Terlahir dari orang tua yang membenci dirinya sejak kecil, Embun Sanubari tumbuh menjadi laki-laki yang pendiam. Di balik sifat lembut dan wajah tampannya, tersimpan begitu banyak rasa sakit di hatinya.
Ia tak pernah bisa mengambil pilihannya sendiri sepanjang hidup lantaran belenggu sang ayah. Hingga saat ia memasuki usia dewasa, sang ayah menjodohkannya dengan gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Ia tak akan pernah menyangka bahwa Rembulan Saraswati Sanasesa, istrinya yang angkuh dan misterius itu akan memberikan begitu banyak kejutan di sepanjang hidupnya. Embun Sanubari yang sebelumnya menjalani hidup layaknya boneka, mulai merasakan gelenyar perasaan aneh yang dinamakan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dzataasabrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Living Together
Setelah melalui hari yang melelahkan itu, kami menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam untuk pergi ke kediaman Sanu. Sebelumnya, Sanu sempat menanyakan padaku apakah aku ingin tinggal di rumah yang baru dengan ukuran yang lebih besar atau tinggal di apartementnya saat ini. Mendengar pertanyaannya itu, aku hanya mengendikkan bahu, tak peduli.
"Aku tahu kau punya banyak uang, tetapi tidak perlu membuang lebih banyak uang untuk membeli rumah baru," ujarku dengan sedikit ketus.
Apakah hal seperti ini bahkan perlu ditanyakan? Bukankah harusnya pria yang memutuskannya? Lagipula, di situasi seperti ini aku tidak peduli lagi kemana dia akan membawaku. Asalkan bisa berada jauh dari rumah, aku akan menuruti kemanapun ia akan membawaku bahkan jika harus tidur di peternakan sekalipun.
Mendengar kalimatku, ia menggeleng pelan. "Oh tidak, aku tidak akan membeli rumah baru. Sebetulnya ayahku punya beberapa ru-"
"Ya, baiklah terserah kau saja." ujarku dengan cepat, memotong kalimatnya yang belum selesai itu.
"Jadi keputusan akhirnya kamu mau tinggal di apartementku atau rumah baru?" Ia kembali bertanya, menatapku dengan mata hazelnya yang berbinar itu. Oh syit! Aku tidak suka melihat mata itu. Terlalu menghipnotis.
Aku membuang muka, tak sanggup menatap matanya. Dengan berlagak kesal, aku memutar mata dengan sebal. Sejujurnya aku benar-benar sebal.
Haruskah dia terus bertanya? Seharian ini sudah sangat melelahkan untukku ditambah aku harus menahan nyeri seharian karena luka-luka sialan itu. Jika dia bukan suamiku sudah pasti akan kutempeleng kepalanya itu.
"Bisakah kau berhenti bertanya? Bukankah sudah jelas ucapanku sebelumnya?" aku mengatakan kalimat itu dengan nada kesal.
Mendengar itu, Sanu terdiam. Ia seperti menyadari intonasiku yang meninggi, sorot matanya yang berbinar meredup, berganti dengan tatapan sedih.
Hmm, apakah dia tersinggung?
"Baiklah. Kita akan pergi ke apartementku. Aku akan mengatakan kepada ayah agar barang-barangmu bisa segera dipindahkan." ujarnya pelan sembari meninggalkanku sendirian untuk menghampiri ayahnya.
Dari hasil perbincangan itu, disinilah kami. Di apartement milik Sanu yang terletak di tengah kota dan jaraknya hanya beberapa kilometer dari kampus.
Sejujurnya, aku sudah bisa menebak bahwa apartementnya pastilah bukan apartment biasa. Dilihat dari sisi manapun juga, apartement ini adalah sebuah penthouse mewah yang hanya bisa ditinggali oleh orang-orang super berada.
cr : pinterest
Setelah ia membukakan pintu, aku berjalan masuk ke apartement miliknya itu. Sejak pertama kali melihat interiornya, aku terkesima melihat betapa bersih dan rapihnya apartement itu. Selain itu, ukurannya benar-benar luas. Jika diperkirakan mungkin lima belas kali lipat luas kamarku yang menyedihkan.
Seluruh penjuru ruangan didominasi oleh warna-warna gelap seperti hitam dan abu-abu. Terdapat televisi selebar papan tulis di ruang tamunya. Ada pula sebuah pantry mewah yang sangat futuristic lengkap dengan semua peralatan masak canggih dan otomatis. Di dekat ruang tamu, tertata rapih sebuah meja dan beberapa kursi untuk sekedar makan atau duduk-duduk.
Sanu melipat lengan kemejanya hingga ke siku. Tanpa sengaja, aku menatap urat-urat lengannya yang sangat manly itu. Aduh Bulan, alihkan matamu!
Ia melihatku sekilas sebelum berjalan mendahuluiku untuk menaiki anak tangga, menuntunku menuju kamar kami.
Ehh, KAMAR KAMI?!?!
Apakah kita benar-benar akan tidur di satu kamar yang sama? Duuh membayangkannya saja wajahku sudah memerah. Seumur hidupku aku tidak pernah berbagi kamar dengan pria. Ya sudahlah ya, apa boleh buat. Aku melanjutkan langkahku dengan terus mengelus dada. Jangan berdebar Bulan!
Sanu membuka pintu berwarna cokelat polos di hadapannya itu dengan perlahan, lantas menahannya dan mempersilahkan aku untuk masuk mendahuluinya.
Sedetik setelah aku menginjakkan kakiku fi kamar itu, mulutku nyaris berdecak kagum saat melihat betapa rapih dan megahnya kamar baru yang akan kutempati ini. Aku berlari kecil ke arah jendela kaca untuk mengagumi pemandangan indah berupa gedung-gedung pencakar langit serta city light yang sangat indah saat malam hari.
Cr : pinterest
Suasana ini benar-benar 180 derajat berbeda dengan kamarku yang suram dan reot. Meski aku selalu tercukupi secara ekonomi, tetapi ayahku selalu mengurungku di kamar mengerikan itu. Karena letaknya yang ada di lantai atas dan di sudut rumah, ia memutuskan menempatkanku di sana agar ia leluasa menyiksaku tanpa terdengar oleh orang lain.
Setiap kali ayahku naik ke kamarku, tidak ada satupun orang yang boleh naik ke lantai yang sama. Tidak para pelayan, tamu, bahkan ibuku sendiri. Satu-satunya jendela kamarku hanya terhubung dengan hutan yang gelap. Saat malam aku bahkan tidak bisa melihat apapun selain pepohonan yang gelap di sana.
Melihat apa yang tersaji di depanku membuatku nyaris menangis. Betapa indahnya pemandangan ini. Aku merasakan mataku mulai berkaca-kaca karena terharu. Sebelum air mataku sempat menetes, terdengar suara berat nan lembut memanggilku dari belakang.
"Em.. Ini kamar kita berdua. Barang-barangmu sudah selesai dipindahkan. Kamu bisa memeriksanya di ruangan itu," Aku menoleh ke arah sumber suara, memperhatikan Sanu dengan wajah lelah dan lesunya yang entah kenapa terlihat... seksi?
Bisakah kau diam otakku? Kau benar-benar sudah gila Bulan.
Sanu memandangku dengan tatapannya yang ramah, ia terlihat memaksakan sebuah senyum tipis padaku di wajahnya yang lelah itu sembari menunjuk sebuah pintu berwarna biru muda yang warnanya sangat kontras dengan segala ornamen di kamar ini.
Aku mengangguk pelan menanggapinya, kemudian berjalan meninggalkannya menuju pintu itu. Aku membukanya dengan perlahan.
Aku terkesiap, sungguh mengejutkan melihat semua barang-barangku telah tertata rapih di sana. Kapan mereka memindahkannya ya? Bahkan kurasa ada baju-baju serta sepatu baru yang bukan milikku.
cr : pinterest
Aku menoleh ke arah Sanu yang masih berdiri di belakangku, tanpa sadar aku mengangguk ke arahnya dan ia membalas anggukan singkatku dengan senyum ramah.
"Kamu mau mandi terlebih dulu?" aku hendak kembali melihat closet baruku saat mendengar kalimat itu meluncur dari mulutnya dengan sangat amat santai.
Aku nyaris tersedak saat mendengar ia mengatakan hal tersebut sesantai itu.
"Y-Ya aku duluan." ujarku dengan acuh untuk menyembunyikan rasa malu dan pipiku yang memerah.
Dasar tidak peka, bisa-bisanya dia mengatakan itu dengan sangat biasa saja?
Sanu tersenyum ke arahku dan setelah ia mendengar ucapanku, ia berjalan keluar dari kamar tanpa kata.
Aku bergegas berjalan ke kamar mandi untuk segera membersihkan diri. Terlebih lagi, aku benar-benar sudah tidak kuat menahan rasa perih di sekujur tubuhku karena dress yang kukenakan sepanjang hari.
Sesaat setelah aku masuk ke kamar mandi, aku kembali ke arah pintu dan menguncinya rapat-rapat. Memastikan tidak akan ada yang masuk selama aku di dalam.
Jangan melihatku begitu, aku hanya khawatir terjadi hal-hal memalukan seperti di film-film.
Setelah memastikan pintu terkunci rapat, aku membuka resleting di punggungku dengan bersusah payah. Butuh beberapa menit untuk bisa melepaskannya dengan sempurna.
Setelah semua pakaianku sempurna terbuka, aku memandangi tubuhku di depan kaca. Sungguh mengerikan melihat diriku sendiri seperti ini. Badanku penuh lebam, terdapat pula beberapa luka menganga di beberapa titik.
Sejujurnya ayahku tidak biasanya memukuliku seperti ini. Ia paling tidak suka melihat cacat di kulitku karena ia amat menyukai kulit putih yang mulus dan bersih. Namun, kemarin berbeda. Dia seolah sangat marah dan kesetanan hingga memukuli tubuhku dengan membabi buta, seolah aku bukan manusia melainkan hanya seonggok karung beras.
Jika Sanu melihatku seperti ini, kurasa dia pun akan merasa jijik dengan diriku. Kuharap dia bukan pria brengsek yang akan memaksaku untuk berhubungan di hari pertama kami ini.
Sejujurnya aku benar-benar tidak ingin melakukan hal itu dengan orang yang tidak kucintai. Meski ayahku yang biadab itu telah melecehkanku selama bertahun-tahun, ia belum mengambil keperawananku.
Ya, belum. Karena dia merencanakan untuk mengambilnya! Dasar biadab! Ia mengatakan bahwa ia akan melakukannya di umurku yang kedua puluh. Beruntung aku menikah hanya sebulan sebelum ulang tahunku yang kedua puluh. Jika sampai saat itu aku masih ada di rumah, entah bagaimana lagi aku harus melanjutkan hidup. Tak akan ada lagi yang tersisa dari diriku.
Aku menghapus setitik air mata yang jatuh di ujung mataku. Tak ada gunanya menangisi hal yang sudah lalu. Sekarang aku sudah berada di sini. Jauh dan tidak terjamah lagi olehnya.
...----------------...
Aku membuka pintu kamar mandi dengan hati-hati. Karena masih ada beberapa luka menganga di lenganku, aku memutuskan untuk menutupnya dengan perban dari kotak P3K yang ada di kamar mandi serta mengenakan piyama berlengan panjang. Entah siapa yang membelikan piyama ini, aku hanya mengambilnya asal dari closet baruku.
Satu hal mencengangkan yang kutemui di closet itu adalah beberapa buah lingerie super seksi yang entah milik siapa.
Aku nyaris melemparkan baju kurang bahan itu saat melihat bentuknya. Ini pasti ulah Ibu. Pastilah dia yang menyelipkan baju aneh itu di barang-barangku!
Ya, walaupun aku juga membenci ibu karena ia tak pernah bisa berbuat apa-apa atas perbuatan ayah, aku sangat berterima kasih kepada ibu karena ialah yang mencetuskan dan mendesak berlangsungnya pernihkahan ini. Aku tau dia tidak berdaya melawan ayah. Hanya inilah usaha terbaik yang bisa ia berikan untuk membantuku bebas dari belengku orang terkutuk itu.
Aku memutuskan untuk mengeringkan rambutku sembari memandang keluar jendela. Memperhatikan indahnya lampu-lampu kota dari atas sini. Sungguh indah, batinku.
Aku masih sibuk memandang keluar jendela saat mendengar suara pintu kamar kami terbuka. Sedetik setelahnya, mencium aroma makanan yang sangat wangi.
Menghirup aroma sedap itu membuat perutku yang belum terisi sama sekali sejak pagi langsung meronta. Aku membawa hair dryer itu bersamaku dan berjalan menuju arah aroma itu berasal.
Aku nyaris memekik saat melihat Sanu berdiri di sana dengan sebuah piring berisikan cumi-cumi tumis di tangan kanannya serta segelas cokelat hangat di tangan kirinya.
Ia menyunggingkan senyum simpul kepadaku. Senyuman yang amat sangat manis. Belum lagi rambut lembutnya yang sedikit berantakan itu. Duh aku ingin sekali menyentuh dan melihat seberapa lembut rambutnya itu.
Aduhh, ada apa dengan dirimu Bulan! Wake up girl! Ujarku dalam hati, membuang jauh-jauh pemikiran bahwa dia orang yang tampan dan mempesona!
"Kamu pasti lapar kan? Ini untukmu," Sanu menyodorkan piring dan gelas di tangannya padaku.
Duh! Jangan sok baik, aku tahu dia pasti ada maunya. Pasti ada batu di balik udang, hmph!
Aku membuang muka, "Tidak, untukmu saja." ujarku dengan sangat berat hati karena sejujurnya perutku mendambakan cumi-cumi itu huhuhu.
Sanu masih berdiri di sana dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya saat perutku mengeluarkan bunyi *prrrggggghh*.
Astaga, betapa bodohnya. Kenapa sih perut ini tidak bisa diajak berkompromi?
Sanu memandangiku sekali lagi, kali ini bibirnya terkatup rapat seperti menahan tawa.
Rrrrrrgghhhh, dia mau menertawakanku? Awas saja kalau dia benar-benar tertawa!
Aku mengambil piring dan gelas itu di tangannya dengan cepat. Aku tetap melihat ke arah samping. Enggan melihat ekspresinya karena aku sangat malu saat ini!
Usai mengambil makanan dan minuman darinya, aku duduk di kursi kecil yang ada di sebelah jendela. Tanpa basa-basi lagi, aku segera menyantap makanan itu dengan lahap sembari memandang ke luar jendela.
Usai menyuapkan sendokan pertama. Aku terkesiap. Astaga? Apakah memang seenak ini rasanya? Aku hendak menangis merasakan betapa enak masakannya. Ini pertama kalinya aku makan makanan seenak ini setelah selama bertahun-tahun hanya diberi makanan sisa seperti seekor anjing di rumah.
Aku menyuapkan makanan itu untuk kesekian kalinya saat tiba-tiba aku tersadar akan sesuatu.
"Hei kau! Kau tidak memasukkan apa-apa ke dalam sini kan?" aku memutar tubuhku, menoleh ke arah Sanu yang baru saja akan masuk ke kamar mandi. Aku khawatir dia memasukkan obat tidur atau obat bius di dalam sini agar bisa membuatku pingsan dan dia akan..... Aduh! Bodohnya aku! Harusnya aku tetap waspada.
Ia menghentikan langkahnya, memandang ke arahku dengan wajah santai, "Oh, aku memasukkan sesuatu tadi."
"Apa? Apa yang kau masukkan? Beraninya kauu! Berapa banyak yang kau tabur?" aku berdiri dengan berang, hendak memuntahkan makanan yang masih terkunyah di mulutku.
"Oh, maaf. Aku memasukkan garam, lada, kecap, dan sedikit gula kurasa. Apa kamu memiliki alergi dengan salah satunya?"
Hah? Aduuh, dasar anak ini! Maksudku bukan itu bodoh! Dan lagi, lihatlah tatapan khawatirnya itu.
"Maksudku bukan itu. Sudahlah lupakan ucapanku." Aku kembali duduk sembari menghela napas panjang. Melelahkan sekali berbicara dengan orang ini.
"Kamu benar-benar tidak memiliki alergi kan?" ia bertanya dari tempatnya berdiri. Masih menatapku khawatir.
"Tidak, aku tidak alergi pada apapun. Satu-satunya alergiku disini adalah dirimu! Sudah sana cepat mandi!"