Mengejar mimpi, mencari kebahagiaan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, Raka harus menghadapi keadaan pahit atas dosa-dosa sosialnya, juga konflik kehidupan yang tak berkesudahan.
Meski ada luka dalam duka, ia harus tetap bersabar. Demi bertemu kemanfaatan juga kebahagiaannya yang jauh lebih besar dan panjang.
Raka rela mengulang kembali mimpi-mimpinya. Walaupun jalan yang akan dilaluinya semakin terjal. Mungkinkah semesta akan mengamini harapannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rurri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesan Dari Marto
Sebelum ibu pergi meninggalkan ruang besukkan. Aku memberikan secarik kertas yang berisi permohonan maafku dan menceritakan semua rentetan kejadian yang aku alami. Dari awal waktu memasuki lingkaran hitam hingga sampai detik ini, di dalam penjara. Di kalimat terakhirku, aku memohon dengan sangat, supaya ibu bisa mengupayakan, menghadirkan pengacara untukku.
Satu, dua, juga tiga hari telah berlalu. Pengacara yang aku butuhkan belum juga kunjung datang. Tujuh hari terlewati, rasa cemas dan bimbang semakin menjadi-jadi. Di hari yang ke dua puluh empat masa penahananku di sini, aku sudah benar-benar berputus asa. Sudah tidak ada lagi yang bisa aku perbuat. Barangkali mungkin sudah menjadi suratan takdir. Bahwasannya yang beruanglah, yang selalu sewenang-wenang mengkondisikan sesuatu sesuai kehendaknya sendiri, tak peduli itu benar atau salah.
Di hari yang ke dua puluh lima, masa penahananku di sektor satu. Ibu datang kembali menjengukku bersama dengan setitik cahaya harapan.
"INDRA KUNCORO, URUSAN KITA BELUM SELESAI," gumamku dalam hati.
Petugas penjaga membukakan pintu besi.
Aku melangkah kaki, mendekat dan memeluk Ibu. Ibu sudah tak lagi menangis seperti pertama kali menjengukku di sini.
"Kamu baik-baik saja, kan." Kedua mata Ibu menyapu bersih seluruh tubuhku.
Aku mengangguk, tersenyum lega. "Maafkan aku, ya, Ibu." Mencium tangannya.
"Ibu maafkan kamu. Tapi, kamu harus bertobat setiap hari, Raka." Menarik tangannya kembali. "Ini teman kamu, Ibu susah sekali mencarinya!" serunya Ibu sambari menarik ke depanku.
Aku menyeringai.
"Hai, Raka. Apa kabar?" Berjabat tangan.
"Baik. Kamu sendiri bagaimana?" tanyaku.
"Seperti yang kamu lihat sekarang." Memutarkan badan.
kita duduk di atas karpet yang di sediakan di ruangan besuk.
Aku tersenyum bangga. "Apa kamu sudah baca suratku," tanyaku lirih, memastikan.
"Sudah," sahutnya pengacara yang sedang kondang di kotaku.
"Sudah lama sekali kita nggak pernah bertemu, aku kira, kamu sudah nggak mengenalku lagi, Marto." Aku berbasa-basi. "U-uuupst ... . Sori, maksudnya Pak Marto Pratama," ungkapku pada mantan ketua kelasku dulu.
Marto tertawa. "Kamu nggak berubah ya, Raka. Dalam keadaan seperti ini, sempat-sempatnya ngajak bercanda." Penepuk lengan kiriku.
Aku tersenyum. "Iya, mau bagaimana lagi, memang sudah seperti ini. Masa mau menangis setiap hari." Tertawa. "Yang ada hanya malah menambah beban buat diri sendiri," ucapku pada Marto.
Aku dan Marto tertawa.
Ibu menghela nafas.
Aku berucap. "Mungkin, kalau kamu nggak datang ke sini, aku nggak bakal bisa tertawa seperti ini, Marto. Kamu, kan tahu sendiri. Aku kalau sudah punya kemauan harus dicoba sampai selesai. Supaya tahu hasilnya bagaimana. Kalau nggak, aku nggak bakal bisa tenang. Masalah berhasil atau nggak, itu bukan urusan kita. Iya, kan."
Marto mengangguk. "Iya, ini adalah salah satu alasanku, kenapa aku mau datang ke sini. Suratnya kamu sudah berkali-kali aku baca. Sampai aku hapal di luar kepala." Marto tertawa. "Meskipun dari dulu, sebenarnya aku nggak pernah suka sama kamu, Raka. Provokator, usil, juga bandel. Eeh, malah menjadi siswa terbaik. Aku sempat curiga dan nggak percaya, semua guru-guru sempat aku datangi dan aku tanyai, satu per satu, Raka," ungkapnya Marto yang sedikit kesal sejenak, dan seketika berubah jadi tawa renyah.
Aku membalas. "Yang pertama, terima kasih sudah mau datang ke sini. Kedua, baguslah kalau kamu selama ini, nggak suka denganku. Justru bahaya kalau kamu suka sama aku, Marto."
Marto tertawa, memotong.
Aku meneruskan. "Dan yang terakhir, kamu harus banyak-banyak berterima kasih padaku, Marto. Melalui aku, kamu menjadi pribadi yang nggak gampang percaya begitu saja, juga melalui aku, sikap curigamu menjadi daya dorong kamu untuk mencari kebenaran. Dan, akhirnya kamu, kan, bisa menjadi seperti sekarang ini." Menguliahi Marto.
"Masuk akal juga, ucapanmu." Marto mengangguk kepala. "Terima kasih atas bantuannya, Raka Satrio." Marto tertawa lagi.
Ibu sedari tadi hanya mendengarkan kami berdua bercanda. Sesekali menggerutu dan bergumam, mendesak kami untuk segera membahas inti permasalahannya. Namun, kami menghiraukannya, bukan berarti kami tidak menghormati Ibuku. Tapi, sinyal kami sudah sefrekuensi, cukup bagi kami memastikan satu pertanyaan, semuanya sudah tersampaikan hingga keakar. Suasana yang pilu, kini berubah menjadi canda tawa.
"Semua dan seluruh yang kotor harus di bersihkan." Pesan dari Marto.
Aku menyeringai, menjabat tangannya.
"Jaga diri baik-baik di sini," ucapnya Ibu sebelum pergi meninggalkan ruang besukkan.
Aku mengiyakan. "Salam buat bapak, yah, Ibu. Aku minta maaf, aku benar-benar khilaf. Aku janji akan memperbaiki semua kesalahanku." Mencium tangannya Ibu.
Ibu berlalu pergi dengan mata yang berkaca-kaca.
Malam datang, malam makin larut, malam di kepalaku semakin gaduh. Membungkam kenaifan masa muda dulu dengan hening. Belum juga bermaanfaat di kehidupan terlintas ingin segera menyudahi malam.Tetapi, pagi yang akan datang, juga belum tentu terang.
Terkadang masih ada pilu yang belum sempat aku tulis terlewati, malam tak pernah gagal menyelimuti hati dengan sunyi. Tidak peduli sekeras apapun malam ini. Keheningan akan selalu menemukan cara untuk mengobati.
Hidup tanpa angka butuh biaya, biaya dicari mendapatkan angka, bilangannya bertambah menjadi harta, dipeluk setan jadi menggila. Alergi harta, tak punya angka, butuh biaya dipeluk nestapa, mengundang malapetaka.
"Raka, kenapa kamu memilih malam yang seperti ini. Kenapa malam itu, kamu memilih untuk menyerahkan diri. Kenapa kamu nggak membicarakannya dulu denganku. Apa alasan kamu, sampai kamu tega menyeret aku ke dalam sini, Raka" ucapnya Tegar memecah sunyi.
Aku menatapnya.
Tegar kembali membuka mulutnya perlahan. "Aku nggak habis pikir, aku yang selalu membantu kamu mendapatkan apa yang kamu mau. Kenapa kamu malah memasukkan aku ke dalam bui yang penuh kesakitan seperti ini." Raut wajahnya merah.
Aku berusaha menenangkan. "Kita sudah membuat ke-sa-la-han, Tegar."
Tegar meninju. Belum selesai aku berucap.
Suasana kembali sunyi.
"Oke, aku salah. Aku janji akan memperbaiki semuanya." Mengusap darah di hidung.
Tegar berkata. "Percuma, sudah terlambat,"
"Dengerkan aku dulu," sahutku.
"Apa yang mau, kamu perbaiki?" tanyanya Tegar.
"Makanya, dengarkan aku dulu sebentar. Aku tahu, kamu pastinya sangat terpukul dan kecewa. Aku sudah memperhitungkan semuanya, Tegar. Aku janji, aku pastikan apa yang kamu alami ini, nggak akan sia-sia begitu saja," jawabku.
"Rencana apa lagi yang akan kamu tawarkan padaku, Raka. Aku nggak paham dengan jalan pikiranmu yang menyesatkan." Geram.
"Sekali lagi, aku minta maaf, Tegar. Mungkin ini kedengarannya sangat konyol. Tapi, hanya dengan cara seperti ini, semuanya akan kembali normal, dan kamu nggak perlu lagi menjadi bajingan untuk mendapatkan uang ke depannya," tegasku.
"Maksud kamu?" Tegar mengernyit mata.
"Anggap saja sekarang ini, kamu sedang merantau jauh. Dan pekerjaannya adalah membunuh waktu-waktu yang kelam, juga menjadi bahan latihan tinju oleh para anak buahnya indra kuncoro. Soal bayarannya, kamu masih ingatkan? uang yang terakhir aku terima itu. Uang itu masih utuh, Tegar. Aku belum menggunakannya selembar pun. Uang itu, sudah aku simpan baik-baik, aku siapkan semuanya untuk kamu. Tapi, nanti setelah kita keluar dari sini, baru aku bisa memberikan padamu," ucapku lirih.
"Kamu sendiri bagaimana?" Tegar merespon.
Suasana menjadi terkendali. Dibawah lampu remang-remang, aku kembali berucap. "Aku sudah nggak lagi membutuhkannya."
"Kenapa?" tanyanya Tegar ingin tahu.
karya² kk juga sama bagus²🌷🌷🌷
😅😅