Nasib memang tidak bisa di tebak. ayah pergi di saat kami masih butuh perlindungannya. Di tengah badai ekonomi yang melanda, Datang Sigit menawarkan pertolongan nya. hingga saat dia mengajakku menikah tidak ada alasan untuk menolaknya.
. pada awalnya aku pikir aku sangat beruntung bersuamikan pria itu.. dia baik, penyayang dan idak pelit.
Tapi satu yang tidak bisa aku mengerti, bayang-bayang keluarganya tidak bisa lepas dari kehidupannya walaupun dia sudah membina keluarga baru dengan ku.
Semua yang menyangkut keluarga harus di diskusikan dengan orang tuanya.
janji untuk membiayai adik-adik ku hanya omong kosong belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Baba 12
Saat itu sudah pukul sembilan malam.
Aku gelisah dan bertanya kenapa tumben mas Sigit belum pulang juga. Ini bukan kebiasaannya. Walaupun hubungan kami tidak harmonis seperti pasangan suami istri pada umumnya, tapi keterlambatannya tak urung membuatku gelisah. Saat ku tanya pada ibu mertua, dia hanya menjawab asal.
"Mungkin masih ada urusan.. Jangan terlalu di kelang. Dia juga manusia punya perasaan."
Aku hanya bertanya satu kata, dia menjawab ku dengan ceramah yang panjang.
Mungkin benar kata ibu mertua. suamiku butuh waktu untuk sendiri.
Dari kamar aku bisa mendengar percakapan ibu mertua dan ayah mertua.
"Mungkin kita yang salah. kita terlalu memanjakannya selama ini. akibatnya, dia harus mendapatkan. Apa yang dia mau saat itu juga." suara ayah mertua.
"Tapi itu tidak penting di bahas lagi. Sekarang dia anak yatim. sepatutnya kita manjakan dia, kasihan ayahnya sudah tidak ada.." jawab ibu mertua dengan suara parau.
Dari sana aku bisa menyimpulkan bahwa topik pembicaraan mereka adalah Tara.
Oh, ya..? Kemana anak itu, tumben aku tidak mendengar celoteh manjanya. Rani juga tidak muncul batang hidungnya.
Semenjak kepergian Didit, ibu dan anak itu memang jadi pusat perhatian seluruh rumah.
Apalagi Tara yang manja dan cengeng. terkadang aku muak melihat cara mereka memanjakan Tara sangat berlebihan. semua harus Tara yang nomor satu. Bulan yang lebih kecil pun harus rela menjadi yang nomor dua. kalau hal lain sih aku masih maklum. tapi ini tentang Bulan dan ayahnya. Masa saat Bulan dan Tara berkeras ingin di gendong mas Sigit Bulan yang harus mengalah? dengan alasan yang tidak masuk akal menurutku.
"Tara sedang berkabung, dia baru saja kehilangan ayahnya. Sedang Bulan baik-baik saja." ucap ibu mertua. Dan akhirnya, aku sendiri yang harus mendiamkan anak ku itu.
Pernah juga aku curhat ke ibuku kalau aku menyerah dengan keadaan. Tapi apa kata ibu?
"Jangan, May.. Ingat Bulan. Walaupun kau bisa mencukupi kebutuhan nya secara materi, tapi batinnya akan tetap kekurangan sosok seorang ayah. Ibu tidak setuju kau berpisah dengan Sigit."
Wejangan ibu itu selalu terngiang di telingaku.
Karena itu pula aku masih bertahan.
Lamunan buyar saat kudengar suara mobil mas Sigit di halaman.
Aku mencoba mengintip dari balik tirai di kamarku.
Astaga..! Apa penglihatan ku tidak salah? Dari mobil itu keluar mas Sigit yang menggendong Tara di susul oleh Rani di belakangnya.
Gerakan mereka sangat hati-hati seolah tidak ingin terdengar oleh penghuni rumah.
Tubuhku bergetar menahan amarah.
Posisi kamar yang sengaja aku matikan lampunya membuat mas Sigit leluasa masuk. mungkin dia mengira aku sudah tidur seperti Bulan.
Namun dia kaget saat tiba-tiba lampu menyala.
"May kau belum tidur?" tanyanya tanpa rasa bersalah.
Tanpa ingin menjawab pertanyaan yang basi itu, aku langsung pada intinya.
"Dari mana sampai jam segini? Dan kenapa kau mengendap seperti maling di rumahmu sendiri?"
"Apa maksudmu? Aku ada pekerjaan yang tidak bisa di tinggalkan. Jadinya lembur." jawabnya enteng sambil membuka kemejanya.
Masih berani ngeles juga dia rupanya.
"Lalu kenapa harus mengendap-endap?"
Aku terus menginterogasinya sampai dia terlihat kesal.
"Aku pikir kau dan Bulan sudah tidur, aku takut membangunkan kalian, itu saja. Lagi pula kenapa kau mengintrogasi ku seperti tahanan saja" omelnya.
"Lalu Rani? Kenapa dia bersamamu?" nada suaraku mulai meninggi.
Mas Sigit menatapku ragu.
mungkin dia heran kenapa aku bisa tau.
"Rani? Itu, Tara ngambek ingin jalan-jalan makanya kami membawanya." jawabannya belepotan dan gugup.
"Maaf, aku tidak mengabari mu takut kau akan marah.." ucapnya lagi.
"Dan mas pikir saat ini aku tidak marah?" sambut ku dengan menatapnya tajam.
"Ini yang aku takutkan, kau pasti marah kalau di beritahu." ucapnya perlahan
"Kalau bilang dan menjelaskan secara baik-baik, mungkin aku bisa terima. Tapi ini, kau sudah membodohi istri mu."
Dia terdiam. Tidak perduli dengan mataku yang berapi-api. Dia malah tidur sambil memeluk Bulan.
***
Pagi itu Rani sedang duduk bersantai sambil membersihkan kukunya.
Dia sama sekali tidak perduli dengan kerepotan ku harus memasak dan mengurus Bulan serta menyiapkan bekal buat mas Sigit.
Tara merengek minta nasi goreng.
"Bu Dhe, Tara mau nasi goreng buatan Bu Dhe." pintanya dengan lugu.
Aku terdiam. Pekerjaan ku sangat banyak. Yang mana dulu harus ku kerjakan. Di tambah Tara minta di buatin nasi goreng pula.
Aku teringat Rani yang sedang bersantai di depan.
"Tara, Bu Dhe lagi sibuk sekali. bisa minta tolong pada ibumu. Dia ada di depan tuh..!" ucap ku dengan halus.
Tara menggeleng.
Aku jadi serba salah. Mana Bulan menangis lagi. Ibu dan ayah mertua sudah berangkat ke warung yang berjarak dua rumah dari rumah kami.
"May, ada lihat kertas di lipat di atas meja?" teriak mas Sigit dari kamar. Kejadian tadi malam sama sekali tidak membekas di ingatannya.
"cari di kotak dalam l mati..!" jawabku sambil menenangkan Bulan.
"Ayo Bu Dhe.. Mana nasi gorengnya..?" Tara menarik-narik bajuku. Aku yang bingung menghadapi keadaan itu menjadi tidak sadar.
Aku memutar tubuhku, otomatis Tara yang ada di belakangku ikut berputar. tapi sayang tangannya terlepas dan kepalanya menghantam ujung meja.
Aku terpaku di tempatku. Tara diam tak bergerak.
Rani mas Sigit sudah ada di sana tapi aku masih berdiri kaku.
"Dasar wanita jalang tidak berperasaan. Kau dendam padaku tapi kenapa kau lampiaskan kepada Tara?" cacian Rani tidak bisa ku cerna.
Aku tidak bermaksud menjahati Tara apalagi membuatnya seperti sekarang ini.
Tatapan benci mas Sigit juga hanya bisa ku telan mentah-mentah. aku sama sekali tidak punya kesempatan menjelaskan.
Tara mengalami luka yang cukup serius di kepalanya. Dia harus menjalani operasi.
Karena insiden itu pula seluruh keluarga membenciku termasuk mas Sigit. dia seperti ilfeel melihatku ayah ibu dan yang lainnya selalu membuang muka setiap berpapasan denganku. Seolah aku adalah penjahat besar.
"May, gara-gara kekejaman mu Tara seperti ini. Aku akan melaporkan ini ke polisi. Aku pastikan kau akan mendekam di penjara...!" ancam Rani.
"Aku tidak bermaksud seperti itu, mbak. percayalah padaku.. Mas, apa kau percaya kalau sanggup melakukan hal itu? Itu hanya kecelakaan." aku berusaha meyakinkan mas Sigit yang juga ada di situ.
"Aku sangat kecewa padamu..!" ketus suamiku.
Rani bersiap hendak berangkat ke kantor polisi untuk melaporkan diriku.
Tapi mas Sigit menahan tangannya. aku sudah pasrah saat itu.
"Rani, aku mohon dengan sangat. jangan bawa masalah ini ke kantor polisi. Aku sama sekali tidak membela May, tapi bagaimana nasib Bulan...?" ratap mas Sigit.
Rani terpaku di tempatnya.
"Baiklah.. Tapi dengan satu syarat." ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
""Sebagai gantinya, dia kehilangan haknya dirumah ini, entah sebagai menantu ataupun sebagai istri mas Sigit." ucap Rani tegas.
Aku terkejut mendengar syariat dari wanita itu.
"Lalu bagaimana dengan Bulan?" tanya mas Sigit bingung.
"Dia tetap boleh tinggal menjadi ibunya Bulan saja. Kalau sampai dia melanggar aku tidak segan-segan memenjarakan, May."
Tanpa meminta persetujuan ku, mas Sigit langsung setuju.
"Terima kasih, Ran." ucap mas Sigit.
,