan Zion syukurlah Anda datang tepat waktu. Ada yang ingin menemui Anda."
Seorang lelaki berusia sekitar 25 tahunan, berpakaian lusuh seperti baru saja terjun dari gunung. Tuan Zion mendekati lelaki itu. Pemuda yang memiliki perawakan sedang seperti Julian juga Clause sembari membawa benda ditangannya.
"Saya melihat pengumuman orang hilang yang Anda sebar melewati koran. Saya menemukan ini. Saya hanya merasa cocok dengan apa yang dikatakan ciri-ciri korban."
"Gelang kaki?" Clause nampak begitu antusias. "Dengan tali belang putih abu."
"Bukankah ini milik Amanda?" Julian bersuara.
"Bisakah Anda menunjukkan jalan di mana Anda menemukan ini?"
Seakan menemukan jalan pulang setelah sekian lama tersesat. Dua kereta mesin berhenti pada sebuah jalan setapak menuju pegunungan. Sedikit akses yang bisa dilalui, tentu saja kereta mesin tidak akan sampai. Pada akhirnya, keempatnya berjalan menaiki tangga kecil yang dibuat warga sekitar.
Bukit Azur, indah pemandangannya. Asri tehnya, banyak pohon pinus, objek wisata bertanam, kebun kopi. Surganya sayuran hijau ada di sana.
"Saya menemukannya di sana."
"Baiklah, Tuan Allan. Terima kasih."
Pemuda itu mengangguk dengan ragu melangkah meninggalkan kepolisian yang akan bertugas. Clause nampak curiga pada akhirnya dia mencoba mendekat.
"Anda terlihat gelisah. Apakah ada yang salah?"
"Banyak ular di sekitar sini. Apakah kalian tidak apa?"
Sedikit tersanjung dengan kekhawatiran yang ditunjukan oleh Allan. Clause menggeleng ketika suara Julian mengagetkannya. "Clause! Ada ular!"
"Hm, sepertinya kami membutuhkan bantuan Anda." Senyum Clause nampak terbit sempurna.
Tuan Zion menandai tempat ditemukannya gelang Amanda. "Apakah Anda bisa menceritakan bagaimana Anda menemukan gelang ini?"
"Saya pengepul arang, setiap hari melewati jalan ini. Ketika tanpa sengaja benda bercahaya mengalihkan pandangan saya. Karena gelang ini nampak begitu bagus dengan permata, saya hanya berpikir jika pemiliknya adalah orang tajir. Oleh karenanya saja berusaha mendengarkan berita orang hilang dan salah satunya memiliki ciri yang sama."
Tuan Zion mengangguk atas alasan yang masuk akal. "Bukankah ada kantor kepolisian lebih dekat dari sini? Mengapa Anda menuju ke pusat?"
Berita kehilangan selalu dikaitkan dengan kasus mayat kering. Setelah tahu bahwa Anda yang menangani kasusnya saya berpikiran untuk mengatakan secara langsung."
"Terima kasih," jawab Tuan Zion.
Menelisik terus sekitaran apakah ada jejak yang ditinggalkan. Melirik sekilas Clause juga Allan yang berusaha menemukan bukti lain. Mengajak orang awam membantu, bukankah ide buruk? Tetapi, Julian sudah naik pohon karena takut dengan ular. "Mengapa aku memiliki anak buah seperti mereka?"
"Aku tinggal di sekitar sini." Clause meminta Allan untuk membongkar sebuah sarang yang berada di bawah. Terlihat ada jejak kaki yang menuju dalam sarang. Berisikan telur ular yang sepenuhnya menetas. "Mungkin seseorang yang mencari umpan."
"Astaga! Di mana si ularnya!" Berusaha menuruni pohon cepat.
Julian sangat takut dengan ular. Membayangkan mereka berbisa menyebabkan kematian. Ah, rasanya meninggal karena bisa ular adalah kecerobohan. Berusaha membantu kedua temannya yang mendelik kepadanya. Julian mendekati Tuan Zion ketika dia melirik sesuatu yang membuat Julian terus melongo.
Tatapan Julian sedikit membatu, ada semak-semak yang seakan rubuh. Pertempuran sengit mungkin terjadi beberapa waktu lalu. Setelah melihatnya banyak ranting pohon berjatuhan, daun sedikit berantakan sudah sebagian tersapu angin. Tuan Zion seakan menyadari sesuatu yang tidak Julian sadari.
"Clause, gali semak-semak ini!"
Diambilkannya ranting atau dahan pohon terbengkalai, segera membantu. Tidak tinggal diam Tuan Zion melakukan hal serupa. Semak sudah di babat, sedangkan, Allan meminjam cangkul dai petani yang menanam padi. Julian hendak membantu seketika dia menyadari sesuatu. Segera menghentikan keduanya untuk menggali. "Tunggu," jeritnya keras.
Tuan Zion juga Clause segera menjauh.
"Ada kain." Julian menggali menggunakan tangannya. Dengan lembut memegang kain merah yang sepenuhnya kebak tanah. Menyadari ada benda kenyal yang menyentuh kulitnya Julian menyingkirkan tangannya cepat.
"Bantu gali menggunakan tangan, jika aku benar maka, ada mayat di bawah kuburan ini."
"Gunakan ini," Allan memberikan sarung tangan berkebun untuk mereka semua. Setidaknya tiga pasang yang membantu penggalian.
Seperti dugaan Julian ada mayat yang dibungkus oleh kain merah dikubur secara sembarangan. Melihat wajah yang sudah mengering sempurna, Julian tidak bisa menahan amarah yang tiba-tiba menyeruak. "Sial," rutuknya dengan mata memanas.
Kasus mayat kering terulang kembali.
Menenangkan anak dengan segelas coklat panasnya. Setelah meneruskan penggalian sampai ke akar. Dikenali korban sebagai Amanda yang digadang hilang. Kasus hilang sudah ditutup digantikan dengan kasus penemuan mayat kering.
Julian membaringkan tubuhnya di atas kasur lantai milik seorang pemuda yang sudah membantu mereka sejak awal penemuan.
Clause telah berbicara mengenai pemuda yang bernama Allan. Salah satu dari korban kengerian dunia. Ditinggal mati ayah bundanya, tinggal bersama kakeknya sebagai pengepul arang, pencari kayu bakar, dan mengelola sawah sepetak. Bertahan hidup diantara orang kaya berhamburan uang.
"Apakah kamu sudah tenang?" Clause datang dengan membawakan sedikit camilan. "Allan yang membuatnya. Dia juga sedikit pintar membuat kue. Yah, walau sedikit kacau."
"Aku tidak lapar," jawab Julian. "Aku akan melakukan autopsi besok, sekarang biarkan aku beristirahat." Berbalik arah, merajuk pada Clause.
"Tuan Zion bertemu dengan keluarga Amanda. Bundanya sangat histeris sehingga dilarikan ke rumah sakit karena serangan shock sementara." Clause menyomot kue buatan Allan yang apa adanya. Sedikit terheran akan rasa lumayan enak.
"Yah, bayangkan saja jika putri yang sangat dia sayangi menjadi korban dari kengerian kasus mayat kering. Tuan Zion sudah mengatakannya tetapi, siapa yang siap dengan kehilangan?"
"Tidak ada," jawab Clause. "Tetapi...," arah pandangannya menuju ke atas langit siang. "Aku tidak takut."
Julian melototkan matanya terkejut. Pertama kalinya Clause mengatakan dengan suara lantang, tegas juga penuh dengan keyakinan. Julian mengetahui latar belakang Clause yang bukan dari keluarga susah, penuh dengan uang sejak kecil. Keluarganya bangsawan. Tetapi, dia telah melalui banyak hal sehingga membentuk dirinya yang sekarang. Apa pun itu pasti merupakan pelajaran luar biasa.
Terdengar suara langkah kaki menjauh dari tubuhnya. Julian bangkit lalu berjalan menuju luar rumah. Melihat Allan yang menemui beberapa polisi menceritakan kejadiannya. Seorang wanita juga turut hadir dalam kereta mesinnya, masih menangis. Sementara jasad suaminya belum ditemukan, asa masih dia genggam nyaman.
Julian menuju peti mati seseorang, dibukanya setelah menggunakan sarung tangan. Meraba seluruh tubuhnya lalu menekan bagian perutnya. Yang menarik dari jasad wanita itu adalah pakaiannya masih utuh. Renda, berlian, juga sepatu masih nyaman dia dipakai. Kulitnya putih, riasan wajah juga masih ada, gelang lepas, rantai berhamburan, rambutnya sedikit basah karena air tanah.
Julian mengambil selemek jubah merah. Membalikkan kanan-kiri. Melihat apakah ada bekas noda darah atau semacam perlawanan. Nyatanya, tidak ada.
"Katun kualitas terbaik."
Berharap akan menemukan petunjuk dari kain merah itu. Julian memerintah untuk memindahkan jasad menuju ke ruang autopsinya sekarang. Ada yang harus dipastikan oleh Julian. Bagaimana kuku yang cantik bisa patah juga bagaimana gelang kaki bisa jatuh engan sendiri padahal rantainya sekuat itu.
Juga....
Hidung dengan serbuk besi.
Kini, pembunuh sudah menunjukkan taringnya. Dengan berani menyelimutkan jubah merah tanda peperangan diantara mereka telah dimulai.
Clause melihat Julian meninggalkan lokasi. Sementara dirinya juga masih mencari jejak Tuan Ferden yang belum diketemukan sampai sekarang. Jika jasad Amanda ditemukan di Bukit Azur maka, masih ada kemungkinan keduanya juga akan diketemukan.
Setelah mengetahui ciri-ciri terakhir korban meninggalkan rumah, Clause juga lima orang penyidik lainnya bergerak maju. Malam yang gelap tidak menyurutkan mereka untuk mencari. Relawan juga dikerahkan ketika ada yang menawarkan diri. Clause bertemu dengan Allan ketika dia juga menwarkan bantuan. Lelaki pemberani seperti dia mampu dimanfaatkan.
Gerimis sedikti mengundang pada sepinya malam. "Kita berteduh dahulu," Clause berujar.
"Aku membawa payung." Allan memberikan.
Clause membuka payungnya segera, mengaduh pelan ketika ujung payung mengenai sesuatu benda keras yang membuat dirinya juga terbentur gagang payung. "Aduh," rintihnya.
"Ada apa?" Allan refleks menyinari atas Clause. Terpeleset ketika melihat sesuatu yang menggantung di kepala Clause. Tepat di atas kepalanya.
Melihat ekpresi ketakutan Allan, Clause mengikuti arah pandang Allan. "HUWAA!" teriak Clause terkejut setengah mati. Tubuhnya tiba saja bergetar melihat pemadangan itu.
Tubuhnya terbujur kaku.
Bentuk hidung, wajah, juga mulut yang menjulur lidahnya.
Hujan malam itu membawa pesan kepada kepolisian.
Seseorang telah menggantung dirinya akibat hal rumpang.
Clause menenangkan dirinya setelah dia menghampiri Allan yang berada di tanah, bak anak kucing kehilangan induk. Senter menyala tidak mereka hiraukan. "Maaf, tetapi aku terkejut."
"Tidak apa," jawab Allan dengan suara bergetar. "Aku juga terkejut. Wajar, kita hanya manusia."
Clause melihat anak buahnya datang secara beramai-ramai. Membawa perlengkapan cukup setelah Clause mengisyaratkan perintah mutlak kepada mereka. Beruntungnya sinar rembulan yang meninggi membuat mereka jelas melihat keadaan yang ada.
"Bawa jasadnya ke tempat Julian berada."
"Baik Tuan."
Mentalnya juga sudah hancur habis-habisan.
Tetapi, hatinya harus sekuat baja.
...***...
Lagi-lagi dalam malam gelap seseorang merintih ketakutan. Menjerit seperti apa dunia kejam terhadap dirinya. Gempar sudah otaknya, seakan dunia akan runtuh jika bersamanya. Ada yang terus mengacak rambutnya sebal. Membayangkan bagaimana benda menjijikkan itu masuk ke dalam kemaluannya.
"Liliana," panggil ayahandanya terus menerus menenangkan.
"Tenanglah, ini hanya ayah."
Setelahnya semakin lega. Mengetahui bukan suara menjijikkan lelaki yang dipanggil tuan oleh ayahnya. "Aku takut!" teriaknya .
"Iya, ayah tahu." Memeluk putrinya dalam kehangatan. Ayah terus membisikkan kata penenang hingga sang putri terlelap nyaman. Menarik selimut mengusap air mata bercucuran. Keringat membasahi sudah dilap.
Membara api marahnya dalam dada. Otak sudah tidak diajak kerja sama untuk tenang. Dilangkahkan kaki menuju gelapnya malam, sembari membawa penerangan sederhana. Ada manusia mengangkang berdiri di tengah jalan aspal. Lelaki itu lalu melihat sang ayah sedang membawa tangis putrinya.
"Aku mendengar jika kamu bisa melakukan tugas pembunuhan?"
"Apa yang bisa kamu tukar?"
Sebua-h tantangan sudah sang ayah setujui. "Nyawaku," jawabnya pada lelaki bertudung merah.
"Jika begitu aku akan senang."
Lelaki bertudung merah menghilang setelah tersenyum nakal. Dari balik semak kepergiannya sudah dihantarkan oleh angin malam. Sang ayah kembali dalam rumah, lalu mencium kening putrinya.
"Aku menunggu kematianmu, Jack."
...***...
Bersambung...
Meski hati terserang rindu akan rumah tapi canda teman sesama menjadi penghangat lara, namun mereka tak tau ada sesuatu yang tengah mengincar nyawa.~~ Samito.
numpang iklan thor/Chuckle/
Iklan dikit ya thor🤭