Wijaya Kusuma adalah putra kepala desa dari sebuah desa terpencil di pegunungan, dia harus menggantikan posisi ayahnya yang meninggal dunia sebelum masa jabatannya selesai. Sesuai dengan peraturan adat, anak lelaki harus meneruskan jabatan orang tuanya yang belum selesai hingga akhir masa jabatan.
Masih muda dan belum berpengalaman, Wijaya Kusuma dihadapkan pada tantangan besar untuk menegakkan banyak peraturan desa dan menjaga kehidupan penduduk agar tetap setia pada adat istiadat para leluhur. Apakah Wijaya Kusuma mampu menjalankan amanah ini dan memimpin desanya dengan bijaksana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minchio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jiwa yang terlepas dari raga.
Ajat kembali lagi ke candi itu melewati jalan yang tadi dia lewati. Kali ini, dia membawa keranjang anggurnya yang sempat dia tinggalkan di pinggiran kebun. Ajat berniat menyembunyikan harta karun itu dibawah tumpukan anggur.
Niatnya sudah bulat, menurutnya, ini adalah kesempatan emas untuk merubah nasib. Setelah kematian orang tuanya, dia hanya tinggal sebatang kara di desa adat ini. Jadi tidak ada alasan lagi untuk tetap menjadi warga desa.
Akhirnya Ajat sudah sampai di depan tembok kuno yang menjadi pintu masuk ke area candi. Namun langkah Ajat terhenti saat Pak Arifin muncul di hadapannya sambil mengacungkan golok, "akhirnya, aku menemukanmu! Kamu pikir, aku akan berhenti mengejarmu? Meskipun ini hutan larangan, aku tidak perduli."
"Hentikan Pak Arifin, saya tidak perduli lagi denganmu, meskipun kamu adalah pembunuh pemuda itu, aku tidak perduli. Karena aku akan segera meninggalkan desa ini," ungkap Ajat.
Namun, Pak Arifin tidak percaya dengan omongan pemuda dihadapanya, "iya, aku yang membunuh pemuda itu! Dia pemuda yang datang dari kota untuk melamar anak gadisku, dia pemuda miskin, dia tidak akan pernah menikahi anakku! Aku memang telah membunuhnya dengan air rebusan bunga niskala, haha!"
"Sudah kuduga, hanya racun bunga niskala yang bisa membunuh orang lain dalam sekejap!" tegas Ajat, dia lalu menyimpan keranjangnya di atas tanah dan menunjuk ke arah candi.
"Pak, candi itu."
"Apa? Saya juga tahu itu candi, sudah! Tidak usah basa-basi lagi! Hiaaah!!" tiba-tiba saja Pak Arifin berlari dengan mengangkat goloknya, berusaha menebas Ajat.
"Tunggu! Di dalam candi itu ada harta karunnya!!" teriak Ajat sembari memejamkan mata.
"Harta karun!" tambahnya.
"Harta karun, omong kosong!" teriak Pak Ajat penuh emosi.
"Benar! Jika tidak percaya, ayo kita kesana dan lihat bersama-sama! Aku tidak berbohong!"
"Awas kalau kau bohong!" teriak Pak Arifin, masih mengarahkan golok ke bagian leher Ajat.
Lalu ajat meminta waktu, dia akan menunjukan harta karunnya asalkan Pak Arifin mengurungkan niatnya untuk menebas golok tajam itu ke dirinya.
Pak Arifin lalu setuju, mereka berdua berjalan ke pelataran candi, Ajat lalu menginjak lantai batu yang sebelumnya dia injak dengan tidak sengaja. Pak Arifin pun dibuat terbelalak saat melihat pintu candi bergeser dengan ajaibnya.
"Lihat, itu semua harta karun!" tegas Ajat.
Pak Arifin kaget bukan kepalang, dia pun menjatuhkan goloknya dan berlari masuk ke dalam, Pak Arifin tertawa bahagia dan berteriak seperti orang yang kehilangan akal sehat.
"Hahaha, kita kaya! Ini semua emas! Kita kaya!" teriak Pak Arifin, namun tiba-tiba di tengah gegap gempitanya, sesuatu terasa menancap di badannya, seketika rasa sakit menyebar dan terasa rasa ngilu yang teramat menyiksa.
Pak Arifin sadar, sebuah golok sudah menancap dibagian tubuhnya, dia lemas saat melihat darah keluar dari dalam pakaiannya. Pak Arifin melihat ke arah Ajat dengan tatapan kosong.
"Yang kaya bukan kita, tapi aku sendiri! Enak saja, aku yang menemukan harta ini, tapi kau yang tertawa dengan puas. Pembunuh sepertimu tidak akan pernah berakhir bahagia, pergilah ke neraka untuk menebus dosamu," ucap Ajat dengan tatapan mata tajam.
Pak Arifin lemas, badannya bergetar hebat. Dia tengah masuk ke fase sekarat, ditengah rasa sakit yang menghujam tubuhnya, dia membalas ucapan Ajat.
"Aku, pembunuh, kau pun juga pembunuh, kau pikir, kau akan...." Pak Arifin ternyata tidak bisa menyelesaikan kalimat yang keluar dari mulutnya, nyawanya sudah terlepas dari raga. Jasadnya kini kaku tak bergerak sedikit pun.
Ajat menghela nafas panjang, dia merasa lega karena sudah berhasil melenyapkan si penganggu. Ajat lalu membawa keranjangnya dan memasukan sebanyak mungkin harta dari dalam candi itu, lalu menutup bagian atasnya dengan anggur.
Ajat sudah berubah, dia bukan lagi pemuda desa yang lugu dan baik hati. Setumpuk harta di depan matanya sudah merubah dirinya menjadi seorang pembunuh.