Ayra tak pernah menyangka bahwa hidupnya bisa seabsurd ini. Baru saja ia gagal menikah karena sang tunangan-Bima berselingkuh dengan sepupunya sendiri hingga hamil, kini ia harus menghadapi kenyataan lain yang tak kalah mengejutkan: bos barunya adalah Arsal—lelaki dari masa lalunya.
Arsal bukan hanya sekadar atasan baru di tempatnya bekerja, tetapi juga sosok yang pernah melamarnya dulu, namun ia tolak. Dulu, ia menolak dengan alasan prinsip. Sekarang, prinsip itu entah menguap ke mana ketika Arsal tiba-tiba mengumumkan di hadapan keluarganya bahwa Ayra adalah calon istrinya, tepat saat Ayra kepergok keluar dari kamar apartemen Arsal.
Ayra awalnya mengelak. Hingga ketika ia melihat Bima bermesraan dengan Sarah di depan matanya di lorong apartemen, ia malah memilih untuk masuk ke dalam permainan Arsal. Tapi benarkah ini hanya permainan? Atau ada perasaan lama yang perlahan bangkit kembali?
Lantas bagaimana jika ia harus berhadapan dengan sifat jutek dan dingin Arsal setiap hari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NAMANYA JUGA LELAKI
"Ngeliatin mantan sampai segitunya, Ra." goda Riana membuat Ayra berdecih kesal.
Ayra yang tadinya melihat ke arah panggung langsung menoleh ke Riana."Nggak gitu ya, Ri." elak Ayra cepat.
Riana dan Haikal tertawa. Ayra sampai keki dibuatnya. Padahal ia hanya kagum dengan cara Bima bercerita. Bukan dengan personal orangnya. Lagipula ia sudah menikah. Walaupun hubungannya dengan suaminya tidak seharmonis dan sehangat pasangan suami istri pada umumnya.
"Eh, Ra, Pak Arsal mana, ya? Kok semenjak selesai sambutan jadi ngilang?" tanya Riana.
"Hmmmh... aku juga nggak tahu dimana." jawab Ayra melihat sekeliling. Ruangan yang ramai itu juga membuatnya agak sulit menemukan dimana Arsal berada.
"Akhirnya selesai juga. Sekarang bisa kamu bawa hadiahnya ke depan, Ra." Haikal bersuara.
Ayra mengangguk. Ia mulai memasukkan satu persatu bungkusan hadiah dan beberapa bingkisan tersebut ke dalam keranjang, untuk kemudian ia bawa ke dekat panggung.
"Dikit-dikit aja. Nanti kamu kesusahan." kata Riana.
"Iya." jawab Ayra lalu segera berdiri. Tangannya dengan cekatan membawa keranjang tersebut.
Awalnya biasa saja. Ia masih bisa menyeimbangkan tubuhnya, hingga ketika akan sampai di belakang panggung, tiba-tiba ia merasa bebannya sedikit terlalu berat. Ia menghela napas, berusaha menyeimbangkan kotak-kotak itu di tangannya. Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, tiba-tiba beberapa hadiah di atas hampir jatuh.
Refleks, seseorang mengambil sebagian kotak dari tangannya. Ayra terkejut dan menoleh. Arsal.
Lelaki itu mengambil setengah dari beban yang Ayra bawa tanpa berkata apa-apa, hanya dengan ekspresi datarnya yang khas. Ayra menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum kecil. Jarang-jarang Arsal membantunya tanpa diminta.
“Terima kasih,” kata Ayra pelan, sedikit heran dengan sikap suaminya yang tiba-tiba ini.
Arsal tidak menatapnya. “Jangan kegeeran. Saya cuma nggak mau acara jadi kacau kalau kamu menjatuhkan hadiah-hadiah ini.”
Nada suaranya tetap datar, tapi Ayra bisa melihat bagaimana Arsal menghindari tatapan langsung padanya tadi.
Apakah Arsal salah tingkah? Ayra segera menggeleng. Tidak mungkin.
Namun alih-alih tersinggung dengan nada ketusnya, Ayra justru menahan tawa. Ia memilih tidak menggoda Arsal lebih jauh, cukup menikmati momen langka ini. Bersama-sama, mereka membawa hadiah ke pinggir panggung, diiringi tatapan penasaran dari beberapa orang, termasuk Haikal dan Riana yang menyaksikan kejadian itu dengan ekspresi terkejut bercampur senang.
Setelah meletakkan keranjang dan beberapa bingkisan yang dibawa Arsal, Ayra pun segera kembali ke posisinya tadi. Ayra tersenyum kecil menatap Arsal yang berjalan di depannya. Matanya tiba-tiba tertuju pada cincin pernikahan mereka yang terpasang di jari manis lelaki itu.
Tiba-tiba Ayra terbersit keinginan untuk mengajak Arsal makan siang di kantin. Mengabaikan tatapan beberapa orang bahkan Riana dan Haikal yang memanggilnya, Ayra berjalan cepat menyusul Arsal yang hampir mendekat ke pintu keluar. Langkah lelaki itu terlalu lebar, sangat berbeda dengan Ayra yang tingginya hanya sebahu Arsal. Hal itu sangat mempengaruhi langkah kakinya.
Arsal sudah keluar ruangan. Ayra semakin mempercepat langkah kakinya. Begitu ia keluar ruangan, ia mendapati Arsal sudah berada di depan lift.
"Pak Arsal!" panggil Ayra tiba-tiba.
Namun itu sama sekali tidak terdengar karena di depan ruang acara juga masih banyak orang. Saat Arsal sudah masuk lift dan Ayra hendak menyusul lelaki itu, tiba-tiba Haikal datang menahan Ayra.
"Ada apa, Mas?" tanya Ayra yang sesekali melihat lift yang sudah tertutup.
"Anak-anak ngajak foto bareng itu. Ayo, buruan!" ajak Haikal.
Ayra paham yang dimaksud anak-anak disini adalah para rekan kerja mereka
"Aduh, Mas. Kalian aja deh, ya. Aku mau kesana dulu sebentar."
"Jangan, Ra. Saranku kamu ikut foto aja dulu, yuk. Itu anak-anak riweuh banget pengen tahu gimana reaksi kamu kerja bareng sama mantan kamu. Takutnya mereka bakal ngira kamu nggak profesional."
Ayra terdiam, berpikir sejenak. Sebenarnya ia tidak ingin memusingkan pendapat orang-orang tentang hubungannya dan Bima, baginya itu adalah resiko yang harus ia tanggung. Namun ia takut Arsal akan mendengar berita aneh tentang dirinya dan Bima nanti.
"Oke deh. Sebentar aja, ya."
Akhirnya Ayra berjalan masuk kembali ke ruangan bersama Haikal. Disana acara sudah akan selesai. Beberapa anak maju untuk mendapatkan hadiah.
"Kamu darimana? Ngejar Pak Arsal?" tanya Riana saat Ayra sudah duduk di sampingnya.
"Niatnya sih begitu. Cuma kakinya jalan cepat banget. Gak bisa ngejar deh aku." jawab Ayra.
"Kamu nyadar nggak kalau anak-anak ngelihatin kamu? Mereka kepo banget sama hubungan kalian berdua." bisik Riana.
Ayra melihat sekelilingnya. Ia menghela napasnya karena memang ada beberapa teman kerjanya yang tampak melirik-lirik padanya sambil mengobrol asyik. Mungkin beberapa bulan lalu, ia menjadi bahan gosip karena pernikahannya yang gagal. Maka sekarang bisa jadi karena kedekatan dirinya dengan bos mereka, Arsal.
"Ya udah sih, Ri. Lagian mau dijelasin kayak gimana juga, kalau bukan Arsal sendiri yang bicara kayaknya mereka bakal ngira aku halu deh." sahut Ayra santai, terkesan tidak peduli.
"Iya sih." timpal Riana mengerti.
Tidak lama setelah itu, suara MC mengajak semua panitia untuk berfoto. Tentunya Ayra dan Riana juga segera bangkit. Bersama Haikal juga mereka langsung berjalan menuju panggung.
Saat berada di panggung, Ayra mengambil posisi dekat dengan Riana berada di tengah. Namun saat itu juga, Bima tiba-tiba muncul. Untuk menghindari gosip yang tidak diinginkan, Ayra merubah posisinya dengan Haikal. Kalau bukan karena hubungan kerja sama ini, tentunya Ayra tidak ingin berurusan dengan Bima lagi.
Suara fotografer mulai mengarahkan gaya dan mengambil foto. Semua staf tertawa dan memberikan gaya terbaiknya.
Setelah itu, semuanya bubar. Ayra yang baru teringat dengan niatnya untuk mengajak Arsal makan siang, langsung berlari keluar ruangan. Namun lagi-lagi langkahnya tertahan karena ia mendengar seseorang memanggil namanya.
"Ayra!"
Ayra menoleh. Tepat ke arahnya, Bima mulai melangkah cepat.
"Ada apa?" tanya Ayra langsung.
Dalam keramaian seperti ini tentu saja ia tidak ingin mengundang tatapan sinis berikut berita negatif tentang mereka. Sehingga ia harus meminimalisir pertemuan dengan Bima.
"Buru-buru banget. Lagi sibuk, ya?"
Ayra menggeleng. Ia masih berusaha bersikap ramah. Bagaimana pun Bima adalah penulis yang menjadi tanggung jawabnya.
"Lumayan. Ada apa?"
Bima tersenyum kikuk. Lalu tiba-tiba ia memberikan sebuah kado kecil untuk Ayra.
"Ini apa?" tanya Ayra bingung. Namun ia tidak punya keinginan untuk mengambil kado tersebut. Apalagi dengan tatapan beberapa pasang mata yang tertuju pada mereka.
"Ini seharusnya aku berikan saat kita menikah. Namun karena ternyata kita nggak lanjut, jadi maaf, baru sempat aku berikan sekarang."
Ayra menatap Bima dengan datar. "Maaf, Bim. Aku nggak bisa terima itu. Di antara kita sudah tidak apa-apa. Aku juga nggak mau nanti ada berita aneh tentang kita karena benda ini."
"Kamu simpan saja ya, Bim. Maaf, aku sudah harus pergi." lanjut Ayra lalu segera pergi.
Ayra menunggu lift terbuka dengan sabar. Ia ingin segera ke ruangan Arsal. Begitu lift terbuka, ia segera menekan nomor tempat posisi ruangan Arsal. Tujuannya hanya satu, walaupun Arsal masih bersikap dingin padanya, ia hanya ingin memperbaiki rumah tangganya. Bagaimana pun Arsal adalah suaminya.
Ting!
Lift terbuka. Segera Ayra berjalan cepat menuju ruangan Arsal. Saat tiba di depan ruangan Arsal, Ayra menyapa sekretaris Arsal dengan tersenyum dan melambaikan tangan tanpa suara, karena lelaki yang akrab mereka panggil Mas Satria itu sedang menelpon seseorang.
Tanpa menunggu Satria membalas sapaannya, Ayra langsung membuka pintu ruangan Arsal tanpa mengetuknya terlebih dulu.
Saat itulah Ayra melihat yang seharusnya tidak ia lihat.
"Maaf, saya tidak tahu ada tamu. Permisi, Pak." Ayra menutup kembali ruangan tersebut. Ia segera berbalik dari ruangan tersebut tanpa menjawab Satria yang memanggilnya.
"Nggak Bima, nggak Arsal, ternyata sama aja." gerutu Ayra sambil menahan sesak di dadanya.
berdebar dan selalu ternanti