Rea memilih berdamai dengan keadaan setelah pacar dan sahabatnya kedapatan tidur bersama. Rasa cinta yang sejatinya masih bertuan pada Devan membuat Rea akhirnya memaafkan dan menerima lamaran pria itu.
Sepuluh tahun telah berlalu mereka hidup bahagia dikarunia seorang putri yang cantik jelita, ibarat tengah berlayar perahu mereka tiba-tiba diterjang badai besar. Rea tidak pernah menduga seseorang di masa lalu datang kembali memporak-porandakan cintanya bersama Devan.
Rea berjuang sendirian untuk membongkar perselingkuhan Devan, termasuk orang-orang di belakang Devan yang membantunya menyembunyikan semua kebusukan itu.
IG. ikeaariska
Fb. Ike Ariska
Tiktok. ikeariskaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ike Ariska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Telaga Dewi
Sedan mewah jenis BMW warna hitam metalik melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan jalanan ibukota. Devan yang duduk di kursi kemudi sesekali mencuri pandang pada sosok cantik di sampingnya, lalu senyum sama-sama terlukis ketika tatap mereka saling beradu di udara.
“Sayang,” sapa Devan.
“Hm, iya?” sahut Rea.
“Apa kamu bahagia?"
Rea mengangguk kecil dan kembali merangkai senyum di sudut bibirnya.
“Maafkan aku, yaa!” sambung Devan sembari membelai rambut hitam panjang Rea dengan tangan kirinya.
“Nikmati setiap detik waktu berlalu karena kita tidak punya banyak kesempatan untuk liburan. Kita sama-sama sibuk dengan rutinitas masing-masing.”
Tiba-tiba...
“Memangnya kita mau ke mana, Pa?” tanya Airin yang duduk di jok belakang seorang diri.
Devan mengalihkan pandang dari Rea sang tambatan hatinya, lalu melirik kaca kecil yang menggantung tepat di atas pelipis kirinya.
“Kita akan mengunjungi suatu tempat, Sayang,” jawab Devan.
“Apa tempatnya jauh?” tanya Airin lagi. Ia penasaran.
“Hanya tiga jam perjalanan.” Devan menoleh ke belakang.
“Tunggu saja kamu pasti suka tempatnya,” timpal Devan.
“Apa sebelumnya kita pernah ke sana?” imbuh Airin bertanya.
“Belum, kamu belum pernah ke sana. Tunggu saja papa akan bawa kamu ke tempat paling indah.”
Airin mengangguk mengerti, meski rasa penasarannya belum terobati ia sabar menunggu ke mana mobil akan membawanya pergi.
“Bagaimana bisa papa tahu tempat itu indah? Papa, ‘kan belum pernah ke sana?”
Devan mengulas senyum mendengarkan, merasa senang saat Airin melayangkan pertanyaan demi pertanyaan.
“Papa pernah sekali ke sana saat shooting video klip.”
Barulah Airin merasa puas saat rasa penasarannya mendapat jawaban.
Jarang-jarang Rea dan keluarga kecilnya melakukan perjalanan di pagi hari. Hingga membuat trip-nya kali ini terasa begitu sangat berbeda dan istimewa. Rea lempar pandang ke luar jendela memperhatikan pemandangan alam.
“Dev, sepertinya aku juga belum pernah melewati jalan ini,” ucap Rea.
“Hm, iya. Ku rasa memang belum,” jawab Devan.
Meskipun jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka, tapi ini kali pertama bagi Rea karena ia dan Devan sama-sama pendatang di kota itu. Butuh waktu lebih dari dua belas jam dari kota asal mereka untuk sampai ke tempat itu.
“Kamu lihat itu?” tanya Devan seraya menunjuk pada hijaunya bukit yang membentang.
Rea mengangguk.
“Indah bukan?”
“Bahkan keindahan itu tidak ada apa-apanya dibanding kamu,” goda Devan.
Berhasil membuat Rea tertawa.
“Kamu bisa saja,” jawabnya singkat.
Setelah cukup jauh menempuh perjalanan...
Mobil menepi di sebuah tempat parkir yang tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa kendaraan di sana.
“Kita sudah sampai?” tanya Rea.
Devan mengangguk mengiyakan.
“Serius kita sudah sampai? Tapi Pa, kenapa tidak ada apa-apa di sini?” tanya Airin yang terlihat antusias.
“Kita harus berjalan dulu beberapa meter untuk sampai ke tempat itu,” terang Devan.
“Ayolah, Sayang! Turun saja dulu!” sela Rea meminta Airin untuk turun.
Airin menurut dan mengangguk. Gegas keluar dari mobil setelah Rea membukakan pintu untuknya.
“Ma, udaranya sejuk, yaa.” Airin menghela napas dalam sambil merentangkan tangannya.
“Iya Sayang, karena udara di sini tidak tercemar beda kalau di kota. Kamu lihat itu, pohon-pohon itulah yang telah menghasilkan banyak oksigen sehingga udara di sini terasa sejuk.”
“Oh, jadi begitu. Aku tahu sekarang,” jawab Airin girang.
“Sebenarnya papa mau bawa kita ke mana, Ma?” tanya Airin lagi.
“Entahlah, Sayang. Mama juga tidak tahu, sebaiknya kita ikut saja.
Tiba-tiba...
“Sayang, ke marilah!” Devan melambai.
Tanpa Rea sadari Devan sudah mendahului mereka.
“Airin, ayo sayang!” ajak Rea.
Lalu ke duanya sama-sama melangkah beriringan.
Rea tampil modis mengenakan jeans panjang warna denim padu padan dengan atasan kaos pendek warna putih. Kacamata hitam bertengger di puncak kepalanya.
“Oh, Rea ku sayang kau begitu cantik,” hati Devan memuji.
Pria itu mematut langkah tungkai panjang Rea yang mendekat ke arahnya. Devan tersenyum memperhatikan terlebih saat angin dengan lembut membelai rambut Rea yang terurai.
Sesaat Rea merentangkan tangan menyapu bunga-bunga beragam warna yang tumbuh di sepanjang jalan yang ia lalui. Kerikil runcing sesekali juga berhasil membuat ia mengernyit tatkala kakinya tanpa sengaja menginjak benda kecil itu.
Satu hal yang membuat Devan bahagia yaitu senyum di bibir Rea.
“Sayang coba kamu lihat itu!” ucap Devan. Ia menunjuk ke arah depan.
Rea yang memperhatikan langkah langsung mengangkat pandangan. Betapa matanya berbinar saat dilihatnya hamparan air yang sangat indah.
“Dev!” gumam Rea.
Sontak ia menghentikan langkah.
“Apa itu telaga?” tanyanya tidak percaya.
“Ya, Sayang. Itu telaga Dewi terkenal karena airnya yang berwarna tosca.
Rea tidak bisa berkata-kata ia terperangah melihat pemandangan di depan matanya. Telaga itu sangat indah dengan riak-riak kecil di atasnya. Burung-burung beterbangan di mana-mana hinggap di sana sini di pohon-pohon yang tumbuh rindang di tepi telaga.
“Telaga Dewi, aku pernah mendengarnya,” gumam Rea.
“Nikmatilah udaranya yang segar karena di kota kita tidak akan bisa merasakannya,” ucap Devan.
Pria itu perlahan merentangkan tangannya, lalu memejamkan mata meresapi keindahan dan keasrian alam di telaga Dewi. Telaga indah dengan air berwarna tosca.
“Ayo kita ke sana!” ajak Devan.
Menunjuk pada kursi taman di bawah pohon rindang di bibir telaga.
Baik Rea maupun Devan akhirnya menjatuhkan diri di kursi itu, sementara Airin asyik bermain tidak jauh di depan mereka.
“Sayang, hati-hati!” Devan mengingatkan.
“Iya, Pa,” jawab Airin tersenyum.
“Bersandarlah!”
Devan meminta Rea untuk bersandar di dada bidangnya.
Sesaat Rea pandang sorot elang yang menatapnya dalam.
“Sudahlah, Re. Sebaiknya lupakan saja apa yang telah terjadi kemarin. Kebahagiaan ini terlalu indah untuk dirusak saat kamu mengingat rasa sakit itu,” Rea berbisik dalam hati.
Rea tersenyum dan akhirnya merebahkan diri bersandar di dada bidang Devan. Dekapan hangat dari pria itu berhasil membuatnya merasa sangat nyaman.
Alam pun seolah ikut merasakan kebahagiaan yang sedang Rea rasakan sehingga pelangi muncul tanpa diminta menghiasi langit di atas telaga.
emang. sahabat adalah maut...
mudah2an aja meningkat. trus nggak jadi nikah sama Sam...
Sam kalau tau masa lalu ana pasti mikir dua kali lah .. tu si ana aja masih ingat waktu devan menghujam dirinya... munafik bngt