Karie yang ingin menjadi Sikerei kesatria Maya demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik semua halangan ia lewati, namun kakaknya selalu menghalangi jalannya dalam Menjadi Sikerei pilihan merelakan atau menggapainya akan memberikan bayaran yang berbeda, jalan mana yang ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Io Ahmad, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semua hanya...
Kamu, tidak bisa ke tambang, Aileen. Kenapa?” tanya Sintra, suaranya tajam seperti pisau, matanya menatap ke arah Aileen.
Karie, yang baru saja selesai memperban tangan Aileen, menjawab dengan tegas, “Tangannya terluka, Kak Aileen istirahat saja.” Dia menatap Sintra dengan mata yang penuh ketegasan. “Seharusnya Kak Aileen tidak memaksakan diri jika sedang sakit.”
Aileen duduk di sudut ruangan, perban di tangannya kontras dengan kulitnya yang pucat. “Tapi aku tidak…” suaranya bergetar, matanya memohon pengertian.
Karie memotongnya, “Tidak apa, aku juga akan mengerjakan bagian Kak Aileen.” Pandangannya tidak bisa dibantah, membuat Aileen terdiam, bibirnya bergetar namun tidak ada kata yang keluar.
Sintra mengerutkan kening, jelas tidak puas. “Tapi ia masih bisa melakukan hal lain, kita punya target yang sudah disepakati kan?” Suaranya menurun, namun masih terdengar nada keberatan, seperti rintik hujan yang belum reda.
Karie menatap Sintra dengan tajam. “Sudah aku katakan kan, aku akan mengambil alih bagian Kak Aileen juga, kenapa kamu bersikap keras seperti itu?”
Sintra mendesah, matanya berkilat. “Yah, karena itu akan menghambat kita kan, ia bilang tidak apa-apakan!?.”
Karie mendorong Sintra keluar, membawa piring sarapannya. Mereka berjalan menuju karavan yang akan membawa mereka ke stasiun tambang Tjimala. Udara dingin menusuk kulit, sisa-sisa salju mencair di sepanjang jalan setapak. “Kak Aileen istirahat saja, kami berangkat ya?” katanya, menoleh ke arah Aileen yang masih duduk di sudut ruangan. Aileen hanya mengangguk pelan, matanya terlihat lelah.
Di luar, langit berwarna kelabu, awan tebal menggantung rendah. Karie berbalik dan menatap Sintra dengan tajam. “Seharusnya kamu lebih peka terhadap Kak Aileen. Tidak seharusnya kamu menekan nya seperti itu. Ia selalu berusaha membantu kita sebisanya.” Suaranya penuh dengan ketegangan yang terpendam, mencerminkan kekhawatirannya terhadap Aileen.
Sintra membuang tatapannya, wajahnya mengeras. “Aku tidak suka hal yang merugikan diriku. Kau juga terlalu memanjakannya. Jangan asal memutuskan, ingat siapa ketua di kelompok ini, Erhu.” Suaranya dingin, seperti angin musim dingin yang berhembus di antara pepohonan, membawa serta rasa tidak puas yang mendalam.
Karie tersenyum tipis, nada suaranya meledek. “Siap, salah ketua. Lain kali aku bicarakan denganmu.”
Saat anak-anak penampungan pergi melaksanakan tugas mereka, hanya sedikit yang tinggal. Aileen berbaring di tempat tidurnya, merasa sedikit terasing. Tangannya meraba-raba potongan stik dengan titik-titik terukir di atasnya, mencoba mempelajari tulisan khusus tunanetra yang diajarkan Karie. Setiap sentuhan pada titik-titik itu membawa ingatan tentang cerita-cerita yang dulu ia sukai, memberikan sedikit hiburan di tengah kesendiriannya.
Saat hari semakin sore, beberapa anak kembali ke penampungan. Seorang gadis yang baru saja kembali duduk di samping tempat tidur Aileen. “Aileen, sendiri saja? Di mana perempuan yang suka menempel denganmu?” tanyanya sambil menawari Aileen sepotong roti isi.
Saat hari semakin sore, beberapa anak kembali ke penampungan. Seorang gadis yang baru saja kembali duduk di samping tempat tidur Aileen. “Aileen, sendiri saja? Di mana perempuan yang suka menempel denganmu?” tanyanya sambil menawari Aileen sepotong roti isi.
Aileen menerima roti itu dengan senyum tipis. “Mereka belum kembali,” jawabnya, suaranya lembut namun terdengar sedikit cemas. “Tidak biasanya kamu menanyakan mereka, Mishka?”
Mishka mengangkat bahu, matanya tertuju pada perban yang memerah oleh darah di tangan Aileen. “Tidak ada maksud apa-apa, hanya saja aku melihat kalian seperti lebih giat setelah Erhu kembali,” katanya, suaranya penuh rasa ingin tahu. “Kamu juga pernah bilang tidak suka berada di tambang selain karena kristal yang indah.”
Aileen menunduk, tangannya menggenggam roti dengan erat. “Tapi akhir-akhir ini kamu rajin,” lanjut Mishka, alisnya terangkat. “Apakah Sintra memaksamu?”
Aileen menggeleng pelan. “Bukan begitu,” katanya pelan, “Aku hanya ingin membantu sebisaku.” Dia menyembunyikan tangannya di balik selimut.
Mishka tersenyum lembut dan menatap Aileen dengan penuh perhatian. “Kamu teman yang sangat baik, Aileen. Tapi jangan sampai kebaikanmu melukai dirimu sendiri. Biar aku bantu ganti perban di tanganmu itu, ya?”
“Kelompok Sintra beruntung sekali memilikimu,” lanjut Mishka sambil mulai membuka perban lama.
Aileen menggeleng. “Tidak, aku yang beruntung. Mereka masih mau menerima aku yang tidak bisa melihat ini, mencoba bermanfaat untuk mereka.”
Mishka menghela napas, membalut luka di tangan Aileen dengan perban baru. “Eh, tapi ingat, bermanfaat dan dimanfaatkan itu berbeda. Sekali-kali kamu harus memikirkan tentang dirimu juga. Nah, sudah selesai.” beres memerban Aileen. “Tapi kenapa kamu begitu giat, sampai-sampai tanganmu terluka begitu?”
Aileen menatap Mishka dengan mata yang penuh tekad. “Aku hanya coba menebus diriku,” katanya pelan. “Melangkah ke dunia yang lebih luas, aku ingin tahu apakah aku bisa hidup tanpa bantuan orang lain.”
“Bagus sekali, andai aku bisa bermimpi seperti mu, tapi uang selalu habis untuk makan.”
Sebelum Mishka meninggalkan nya Aileen meraih tangan Mishka, “Maaf merepotkan, Mishka aku harap bisa mengobrol lebih banyak dengan mu di lain waktu terimakasih.”
“Tentu aku ada disampingmu, tapi untuk aku harus pergi duluan ada hal yang masih aku harus lakukan.”
***
Mishka melangkah hati-hati menuju bangunan tua di sebelah, tempat para berandalan sering berkumpul. Bayangan gelap menyelimuti wajahnya saat ia mendekati pintu yang setengah terbuka. Di dalam, suara tawa kasar dan denting koin terdengar samar.
Di tengah ruangan, seorang pria berdiri dengan postur tegap dan penuh percaya diri. Rambut hitamnya yang panjang tergerai, berkilauan di bawah cahaya lilin yang redup. Mata tajamnya menatap Mishka dengan intensitas yang membuat siapa pun merasa terintimidasi. Senyum sinis menghiasi bibirnya, menambah kesan dingin dan tak kenal ampun. Semua orang di ruangan itu memanggilnya “Boss ”.
“Bagaimana, Mishka? Apa yang mereka rencanakan?” tanyanya, suaranya dingin seperti es.
Mishka merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya, tapi ia berusaha tetap tenang. “Sebelum itu, bayar dulu. Seperti yang kita sepakati, Qisqa,” katanya, suaranya bergetar sedikit.
Qisqa mengangkat alis, lalu melemparkan kantong kecil ke arah Mishka. Koin-koin di dalamnya berdenting saat kantong itu mendarat di tangan Mishka. Dengan cepat, Mishka membuka kantong itu dan wajahnya langsung berubah. “Perunggu? Kau bilang akan membayarku 20 koin perak. Apa maksudmu, Qisqa ?”
Qisqa tertawa kecil, matanya berkilat licik. “Aku tidak ingat berjanji membayar dengan perak. Yang kutahu, aku akan memberimu 20 koin. Jika kau tahu rencana mereka, seperti yang kau katakan, jangan membuatku jengkel.” Ia memberi isyarat kepada bawahannya, dan dua pria besar segera mendekati Mishka, mencengkram tangannya dengan kuat.
Mishka menelan ludah, merasakan cengkraman kuat di lengannya yang membuatnya sulit bergerak. Ia tahu, satu langkah salah bisa berakibat fatal. “Baiklah, aku akan memberitahumu,” katanya akhirnya, suaranya hampir berbisik, matanya melirik ke arah pintu seolah mencari jalan keluar.
“Baguslah, jangan ada kekerasan di antara kita,” kata Qisqa dengan nada puas. “Cepatlah, katakan.”
Mishka menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu. “Aileen… ia sedang mengumpulkan uang untuk menebus diri,” katanya, suaranya gemetar. “Aku tidak tahu selain itu, hanya saja mereka pasti melakukan hal yang sama, aku pikir.”
Qisqa menyipitkan mata, menimbang kata-kata Mishka. “Aileen, ya? Menarik. Kita lihat seberapa jauh ia akan mengumpulkan nya untuk kebebasannya,” gumamnya, senyum tipis muncul di bibirnya.